Kamis, 28 Agustus 2014

Spirit Sultan Maulana Hasanuddin Banten Dalam Mewujudkan Masyarakat Sejahtera


Salah satu yang mendasari lahirnya Provinsi Banten sejak masih berupa embrio gagasan hingga era reformasi bergulir apalagi kalau bukan alasan kesejahteraan Banten yang amat masyhur. Keinginan urang Banten untuk meningkatkan status Banten dari keresidenan menjadi sebuah provinsi karena Banten memiliki keistimewaan juga selain dari Yogyakarta dan Aceh. Landasan filosofisnya adalah Banten memiliki kesulitan yang amat kokoh dan heroik, yaitu Banten tidak pernah tunduk dan menyerah pada kolonial Belanda. Dibuktikan dengan penghancuran total Keraton Surosowan, bukan hanya itu Banten pernah berdiri sendiri karena diblokade oleh Belanda sehingga memunculkan mata uang sendiri sebagai alat tukar masyarakat kala itu.
Sejarah tidak pernah memuaskan dengan cerita kejayaan sebuah negeri yang berlangsung lama. Sebentar berjaya kemudian mengalami decline. Layaknya sebuah sinetron, cerita kehebatan, masa emas kejayaan dan kemasyhuran selalu diwarnai dengan episode kehancurannya. Banten juga mengalami pasang surut, sehingga cerita-cerita indah tersebut hanya dapat dibaca dalam buku-buku sejarah, klaim-klaim dalam seminar kebantenan atau teriakan lantang para demonstran. Nama besar Banten bukan saja tidak mampu dipertahankan, namun membaca sejarahnya seakan hanya membuat gelisah, marah dan geram tak berbendung.
Seperti menebar benih harapan dan udara segar, saat kokolat Banten (waktu itu Uwais al-Qarny, dkk) mulai intensif menggalang kebersamaan untuk memperjuangkan Banten pisah ranjang dengan Jawa Barat, seakan kemajuan sudah di depan mata. Urang Banten tidak lagi harus menginap untuk mengurus surat-surat sepele, masyarakat Banten tidak perlu lelah di atas kendaraan umum untuk sampai ke Gedung Sate. Jawa Barat terlalu lama mencengkeram ekor Badak Bercula Satu (baca: Banten) ini. Jawa Barat terlalu gemuk dan nyaris membuat Banten kurus kering tak terurus. Jika benar Banten telah berjaya berarti ia memiliki potensi besar untuk kembali bangkit.
Setelah hampir 14 tahun berlalu, apa yang terjadi? Banten sudah dua kali ganti nakhoda. Cerita-cerita tentang kemajuan lirih didengar. Deretan prestasi dihadang barisan para pejabat yang mengantri di meja hijau karena menyelewengkan kekuasaan. Suara-suara optimisme berubah gaduh dengan demonstrasi yang terjadwal seperti apel pagi. Jalanan arteri di pusat kota yang hancur membangunkan mimpi kemajuan dan ketika mereka dapati Banten kini tak jauh beda. Lubang jalan di mana-mana membuat masyarakat frustasi. Rumah tak layak huni menjadi pemandangan yang menyayat hati.
Lantas, mengapa Banten yang berjuluk Negeri Auliya dan selalu dikibarkan panji-panji Islam tidak berhasil mewujudkan kesejahteraan masyarakat Banten? Padahal Banten memiliki spirit kemajuan yang tinggi yang berlandaskan Iman dan Takwa sebagaimana semboyan pembangunan. Maka hadirnya makalah ini, mencoba menghadirkan sosok maestro pembangunan Sang Sultan Maulana Hasanuddin Banten sebagai peletak atau founding father Kesultanan Banten yang jaya, harapan besarnya adalah menjadikan spirit bagi penerus titah pembangunan Banten. Starting point pada pembahasannya adalah bagaimana Sultan Maulana Hasanuddin dalam membentuk masyarakat sejahtera? Sosok ideal seperti apakah Sang Sultan? Apa yang salah dalam pembangunan saat ini? Selain itu juga akan dibahas uraian masyarakat sejahtera dalam perspektif Al-Quran.
Ketiga permasalahan tersebut, setidaknya dapat menjawab kegalauan masyarakat Banten tentang mimpi mewujudkan kesejahteraan.
B. Menelisik Masyarakat Sejahtera dalam Bingkai Al-Quran
Secara etimologi kata masyarakat berasal dari kata syarikat. Kata ini terpakai dalam bahasa Indonesia dan Malaysia. Dalam bahasa Indonesia menjadi serikat, maknanya perkumpulan atau golongan. Sedangkan dalam bahasa Malaysia tetap dalam ejaan aslinya, syarikat (Al-Badri, 1990: 3). Eksplorasi lebih mendalam disampaikan Gazalba (1976: 1) bahwa kata masyarakat telah terjadi literasi ke dalam bahasa lazim Indonesia menjadi masyarakat, yang mengandung arti sistem sosial atau pergaulan kelompok manusia yang teratur. Ia mengandung arti mempertahankan hubungan-hubungan teratur antara seseorang dengan orang lain. Gazalba menyebutnya dengan mujtama’i.
Dalam konkordansi Al-Quran, penyebutan kata masyarakat disampaikan dalam beberapa istilah. Yakni syarika-syurakaa disebutkan 16 kali, kata syurakaai 5 kali, syurakaunaa-syurakaana 2 kali, kata syurakaukum-syurakaakum-syurakaakum 9 kali dan kata syurakuhum-syurakaahum-syurakaihim 8 kali penyebutan. (Al-Aydrusy, 2013: 489-490).
Mengenai wawasan masyarakat sejahtera dalam bingkai Al-Quran, Hamka (2006: 57) menguraikan bahwa ada tiga bentuk masyarakat sejahtera yang dicatat oleh Al-Quran dan ditegaskan oleh para ulama. Ketiga bentuk tersebut memiliki perbedaan satu sama lain dalam karakteristik, sifat-sifat, landasan dan tiang penyangga yang menjadi sasaran.
Pertama, masyarakat sejahtera di akhirat. Model masyarakat ini dikenal kaum muslimin sebagai surga, tempat yang dijadikan sebagai ganjaran bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Model masyarakat ini dicanangkan manusia untuk diri mereka sendiri menggambarkan mimpi dan harapan dan hal demikian amat lebih bagi mereka.
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (QS. Al-Kahfi [18]: 46).
Dalam pemahaman ayat di atas Khalafallah (2008: 25) memberikan keterangan karena dua alasan, yaitu pertama masyarakat tersebut merupakan hal yang ghaib, dan hal itu hanya dapat diteropong hanya melalui Al-Quran. Kedua masyarakat tersebut akan terbentuk bukan jaminan kehidupan di dunia (sengsara atau senang).
Kedua, masyarakat sejahtera di dunia. Bentuk masyarakat ini telah terbangun dalam pikiran masyarakat Arab kala itu sebelum Al-Quran turun dan memberikan kabar gembira tentang surga dan neraka, atau dengan kebahagiaan dan kesengsaraan. Selain itu, model masyarakat ini merupakan cara untuk mengenali aib-aib yang telah dijelaskan oleh Al-Quran atasnya, yang sejatinya aib-aib tersebut sama dengan aib masyarakat kapitalis, sebab keindahan dunia sebagai perhiasan bagi pandangan manusia.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan0 manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingin, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran [3]: 14).
Interpretasi ayat di atas, Abdulrahim (2002: 32) mengatakan bahwa ada enam prinsip yang menopang masyarakat sejahtera di dunia:
  1. Wanita cantik yang menenteramkan suami, memuaskan nafsunya, menuntaskan kesenangannya, dan memenuhi kebutuhannya.
  2. Anak-anak yang dijadikan sebagai kebanggaan, sandaran hidupnya dan melanjutkan estafet keturunan serta membuat orangtua tetap dikenang.
  3. Kekayaan luas, serupa dengan perhiasan emas dan perak.
  4. Kuda pilihan yang menjadi simbol kekayaan yang megah.
  5. Binatang ternak yang dijadikan perhiasan ketika berdiam, berjalan, dan membawa perbekalan-perbekalan usaha.
  6. Sawah ladang yang dapat  memberikan semua bekal yang dibutuhkan.
Ketiga, masyarakat sejahtera di dunia dan akhirat. Model masyarakat ini dalam bahasa Al-Maududi (1983: 14) disebut dengan istilah rifahiyah (yang menyenangkan) atau muthrifah (yang megah). Manusia diharuskan memenuhi panggilan untuk membentuk masyarakat ini dengan cepat dan segera. Hampir tidak ada yang terlintas dalam hati kecuali memenuhi panggilan tersebut. Potret kesejahteraan masyarakat di dunia ini dihasilkan dari aktivitas amal dan giat bekerja dalam wadah Islam, sebab yang menjadi jembatan emas antara kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah agama. Sehingga masyarakat muslim selalu diharuskan untuk berdoa sebagai potret dari masyarakat sejahtera di dunia dan di akhirat serta berlindung dari azab neraka.
فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا ۗ فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia’, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat (200). Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka (201).” (QS. Al-Baqarah [2]: 200-201).
C. Biografi Sultan Maulana Hasanuddin Banten dalam Membuka Keislaman Masyarakat Banten
Sejarah telah mencatat, dalam Purwaka Caruban Nagari seperti yang dikutip Djajadiningrat dalam Michrob (2013: 55) bahwa Syarif Hidayatullah biasa dikenal dengan Sunan Gunung Djati Panembahan Pakungwati Cirebon, datang beserta muridnya 98 orang berusaha mengislamkan penduduk di Banten. Dengan kesabaran dan ketekunan, akhirnya banyak yang mengikuti jejak Syarif Hidayatullah ini. Bahkan akhirnya Bupati Banten dan sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam.
Karena tertarik akan budi pekerti dan ketinggian ilmunya, maka Bupati Banten menikahkan Syarif Hidayatullah dengan adik perempuannya yang bernama Nhay Kawunganten. Dari pernikahan ini Syarif Hidayatullah dikaruniai dua anak yang diberi nama Ratu Winaon dan Hasanuddin. Tidak lama kemudian, karena panggilan umaknya Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah berangkat ke Cirebon. Di sana ia diangkat menjadi Tumenggung yang memerintah daerah Cirebon, menggantikan uwaknya yang sudah tua. Sedangkan tugas penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Hasanuddin.
Dengan ketekunan dan kesungguhan serta kelembutan hatinya, usaha Hasanuddin ini membuahkan hasil yang menakjubkan. Diceritakan bahwa di antara yang memeluk agama Islam adalah 800 resi/petapa. Sehingga di Banten telah terbentuk satu masyarakat Islam di antara penduduk pribumi yang masih memeluk ajaran nenek moyang. (Toynbee dalam Abdul Malik: 2001: 18).
Pangeran Sabakingkin, nama lain dari Hasanuddin diberikan ketika beliau berhasil mendirikan Kota Banten pada tanggal 8 Oktober 1526 (Michrob, 2011: 64), semenjak itu Banten menjadi kesultanan yang dipertuan oleh Pangeran Hasanuddin bagi seluruh daerah Sunda barat, dan puncaknya adalah penaklukan Banten Girang dan pesisir dengan membuat Surosowan sebagai pusat pemerintahan kesultanan Banten.
Pemberian gelar “Sultan” merupakan kado dari Wazir Arab (Mesir) kala itu, yang merupakan uwaknya yakni suami dari Nhay Larasantang karena keberhasilannya membentuk masyarakat baru yang lebih islami (Lubis, 2006: 57). Dalam kehidupan pribadi Sultan Maulana Hasanuddin dari pernikahannya pada tahun 1526 dengan putri Raja Demak Trenggono yang bernama Ratu Ayu Kirana, dikaruniai putra-putri: Ratu Pembayun, Pangeran Yusuf, Pangeran Arya, Pangeran Sunyararas, Pangeran Padjajaran, Pangeran Pringgalaya, Ratu Agung, Pangeran Maulana Maghrib dan Ratu Arsanengah. Sedangkan dari istri lainnya: Pangeran Wahas, Pangeran Lor, Ratu Rara, Ratu Keben, Ratu Terpenter, Ratu Wetan dan Ratu Biru. Maulana Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan dimakamkan di samping Masjid Agung Banten (Michrob, 2011: 88).
D. Strategi Sultan Maulana Hasanuddin Banten dalam Mewujudkan Masyarakat Sejahtera
Lazimnya pembangunan yang dilakukan, selalu mengaitkan pembangunan fisik, lingkungan , ekonomi, sosial dan pendidikannya. Kiranya dua dimensi pembangunan fisik dan pembangunan karakter (tata nilai) harus berdampingan dan sinequa non, selaras dan seimbang dalam masyarakat dan karakter pemerintahannya. Inilah mengapa Sultan Maulana Hasanuddin Banten berhasil membentuk social engineering yang canggih sehingga muncul good governance yang luar biasa. Ada beberapa strategi yang dilakukan Sang Sultan, yakni:
Pertama, dalam awal pembuka masyarakat yang beradab Sultan dipondasikan dengan “Ketauhidan”. Membangun pondasi keimanan ini menjadi hal yang utama dan mendasar. Dalam konsep Islam, Al-Qaradhawi (2004: 7) mengusungkan bahwa sifat utama ideologi Islam ialah tidak adanya suatu konflik antara kehidupan rohani dan kehidupan duniawi. Agama Islam tidak hanya mementingkan kehidupan rohani saja, tetapi kehidupan duniawi. Ia bercita-cita ingin membentuk kehidupan individu dan masyarakat dengan contoh yang baik, agar kehidupan di dunia yang diridhai Allah dapat dilaksanakan di bumi serta mendapatkan kedamaian, ketenangan, dan kesehatan bagaikan air sungai yang mengalir terus ke laut. Sehingga ending-nya adalah tercipta keberkahan di langit dan bumi, sekiranya penduduk atau masyarakat tersebut dilandasi keimanan dan ketakwaan
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf [7]: 96).
Dalam Babad Banten diceritakan bahwa Sultan Hasanuddin selalu berkeliling sambil berdakwah dari satu daerah ke daerah lain. Sesekali bertempat di Gunung Pulosari, Gunung Karang atau Gunung Lor, bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Dalam kelananya Hasanuddin sangat intens melakukan dakwah penanaman tauhid selama tujuh tahun. Alhasil, sekitar 800 ajar yang kemudian menjadi pengikut Sultan Hasanuddin (Michrob, 2011: 61). Para ajar/resi inilah kemudian hari menjadi pengikut setia Sultan dalam membantu misi dakwahnya.
Kedua, strategi berikutnya adalah Sultan Maulana Hasanuddin membentuk kader-kader militan (manggala-manggala) dalam mempersiapkan pembukaan masyarakat baru yakni masyarakat muslim yang sejahtera. Setelah Sultan berhasil mengislamkan para ajar/resi, kemudian Sultan membina para resi tersebut sesuai proporsional dan profesional. Sebagai bukti, sejarah mencatat, dari resi sakti di bidang pertahanan dan keamanan yaitu Mas Jong dan Agus Jo atau disebut Ki Jongjo, mereka menjadi punggawa kesultanan dalam melindungi Sultan dalam berdakwah. Atau ketika Sang Sultan menjadikan putra mahkotanya yaitu Maulana Yusuf, beliau menugaskan kepada Maulana Yusuf untuk menundukkan Kerajaan Pakuan yang terakhir yakni Pagamulya atau Prabu Surya Kencana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan (Padjajaran), melainkan di Pulosari Pandeglang, sehingga disebut juga Prabu Pucuk Umun.
Karena posisi Pulosari ditembus musuh, maka Sultan menginstruksikan Maulana Yusuf menjadi panglima setelah kader secara matang oleh ayahnya (Sultan Hasanuddin). Maka Prabu Pucuk Umun pun mampu dikalahkan, ini diabadikan dalam Sangsakala Bumi Rekeh Iki (Michrob, 2011: 76).
Pembentukan (takwin dakwah) Sultan ini sudah menjadi konsep Islam yang baku dalam proses islamisasi, dalam pandangan Hakim (2003: 11) bahwa sistem terpadu dalam pembentukan masyarakat madani (sejahtera) adalah mempersiapkan kader-kader militan yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang unggul untuk mempercepat suksesi pembangunan. Sehingga rencana pembangunan tidak serta merta dibuat tanpa adanya SDM berkualitas. Inilah yang diinformasikan Al-Quran bahwa apabila telah dioptimalkan kemampuan dengan semestinya, maka akan tercipta manggala-manggala yang konsekuen untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, akhirnya Al-Quran memberikan gelar umat terbaik (khaira ummah).
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran [3]: 110).
Ketiga, dalam rangka mensukseskan program pembangunan, Sang Sultan Maulana Hasanuddin Banten melakukan musyawarah rencana pembangunan (musrembang). Usaha Sultan Hasanuddin pengembangan  Banten lebih menitikberatkan pada pengembangan di sektor perdagangan, di samping memperluas daerah pertanian dan perkebunan. Selain itu, Sultan melakukan kajian-kajian pembangunan  berwawasan keislaman. Karena banyaknya pedagang muslim selain aktif berniaga juga menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk negeri, maka di Banten tepatnya di Karangantu sering diadakan perkumpulan-perkumpulan musyawarah untuk mencapai dakwah dan kesejahteraan umat. Perkumpulan itu dinamakan dengan reboan, karena dilakukan pada setiap Rabu awal bulan, kemudian majelis reboan berubah menjadi mudzakaratul ‘ilmi (Ismanto, dkk). Hasil dari kegiatan yang difasilitasi oleh Sultan, dan Sultan pun turun ke bawah (blusukan) menghasilkan berdirinya Masjid Kasunyatan, Masjid Agung dekat alun-alun, pembukaan jalur Karangantu-Pontang, dsb.
Kegiatan ini terurai dalam Al-Quran, bahwa sekecil apa pun pola pembinaan umat harus didasari dengan asas musyawarah, saling bertukar pikiran secara bijak, keras terhadap persoalan penyimpangan dan kekafiran. Sebab strategi perjuangan pembangunan dibingkai dengan kebulatan tekad dan tawakal, sehingga rahmat Allah akan senantiasa ada dalam langkah dan kebijakan.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran [3]: 159).
E. Menggagas Solusi Pembangunan Masyarakat Sejahtera di Provinsi Banten
Inspiring spirit Sultan Maulana Hasanuddin Banten haruslah menjadi referensi akurat dalam pembangunan daerah. Sebab kenyataannya, diakui bahwa banyak keberhasilan yang dicapai dalam penyelenggaraan pemerintah Provinsi Banten sejak berdiri pada tahun 2000 hingga 2014 ini, namun tidak berarti tidak ada kekurangan sama sekali. Keberhasilan yang sering kali diklaim dalam Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Gubernur dari tahun ke tahun, sering kali itu pula bertolak belakang dengan realitas makin banyaknya masyarakat Banten yang masih dilanda kesulitan-kesulitan hidup. Di sisi lain, keberhasilan yang terjadi  faktanya nyaris diragukan sebagai kontribusi dari pemerintah Provinsi Banten. Diskursus inilah yang nyaris mengemuka dari tahun ke tahun, manakala pemerintah provinsi menyampaikan LKPJ-nya, rupa permasalahan yang dicopy-paste, klasik, dan terus berulang.
Ada langkah-langkah solutif yang perlu dibangun hari ini untuk mewujudkan masyarakat sejahtera, di antaranya:
Pertama, spiritualitas visi dan misi pemimpin. Seorang bijak pernah mengatakan: “Satu-satunya alasan mengapa kita selalu melihat kaca spion, semata-mata kita hendak maju ke depan”. Seorang pemimpin harus memiliki komitmen kuat untuk menjaga tauhid dirinya dan masyarakatnya sehingga tercapai keinginan membangun kemuliaan (greatness) sebagai manusia. Komitmen tersebut akan mengantarkan pada upaya terus-menerus untuk memperbaiki kesalahan para pemimpin masa lampau. Untuk merawat dan membangkitkan stamina itu, manusia membutuhkan cita-cita untuk mewariskan kemuliaan di hadapan Allah SWT inilah yang disebut sebagai aktualisasi kecerdasan spiritual pemimpin baru.
Spiritualitas pemimpin adalah berbasis pada Al-Quran yang memiliki orientasi dan evaluasi pada tegaknya nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, kepedulian dan sifat-sifat Tuhan lainnya dalam 99 sifat Tuhan asmaul husna.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 18).
Kedua, memiliki agenda kemuliaan (wisdom master plan) tidak sebatas propaganda dan deklarasi semata. Tindakan menuju kemuliaan ini bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat Banten harus dibangun dengan sinergitas partisipasi untuk melakukan pekerjaan mulia bersama-sama.
Salah satu titik kelemahan hampir semua pembangunan yang telah dilakukan tidak tepat sasaran, tidak efektif, efisien, dan terkesan subjektif. Ini dikarenakan tidak memiliki master plan yang menyeluruh dan terintegrasi secara penuh, belum lagi master plan tersebut tidak wisdom positioning yang akurat. Pembangunan yang sudah dilakukan, terutama mengenai infrastruktur, dilakukan per-segmen wilayah dan tidak berkesinambungan, terkesan hanya untuk menjalankan proyek dan menghabiskan anggaran bahkan sekedar menjalankan titipan dari yang punya kepentingan. Alhasil, banyak daftar antrian di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang notabene para inohong/pejabat Banten.
Orientasi perwujudan masyarakat Provinsi Banten dengan master plan mulia sejatinya menjadi concern dengan pembangunan. Tidak melulu meramu isu untuk kepentingan memeras project sesaat. Jika demikian, perwujudan masyarakat sejahtera di Provinsi Banten hanya omong kosong yang tak akan mungkin bisa diwujudkan. Bahkan bisa jadi akan berubah sebaliknya, menjadi negeri yang kering kerontang sebab tidak memikirkan apa yang Allah telah berikan anugerahnya.
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Artinya: “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (QS. Saba’ [34]: 15).
F. Penutup
Fakta-fakta sejarah keberhasilan Kesultanan Banten yang dinakhodai oleh Sultan Maulana Hasanuddin Banten serta sejumlah persoalan yang diungkap di atas, menjadi hal yang mendasar, wajah sekaligus tantangan pembangunan Banten ke depan terutama dalam mensejahterakan masyarakatnya.
Lebih dari sekedar kerja keras yang dibutuhkan untuk mengembalikan inspirasi dan motivasi kebijakan Sultan Maulana Hasanuddin Banten, tetapi juga kerja cerdas dengan mengoptimalkan seluruh potensi stake holders pembangunan daerah, tanpa terjebak pada “kepentingan” politik, apalagi terikat pada politik “balas budi” kelompok-kelompok pendukung selama pilkada (bargaining politic). Bila itu terjadi, maka dapat dipastikan kepentingan rakyat akan selalu di“anak tiri”kan. Akhirnya hanya dengan tidak melupakan sejarahlah dan mengambil hikmahnya (terutama dari kesuksesan Sultan Hasanuddin Banten). Betul apa yang disampaikan Bung Karno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarahmu yang sudah, wahai bangsaku! Karena jika engkau meninggalkan sejarahmu yang sudah, engkau akan berdiri di atas vacum, engkau akan berdiri di atas kekosongan, dan lantas engkau menjadi bingung, dan perjuanganmu paling-paling hanya berupa amuk, amuk belaka…” (Iskandar, 2008: 11).
Terakhir, semoga tulisan ini menjadi referensi dari sekian banyak asupan gizi pemikiran yang masuk kepada para stake holder di Provinsi Banten, sehingga Moto Juang Banten “Iman Takwa” tetap berkibar dalam koridor kearifan lokal Sang Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Semoga!
Wallahu a’lam bisshowab.

Sumber: Irhamni Rofiun / dakwatuna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar