Kamis, 28 Agustus 2014

Imam Abu Hanifah

Biografi Imam Abu Hanifah ini merupakan satu dari serial biografi emapt Imam Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang madzhabnya tersebar di seluruh dunia Islam. Mereka merupakan mujtahid dan ulama besar yang diikuti oleh umat Islam hingga saat ini.
Insya Allah setelah biografi Imam Abu Hanifah akan kami tayangkan pula Imam madzhab lainnya dari empat Imam madzhab. Marilah kita pelajari dan kita kenali siapa Imam Abu Hanifa.
1. Nama dan Nasab
Imam Adz-Dzahabi berkata, “Dia seorang Imam, faqihul millah (ahli fiqihnya millah ini), ulamanya Iraq, Abu Hanifah Nu’man bin tsabit bin Zautha, At-Taimi, Al-Kufi, Maula Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. Disebutkan juga bahwa beliau keturunan Persia.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/390)
Syaikh At-Taqi Al-Ghazi berkata, “Dialah imamnya para imam, penerang bagi umat, lautan ilmu dan keutamaan, ulamanya Iraq, ahli fiqih dunia seluruhnya, orang setelahnya menjadi lemah di hadapannya, dan yang semasanya, belum pernah mata melihat yang semisalnya, belum ada seorang mujtahid mencapai derajat seperti kesempurnaan dan keutamaannya.” (Ath-Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 24)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha –dengan huruf zay yang didhammahkan dan tha difathahkan- inilah yang masyhur. Ibnu Asy-Syahnah menukil dari gurunya Majduddin Al-Fairuzzabadi dalam Thabaqat Al-Hanafiyah: bahwa huruf zay difathahkan dan tha juga difathahkan (jadi bacanya Zautha), sebagaimana Sakra. Dahulu Zautha adalah seorang raja dari Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. (Ibid)
Syaikh At-Taqi Al-Ghazi juga berkata, “Terjadi perselisihan pendapat tentang asal daerahnya, ada yang mengatakan dari Kaabil, ada pula yang menyebut Baabil, ada yang menyebut Nasaa, ada yang mengatakan Tirmidz, ada juga yang menyebut Al-Anbar, dan lainnya.
Sirajuddin Al-Hindi menyebutkan bahwa cara kompromis dari semua riwayat ini adalah bahwa kakek beliau berasal dari Kaabil, lalu pindah ke Nasaa, lalu ke Tirmidz, atau ayahnya dilahirkan di Baabil, lalu dia dibesarkan di Al-Anbar, dan seterusnya. Ibnu Asy-Syahnah mengatakan bahwa kompromis seperti ini sebenarnya berasal dari Khathib Khawarizmi. Lalu dia mengatakan: sebagaimana Abu Al-Ma’ali Al-Fadhl bin Sahl Al-Isfirayini, karena ayahnya berasal dari Isfirayin, dan dia dilahirkan di Mesir, besar di Halab, lalu mukim di Baghdad, dan wafat di sana, sehingga disebutkan untuk dia: Al-Mishri, Al-Halabi, dan Al-Baghdadi.” (Ibid. Lihat juga Al-Qadhi Abu Abdillah Husein bin Ali Ash-Shimari, Akhbar Abi Hanifah, Hal. 15-16)
Dia dinamakan Hanifah karena sering membawa tinta, yang di Iraq dikenal dengan sebutan Hanifah. Beliau juga dijuluki Imamul A’zham, dan telah banyak kitab para ulama yang menyebutnya demikian, seperti kitab Manaqib Imam Al-A’zham Abi Hanifah, Al-Khairat Al-Hissan fi Manaqib Al-Imam Al-A’zham Abi Hanifah An-Nu’man, dan lainnya.
Ada sebagian orang yang menolak, bahwa Imam Abu Hanifah dijuluki Imamul A’zham oleh para ulama, dengan alasan karena Imamul A’zham adalah sebutan untuk khalifah, dan karena Imam Abu Hanifah bukan khalifah, maka dia bukan Imamul A’zham. Jelas bahwa itu adalah penolakan yang mengada-ada dan sangat ceroboh, sebab sebutan Imamul A’zham pada kenyataan sejarah bukan hanya untuk khalifah, bahkan selain Imam Abu Hanifah pun para ulama juga juga menyebut Imam Asy-Syafi’i dengan Imamul A’zham. Imam Abul Fadhl Fakhrurrazi menyusun sebuah kitab berjudul Manaqib Al-Imam Al-A’zham Asy-Syafi’i. (Lihat Akhbar Ulama bi Akhbaril Hukama, Hal. 124. Mawqi’ Al-Warraq)
2. Kelahirannya
Beliau dilahirkan tahun 80 Hijriyah, ada juga yang menyebut 61 Hijriyah seperti dikatakan Muzahim bin Daud bin ‘Uliyah, tetapi yang shahih dan masyhur adalah 80 Hijriyah. Telah dikatakan oleh anaknya sendiri yakni Hammad, lalu Abu Nu’aim, bahwa Beliau dilahirkan tahun 80 Hijriyah. (Thabaqat As Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 25. Akhbar Abi Hanifah, Hal. 16-17)
Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Lahir tahun 80 hijriyah, pada masa shigharush shahabah (sahabat nabi yang junior), dan sempat melihat Anas bin Malik ketika Anas datang ke kota Kufah.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/391)
Imam Abu Hanifah sempat berjumpa dengan beberapa sahabat nabi, yakni Abdullah bin Al-Haarits dan Beliau mengambil hadits darinya, Abdullah bin Abi ‘Aufa, dan Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah. Beliau berjumpa dengan Anas bin Malik tahun 95 Hijriyah, dan meriwayatkan hadits darinya, serta bertanya kepadanya tentang sujud sahwi. (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 18-19)
Bahkan Ismail, cucu dari Imam Abu Hanifah, menceritakan:
ولد جدي في سنة ثمانين، وذهب ثابت إلى علي وهو صغير، فدعا له بالبركة فيه و في ذريته، ونحن نرجو من الله أن يكون استجاب ذلك لعلي رضي الله عنه فينا.  
Kakekku dilahirkan tahun 80 Hijriyah, dan Tsabit (ayah Abu Hanifah) pergi mendatangi Ali bin Abi Thalib, saat itu dia masih kecil, lalu Ali mendoakannya dengan keberkahan untuknya dan keturunannya, dan kami mengharapkan kepada Allah agar mengabulkan hal itu, karena doa Ali Radhiallahu ‘Anhu pada kami. (Siyar A’lamin Nubala, 6/395)
3. Sifat-Sifat dan Penampilan
Imam Abu Nu’aim menceritakan bahwa Imam Abu Hanifah berparas tampan, jenggotnya rapi, pakaiannya bagus, sendalnya bagus, dan dermawan bagi orang di sekelilingnya. (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 16)
Imam Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
ما كان أوقر مجلس أبي حنيفة كان يتشبه الفقهاء به وكان حسن السمت حسن الوجه حسن الثوب
Tidak ada yang seberwibawa majelisnya Abu Hanifah, dahulu para ahli fiqih menirunya, dia berperilaku baik, wajahnya bagus, dan pakaiannya bagus. (Ibid, Hal. 17)
Beliau adalah penenun sutera, dan menjualnya, dia memiliki toko yang terkenal di rumahnya Amru bin Huraits. (Siyar A’lamin Nubala, 6/394)
Salah seorang kawan dan muridnya, Imam Abu Yusuf bercerita:
 كان أبو حنيفة رحمه الله ربعة من الرجال ليس بالقصير ولا بالطويل وكان أحسن الناس منطقا وأحلاهم نغمة وأبينهم عما يريد
Abu Hanifah Rahimahullah laki-laki yang berperawakan ideal, tidak pendek, dan tidak tinggi. Dia adalah manusia yang paling bagus tutur katanya, dan paling bagus suaranya ketika bersenandung, dan paling bisa menerangkan kepada orang lain apa yang diinginkannya. (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 17, Siyar A’lamin Nubala, 6/399)
Dalam Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Imam Ibnu Muflih berkata:
قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ
“Berkata pengarang Al-Muhith dari kalangan Hanafiyah, dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya, “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab, “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu Muflih, Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mawqi’ Al-Islam)
Kisah ini menjadi petunjuk bahwa Imam Abu Hanifah merupakan salah satu imam yang membolehkan Isbal (menjulurkan pakaian hingga melebihi mata kaki), kecuali jika dibarengi dengan sombong (khuyala’).
4. Kemampuan dalam ilmu hadits
Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah bercerita:
وقال صالح بن محمدسمعت يحيى بن معين يقول: كان أبو حنيفة ثقة في الحديث، وروى أحمد بن محمد بن القاسم بن محرز، عن ابن معين: كان أبو حنيفة لا بأس به. وقال مرة: هو عندنا من أهل الصدق، ولم يتهم بالكذب.
Shalih bin Muhammad berkata: Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqah (terpercaya) dalam hadits.” Ahmad bin Muhammad bin Al-Qasim bin Mihraz meriwayatkan dari Ibnu Ma’in, “Abu Hanifah laa ba’sa bihi (tidak apa-apa).” Dia berkata lagi, “Bagi kami dia adalah ahlus sidhqi (orang yang jujur), dan tidak dituduh sebagai pendusta.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/395)
Namun, sebagian ulama ada yang mendhaifkannya dari sisi hafalannya, seperti Imam An-Nasa’i, Imam Ibnu ‘Adi, dan lainnya. Imam Adz-Dzahabi sendiri menyebutnya sebagai Imam Ahl Ar Ra’yi. (Imamnya para pengguna rasio). (Mizanul I’tidal, 4/265)
Pendhaifan yang dilakukan oleh Imam An-Nasa’i dan Imam Ibnu ‘Adi terhadap diri Imam Abu Hanifah, telah dikoreksi para ulama. Cukuplah bagi kita pujian yang datangnya dari manusia yang hidup sezaman dengannya, dan pernah bertemu dengannya pula, seperti Imam Abdullah bin Mubarak, Imam Malik, Imam Ali bin Al-Madini, Imam Yahya bin Adam, Imam Al-Hasan bin Shalih, dan lainnya, dibandingkan kritikan dari Imam An-Nasa’i dan Imam Ibnu ‘Adi yang hidupnya satu sampai dua abad setelah Imam Abu Hanifah.
Ahlur Ra’yi adalah orang yang lebih dominan menggunakan ra’yu (pendapat-aql), dibanding atsar (naql). Oleh karenanya sebagian orang menuduh Imam Abu Hanifah hanya sedikit menggunakan hadits, dibanding akalnya sendiri. Ada yang menyebut bahwa Beliau hanya menggunakan hadits sebanyak tujuh belas saja!
Namun hal ini disanggah oleh para ulama yang mengkaji kehidupan Beliau secara objektif. Seperti Imam Ibnu Khaldun misalnya dalam kitab Muqaddimah. Menurutnya, sedikitnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hanifah bukan karena Beliau menolak hadits, tetapi lebih disebabkan karena kehati-hatian dan ketatnya syarat-syarat hadits shahih yang ditetapkannya, berbeda dengan imam lainnya yang lebih longgar. Bagaimana mungkin Beliau tidak menggunakan hadits, padahal Beliau telah menjadi imamnya para imam, fuqaha, dan ahli hadits, sehingga Beliau menjadi muassis (peletak dasar) madzhab Hanafi. Sebutlah para fuqaha hanafi, seperti: Imam Muhammad bin Hasan, Al-Qadhi Abu Yusuf, Imam Kamaluddin bin Al-Hummam, Imam Ibnu ‘Abidin, dan lainnya. Juga para imam ahli hadits, seperti Imam Abu Ja’far Ath Thahawi, Imam Az Zaila’i, Imam Al-Marghinani, dan lainnya.
Ditambah lagi, beliau menyusun ilmu pengetahuan dari madrasah ilmiah di Kufah, yang sejak awalnya sudah difondasikan oleh salah satu sahabat nabi, Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, yang memadukan hadits dan fiqih sekaligus. Dari madrasah ilmiah ini lahirlah para imam tabi’in, seperti Ibrahim An-Nakha’i, Hammad bin Abi Sulaiman, dan Imam Abu Hanifah salah satunya di generasi setelah mereka.
Oleh karenanya, tepat apa yang dikatakan oleh Imam Yahya bin Ma’in tentang beliau:
كَانَ أَبُو حَنِيْفَةَ ثِقَةً، لاَ يُحَدِّثُ بِالحَدِيْثِ إِلاَّ بِمَا يَحْفَظُه، وَلاَ يُحَدِّثُ بِمَا لاَ يَحْفَظُ
Abu Hanifah adalah tsiqah, dia tidak akan berbicara dengan hadits kecuali dengan yang dihafalnya, dan tidak akan berbicara dengan yang tidak dihafalnya. (Tarjamah Al-Aimmah Al-Arba’ah, Hal. 9)
Imam Ibnu Khaldun Rahimahullah berkata:
والامام أبوحنيفة إنما قلت روايته لما شدد في شروط الرواية والتحمل، وضعف رواية الحديث اليقيني إذا عارضها الفعل النفسيوقلت من أجلها روايته فقل حديثه. لا أنه ترك رواية الحديث متعمدا، فحاشاه من ذلك. ويدل على أنه من كبإر المجتهدين في علم الحديث اعتماد مذهبه بينهم، والتعويل عليه واعتباره رداً وقبولا. واما غيره من المحدثين وهم الجمهور، فتوسعوا في الشروط وكثر حديثهم، والكل عن اجتهاد. وقد توسع اصحابه من بعده في الشروط وكثرت روايتهم.
وروى الطحاوي فاكثر وكتب مسنده، وهو جليل القدر إلا أنه لا يعدل الصحيحين، لأن الشروط التي اعتمدها البخاري ومسلم في كتابيهما مجمع عليها بين الأمة كما قالوهوشروط الطحاوي في غير متفق عليها، كالرواية عن المستور الحال وغيره
Imam Abu Hanifah sedikit riwayat haditsnya sebab Beliau sangat ketat dalam menetapkan syarat-syarat riwayat dan penakwilannya, Beliau mendhaifkan hadits jika hadits tersebut dinilai bertentangan dengan nalar secara meyakinkan. Maka dari itu Beliau telah mempersulit dirinya sendiri, dan sedikitnya riwayat hadits darinya adalah karena hal itu. Bukan karena Beliau sengaja meninggalkan hadits, sungguh Beliau jauh dari sikap itu.
Hal yang membuktikan bahwa Beliau seorang mujtahid besar dalam hadits adalah bahwa para ulama telah menyandarkan diri mereka kepada madzhabnya dan telah memberikan kepercayaan kepadanya.
Sedangkan para ahli hadits yang lain, yaitu jumhur (mayoritas), lebih longgar dalam menetapkan syarat-syaratnya. Sehingga hadits mereka banyak dan lapang dalam berijtihad. Namun demikian, para pengikut Abu Hanifah lebih longgar dalam menetapkan syarat-syarat periwayatan, sehingga hadits mereka juga banyak.
Ath-Thahawi meriwayatkan paling banyak dan menulis Musnadnya, yaitu kitab Jalilul Qadr. Tetapi belum sebanding dengan Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Sebab syarat-syarat yang ditetapkan oleh Al-Bukhari dan Muslim telah disepakati umat, sebagaimana yang mereka katakan, sedangkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Ath-Thahawi belum disepakati mereka. Seperti riwayat yang datangnya dari orang yang masih tersembunyi keadaaanya dan lain-lainnya. (Imam Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Hal. 255. Mawqi’ Al-Warraq)
5. Kesungguhannya memegang sunah nabi
Disebutkan dalam Siyar Alamin Nubala:
وعن أبي معاوية الضرير قالحب أبي حنيفة من السنة
Dari Abu Mu’awiyah Adh-Dharir, katanya, “Abu Hanifah sangat berkomitmen dengan sunah nabi.” (Imam Adz-Dzahabi, Siyar Alamin Nubala, 3/401)
Imam Abu Hanifah berkata:
ما جاء عن الرسول صلى الله عليه وسلم، فعلى الرأس والعين، وما جاء عن الصحابة اخترنا، وما كان من غير ذلك، فهم رجال ونحن رجال.
Apa-apa yang datang dari Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wajib bagi mata dan kepala untuk mengikutinya, dan yang datang dari para sahabat maka kami akan memilihnya, dan yang datang dari selain mereka, maka mereka laki-laki kami pun laki-laki. (Ibid)
Maksudnya jika sebuah permasalahan terhenti pada pendapat tabi’in, tidak ada hadits, tidak pula perkataan sahabat, yang ada adalah perkataan setelah mereka yakni tabi’in, maka Beliau akan berijtihad sebab Beliau juga laki-laki yang memiliki kemampuan sebagaimana mereka.
6. Akhlak dan Ibadahnya
Asad bin Amru berkata:
أن أبا حنيفة، رحمه الله، صلى العشاء والصبح بوضوء أربعين سنة
Bahwa Abu Hanifah Rahimahullah melakukan shalat isya dan subuh dengan sekali wudhu selama 40 tahun. (Ibid, 6/399)
Al-Qadhi Abu Yusuf menceritakan:
بينما أنا أمشي مع أبي حنيفة، إذ سمعت رجلا يقول لآخرهذا أبو حنيفة لا ينام الليل. فقال أبو حنيفة: والله لا يتحدث عني بما لم أفعل. فكان يحيى الليل صلاة وتضرعا ودعاء.
Ketika saya sedang berjalan bersama Abu Hanifah, saya mendengar seseorang berkata kepada yang lain, “Inilah Abu Hanifah, dia tidak pernah tidur malam.” Lalu Abu Hanifah berkata, “Demi Allah, Dia tidak membicarakan tentang aku dengan apa-apa yang aku tidak pernah lakukan.” Maka Beliau senantiasa menghidupkan malam dengan penuh kerendahan dan banyak berdoa. (Ibid)
Imam Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
ما رأيت رجلا أوقر في مجلسه، ولا أحسن سمتا وحلما من أبي حنيفة
Saya belum pernah melihat seorang laki-laki yang lebih berwibawa di majelisnya, dan tidak ada yang lebih bagus diam dan sabarnya dibanding Abu Hanifah. (Ibid, 6/400)
Al-Mutsanna bin Raja’ berkata:
جعل أبو حنيفة على نفسه، إن حلف بالله صادقا، أن يتصدق بديناروكان إذا أنفق على عياله نفقة تصدق بمثلها.
Abu Hanifah telah bersumpah kepada Allah dengan sebenar-benarnya bahwa dia akan bersedekah dengan dinar, yaitu jika dia telah membelanjakan sejumlah uangnya untuk keluarganya, maka dia akan menyedekahkan uang sebanyak itu pula. (Ibid)
Imam Adz-Dzahabi menyebutkan berbagai pujian ulama tentang akhlaq dan ibadahnya Imam Abu Hanifah:
وعن شريك قالكان أبو حنيفة طويل الصمت، كثير العقل. وقال أبو عاصم النبيل: كان أبو حنيفة يسمى الوتد لكثرة صلاته. وروى بن إسحاق السمرقندي، عن القاضي أبي يوسف قال: كان أبو حنيفة يختم القرآن كل ليلة في ركعة. يحيى بن عبدالحميد الحماني، عن أبيه أنه صحب أبا حنيفة ستة أشهر، قال: فما رأيته صلى الغداة إلا بوضوء عشاء الآخرة، وكان يختم كل ليلة عند السحر.
Dari Syarik, dia berkata, “Imam Abu Hanifah lama diamnya dan banyak akalnya (cerdas).” Berkata Abu ‘Ashim An-Nail, “Abu Hanifah juga dinamakan Al-Watid karena banyak shalatnya.” Ibnu Ishaq As Samarqandi meriwayatkan dari Al-Qadhi Abu Yusuf, “Abu Hanifah mengkhatamkan Al-Quran setiap malam dalam satu rakaat.” Yahya bin Abdul Hamid Al-Himani, dari ayahnya bahwa Dia menemani Abu hanifah selama enam bulan, dia berkata, “Aku belum pernah melihatnya shalat subuh melainkan dengan wudhu shalat Isya, dan dia senantiasa mengkhatamkan Al-Quran setiap malam pada waktu sahur. (Ibid)
Diriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah telah mengkhatamkan Al-Quran 7000 kali. (Ibid)
Imam Adz-Dzahabi juga menceritakan:
عن القاسم بن معن، أن أبا حنيفة قام ليلة يردد قوله تعالى(بل الساعة موعدهم والساعة أدهى وأمر) [ القمر: 46 ] ويبكي ويتضرع إلى الفجر.
Dari Al-Qasim bin Mu’in, bahwa Imam Abu Hanifah bangun untuk shalat malam dan mengulang-ulang firman Allah Taala: (sebenarnya hari kiamat Itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit. (Al-Qamar: 46), lalu Beliau menangis dan tertunduk hingga fajar. (Ibid, 6/401)
Yazid bin Harun berkata:
ما رأيت أحدا أحلم من أبي حنيفة.
Saya belum pernah melihat seorang pun yang lebih penyabar dibanding Abu Hanifah. (Ibid)
7. Sanjungan ulama terhadap ilmu dan kecerdasannya
Hayyan bin Musa Al-Marwadzi berkata:
سئل ابن المباركمالك أفقه، أو أبو حنيفة ؟ قال: أبو حنيفة.
Ibnul Mubarak ditanya, “Mana yang lebih paham tentang fiqih, Malik atau Abu Hanifah? Beliau berkata: Abu Hanifah.” (Ibid, 6/402)
Imam Yahya Al-Qaththan berkata:
لا نكذب الله، ما سمعنا أحسن من رأي أبي حنيفة، وقد أخذنا بأكثر أقواله
Kami tidak membohongi Allah, kami belum pernah mendengar pendapat yang lebih baik dibanding pendapat Abu Hanifah, dan kami telah mengambil lebih banyak dari pendapatnya. (Ibid)
Disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi:
وقال علي بن عاصملو وزن علم الامام أبي حنيفة بعلم أهل زمانه، لرجح عليهم.
وقال حفص بن غياثكلام أبي حنيفة في الفقه، أدق من الشعر، لا يعيبه إلا جاهل.
وقال جريرقال لي مغيرة: جالس أبا حنيفة تفقه، فإن إبراهيم النخعي لو كان حيا لجالسه.
وقال ابن المباركأبو حنيفة أفقه الناس. وقال الشافعي: الناس في الفقه عيال على أبي حنيفة
Berkata Ali bin ‘Ashim, “Seandainya ditimbang ilmu Imam Abu Hanifah dengan ilmu manusia yang hidup pada zamannya, niscaya ilmunya lebih berat dibanding mereka.”
Berkata Hafsh bin Ghiyats, “Perkataan Abu Hanifah dalam fiqih, lebih dalam dibanding syair, dan tidak ada yang meng-’aibkan dirinya melainkan orang bodoh.”
Jarir berkata: Mughirah berkata kepadaku, “Duduklah bersama Abu Hanifah niscaya kau akan mengerti, sungguh seandainya Ibrahim An-Nakha’i hidup niscaya dia (Ibrahim) akan duduk di hadapannya (untuk belajar).”
Ibnul Mubarak berkata, “Abu Hanifah adalah manusia paling paham tentang fiqih.”
Asy-Syafi’i berkata, “Dalam fiqih, manusia (para ulama) adalah satu keluarga dengan Abu Hanifah.” (Ibid, 6/403)
Imam Asy-Syafi’i berkata:
قيل لمالكهل رأيت أبا حنيفة ؟ قال: نعم. رأيت رجلا لو كلمك في هذه السارية أن يجعلها ذهبا لقام بحجته.
Ditanyakan kepada Imam Malik, “Apakah engkau pernah melihat Imam Abu Hanifah? Beliau berkata, “Ya, aku melihat seorang laki-laki yang jika dia mengatakan kepadamu bahwa dia ingin menjadikan tiang ini emas, maka itu akan terjadi karena hujjah yang dimilikinya.” (Ibid, 6/399)
Imam Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
لولا أن الله أعانني بأبي حنيفة وسفيان، كنت كسائر الناس.
Kalau bukan pertolongan Allah kepadaku melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri, niscaya aku sama saja dengan kebanyakan manusia (awam). (Ibid, 6/398)
Beliau juga berkata:
إن كان الأثر قد عرف واحتيج إلى الرأي فرأي مالك وسفيان وأبي حنيفة وأبو حنيفة أحسنهم وأدقهم فطنة وأغوصهم على الفقه وهو أفقه الثلاثة
Walau pun atsar sudah diketahui, berhujahlah dengan pendapat juga yaitu pendapat Malik, Sufyan, dan Abu Hanifah. Pendapat Abu Hanifah adalah terbaik diantara mereka, lebih detail kecerdasannya, lebih dalam fiqihnya, dan dia lebih faqih di antara bertiga itu. (Akhbar Abi Hanifah, hal. 84)
Muhammad bin Bisyr berkata: Aku pernah bergantian mengunjungi Sufyan Ats-Tsauri dan Abu Hanifah. Ketika aku mendatangi Abu Hanifah dia bertanya, “Dari mana kamu?” Aku jawab, “Aku datang dari sisi Sufyan Ats Tsauri.” Abu Hanifah menjawab, “Engkau datang dari sisi seorang laki-laki yang seandainya ‘Alqamah dan Al-Aswad melihat semisal orang itu (maksudnya Sufyan), maka mereka berdua akan berhujjah dengannya.” Lalu aku mendatangi Sufyan Ats-Tsauri, dia bertanya, “Dari mana kamu?” Aku jawab, “Aku datang dari sisi Abu Hanifah.” Sufyan menjawab, “Engkau datang dari sisi seorang yang paling faqih di antara penduduk bumi.” (Tarikh Baghdad, 15/459)
Syadad bin Hakim berkata:
ما رأيت أعلم من أبي حنيفة
Aku belum pernah melihat orang yang lebih berilmu dibanding Abu Hanifah. (Ath-Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 29)
Abdullah bin Daud pernah berkomentar tentang orang yang suka menggunjingkan Imam Abu Hanifah:
لايتكلم فِي أبي حنيفَة إِلَّا أحد رجلَيْنِ إِمَّا حَاسِد لعلمه وَإِمَّا جَاهِل بِالْعلمِ
Tidak ada yang menggunjingkan Abu Hanifah melainkan satu di antara dua laki-laki: orang yang dengki terhadap ilmunya, dan orang yang bodoh terhadap keilmuannya. (Imam Al-Husein bin Ali bin Muhammad Al-Hanafi, Akhbar Abi Hanifah, Hal. 64)
Bisyar bin Qirath menceritakan tentang kedudukan Imam Abu Hanifah dan Imam Sufyan Ats-Tsauri:
حججْت مَعَ أبي حنيفَة وسُفْيَان فَكَانَا إِذا نزلا منزلا أَو بَلْدَة اجْتمع عَلَيْهِمَا النَّاس وَقَالُوا فَقِيها الْعرَاق فَكَانَ سُفْيَان يقدم أَبَا حنيفَة وَيَمْشي خَلفه وَإِذا سُئِلَ عَن مَسْأَلَة وأبوحنيفة حَاضر لم يجب حَتَّى يكون أَبُو حنيفَة هُوَ الَّذِي يُجيب
Aku haji bersama Abu Hanifah dan Sufyan, jika mereka berdua berhenti di sebuah tempat atau negeri manusia berkumpul mengelilingi mereka, mereka bilang, “Ahli Fiqihnya Irak (maksudnya Abu Hanifah).” Sufyan lebih mendahulukan Abu Hanifah, dia berjalan di belakangnya dan jika dia ditanya sebuah masalah dan hadir di situ Abu Hanifah, dia tidak akan menjawabnya sampai Abu Hanifah-lah yang menjawabnya. (Ibid, Hal. 73)
8. Kata-kata hikmah dari Imam Abu Hanifah
Banyak kata-kata hikmah yang disandarkan sebagai ucapannya, di antaranya:
إذا ثبت الحديث فهو مذهبي واتركوا قولي بقول رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Jika ada hadits yang kuat, maka hadits itu adalah pendapatku, dan tinggalkanlah perkataanku dan gantilah dengan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Syaikh Abdul Hay bin Fakhruddin Al-Hasani Ath-Thaalibi, Nuz-hah Al-Khawaathir, 6/707)
Dalam keterangan lain, ada beberapa kata-kata hikmah yang juga disandarkan kepada beliau:
لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناهوقال: حرام على من لم يعرف دليلي أن يفتي بكلامي؛ فإننا بشر نقول القول اليوم ونرجع عنه غدا . وكذلك قال: إذا قلت قولا يخالف كتاب الله تعالى وخبر الرسول فاتركوا قولي
“Tidak halal bagi seorang pun yang mengambil pendapat kami selama dia belum tahu dari mana kami mengambil pendapat kami itu.”
Beliau juga berkata, “Haram atas siapa pun yang tidak mengetahui dalilku lalu dia berfatwa dengan fatwaku, karena kami juga manusia yang bisa berpendapat pada hari ini lalu kami meralatnya esok hari.”
Beliau juga berkata, “Jika pendapatku bertentangan dengan Kitabullah dan Sunah Rasulullah, maka tinggalkanlah pendapatku.” (Syaikh Mas’ud An-Nadwi, Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum wa Muftara ‘Alaih, Hal. 55. Cat kaki No. 2)
9. Kehebatan dalam berdebat
Ada peristiwa unik dan mengagumkan tentang Imam Abu Hanifah dalam hal ini, sebagaimana diceritakan Imam Adz-Dzahabi. Khalifah Al-Manshur hendak menjadikannya sebagai seorang pejabat tinggi, yaitu sebagai Qadhi (semacam hakim agung saat itu). Raja memaksanya, namun Imam Abu Hanifah menolaknya.
Mughits bin Budail bercerita, bahwa Al-Manshur memanggil Imam Abu Hanifah untuk dijadikan sebagai Qadhi (hakim agung), maka terjadilah dialog:
فَقَالَأَتَرغَبُ عَمَّا نَحْنُ فِيْهِ؟, فَقَالَ: لاَ أَصْلُحُ. قَالَ: كَذَبتَ.
Berkata Khalifah, “Maukah kamu menduduki jabatan yang sekarang dibebankan kepadaku?”
Imam Abu Hanifah menjawab, “Saya tidak layak.”
Khalifah menimpali, “Bohong kamu!”
Lalu di antara jawaban Abu Hanifah yang membuat Khalifah tidak bisa berkata-kata, dan menunjukkan kehebatan Abu Hanifah dalam berdebat dan ilmu logika, seperti yang diriwayatkan oleh Ar-Raabi’ Al-Haajib berikut ini:
قَالَ أَبُو حَنِيْفَةَوَاللهِ مَا أَنَا بِمَأْمُوْنِ الرِّضَى، فَكَيْفَ أَكُوْنُ مَأْمُوْنَ الغَضَبِ، فَلاَ أَصلُحُ لِذَلِكَ.
قَالَ المَنْصُوْرُكَذَبتَ، بَلْ تَصلُحُ.
فَقَالَكَيْفَ يَحِلُّ أَنْ تُوَلِّيَ مَنْ يَكْذِبُ
Abu Hanifah menjawab, “Demi Allah, jika dalam keadaan senang saja aku tidak amanah, maka bagaimana bisa amanah jika aku sedang marah? Pokoknya aku tidak layak!”
Al-Manshur berkata, “Kamu bohong!”
Abu Hanifah menjawab lagi, “Kalau begitu, bagaimana bisa Anda menjadikan seorang pembohong sebagai hakim?” (Siyar A’lamin Nubala, 6/402)
Ya, kalau memang sudah tahu aku ini pembohong kok masih diangkat juga sebagai hakim? Inilah jawaban Abu Hanifah untuk mengelak menjadi seorang pejabat negara.
10. Wafatnya
Beliau meninggal di Baghdad, pada usia 70 tahun ( bulan Rajab atau Sya’ban tahun 150H), meninggalkan seorang anak bernama Hammad. Wafatnya disebabkan diberikan minuman beracun secara paksa, dan peristiwa tersebut terjadi di hadapan Khalifah Al-Manshur. Bisyr bin Al-Waalid mengatakan, “Abu Hanifah wafat di penjara dan dikuburkan di pekuburan Al-Khaiziran. Ya’qub bin Syaibah mengatakan, “Aku dikabarkan bahwa Beliau wafat dalam keadaan sujud.”
Ketika dikuburkan masih banyak orang menshalatkan di kuburnya termasuk Khalifah Al-Manshur, hingga sampai 20 hari masih banyak yang menshalatkannya. Ini menunjukkan keagungan Imam Abu Hanifah di sisi manusia saat itu.
Pada malam ketiga setelah Beliau dikuburkan, ada sebuah suara yang bersyair:
ذهب الْفِقْه فَلَا فقه لكم … فَاتَّقُوا الله وَكُونُوا خلفا مَاتَ نعْمَان فَمن هَذَا الَّذِي … يحيى اللَّيْل إِذا مَا سجفا
Telah pergi fiqih maka tidak ada lagi fiqih bagi kalian …
Takutlah kalian kepada Allah dan jadilah pengikut di belakang Nu’man setelah wafatnya …
Lalu siapakah orangnya yang menghidupkan malam ketika tabir telah diturunkan? (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 94) 

Sumber: Farid Nu'man Hasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar