Tadabbur Surat at-Tin: Buah Tin dan Zaitun
Mukaddimah
Menurut para ulama, surat at-Tin diturunkan di Makkah setelah Surat al-Buruj[1]. Tema besar surat makkiyah ini ada dua. Pertama, pengangkatan Allah terhadap derajat manusia dengan memuliakannya. Kedua, iman dan amal serta balasannya. Itulah yang kelak akan membuktikan bahwa Allahlah sebijak-bijaknya hakim yang akan menuntaskan dan mengadili semua permasalahan manusia dengan seadil-adilnya[2].
Tempat-Tempat Suci
Dalam surat ini, Allah bersumpah dengan beberapa hal.
Pertama, ”Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.” (Q.s. 95: 1)
Sebagian pakar tafsir ada yang mengartikan sumpah pertama ini dengan nama bukit yang ada di Baitul Maqdis, Palestina. Ini pendapat Ikrimah[3]. Sementara Qatadah mengatakan bahwa Tin adalah bukit di Damaskus dan Zaitun adalah nama bukit di Baitul Maqdis[4]. Namun, tidak sedikit yang menyebutkan bahwa yang dimaksud di sini adalah nama dua buah yang sudah dikenal oleh orang Arab juga manusia secara umum yaitu buah Tin yang sangat manis dan buah Zaitun yang pahit namun banyak manfaatnya.
Jika yang dimaksud adalah tempat, maka konteksnya dengan menambah penafsirannya menjadi bukit atau tempat tumbuhnya kedua buah tersebut. Yaitu di dataran Baitul Maqdis. Gagasan ini seperti disampaikan Syihabuddin al-Alusy dalam tafsirnya[5].
Kedua, “Dan demi bukit Sinai.” (Q.s. 95: 2)
Adapun tempat kedua yang dipakai bersumpah adalah bukit Sinai yang terletak di Mesir. Sebagian ulama menafsirannya sebagai bukit tempat Musa menerima wahyu [6]. Menurut Ikrimah, sinîn dalam bahasa Habasyah (Etiophia)[7] berarti baik .
Ketiga, ”Dan demi kota (Makkah) ini yang aman”. (QS. 95: 03)
Makkah disebut sebagai tempat yang aman karena dijaga Allah dari sentuhan Dajjal dan di dalamnya terdapat Baitullah. Di sana, Nabi Muhammad saw dilahirkan dan dibesarkan serta menerima wahyu-Nya yang pertama. Demikian sebagaimana dituturkan sebagian besar ahli tafsir dan ulama.
Apa hubungannya ketiga sumpah di atas dengan tema besar yang akan diusung oleh surat at-Tîn ini. Surat yang membawa misi manusia terbaik ini selain memerlukan kaidah yang nantinya akan disebutkan Allah, juga memerlukan contoh.
Penyebutan ketiga kelompok sumpah tersebut seolah mengindikasikan beberapa hal:
- Sumpah dengan Buah Tin dan Zaitun yang berarti mengisyaratkan tempat asal kedua buah tersebut mengingatkan seluruh umat Islam akan perjuangan Nabi Isa yang terlahir tanpa bapak karena titah Allah, sekaligus sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya. Ia tumbuh bersama didikan Allah melalui ibunya seorang diri.
- Bukit Sinai memberikan isyarat tempat Nabi Musa menerima wahyu. Nabi yang juga perjuangannya tak ringan. Sejak kecil harus berpisah dengan keluarganya. Kemudian dididik oleh rezim yang kejam dan bengis tapi ditakdirkan untuk menyampaikan risalah keadilan di depan sumber dan inisiator kezhaliman yang sekaligus sebagai ayah angkatnya. Sebuah dilema yang harus dihadapi. Bahkan kisahnya termasuk cerita yang seirng diulang di dalam al-Qur’an dan menjadi simbol perlawanan tokoh protagonis yang membela kebenaran, keadilan dan orang-orang tertindas melawan simbol dan ikon kezhaliman, Fir’aun dan sekutunya.
- Negeri yang aman (Makkah) mengisyaratkan sebuah kisah epik dan kepahlawanan seorang nabi yatim yang menjadi pamungkas nabi dan rasul Allah. Nabi Muhammad saw yang ditahbiskan sebagai makhluk terbaik dari yang pernah ada dan akan ada, dengan membawa risalah yang kekal sampai hari penentuan, Hari Kiamat. Risalah yang bersifat universal, diperuntukkan kepada seluruh manusia dan jin, lintas teritorial, generasi dan waktu.
Manusia Terbaik dan Manusia Terburuk
”Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.s. 95: 4)
Setelah Allah bersumpah dengan tiga tempat di atas yang juga mengindikasikan tiga manusia terbaik yang diciptakan dan diutus-Nya ke bumi untuk membimbing manusia, kini giliran Allah menyampaikan maksud-Nya yang menjadi misi surat ini. Yaitu, mengungkap tanda-tanda kekuasaan Allah Swt melalui penciptaan manusia yang sangat dahsyat, dalam bentuk sempurna dan terbaik di antara sekian makhluk Allah yang ada di alam ini.
Secara fisik, manusia diberi indra terlengkap. Dibekali dengan otak dan perasaan. Struktur tubuh dan anatominya juga bagus dan indah. Proses penciptaannya bahkan sangat menakjubkan.
Kebaikan di sini mencakup berbagai dimensi. Secara fisik manusia adalah makhluk Allah yang terbaik. Meskipun ia kadang mengagumi alam ini dan isi-isinya. Namun ia akan lebih takjub bila melihat dirinya sendiri. Jantung yang berdetak sebelum ia dilahirkan dari rahim ibunya dan tak pernah berhenti sampai ajal mendatanginya. Organ-organ luar yang tatanan eksteriornya sangat eksotis. Organ-organ dalam yang sangat seimbang. Sehingga ia benar-benar menjadi manusia yang –sebenarnya- memiliki amanah menanggung tugas kekhalifahan dan memakmurkan bumi Allah dengan sebaik-baiknya, bukan merusaknya.
Dimensi non-materi juga demikian. Manusia diberi rasa sedih dan gembira. Nikmat lupa dan ingat dan sebagainya.
Namun, bila kemuliaan dan segala perangkat kesempurnaan ini tak pandai disyukuri akan mengakibatkan murka Allah yang sangat mengerikan. ”Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).” (Q.s. 95: 5)
Adakah kehinaan dan kenistaan selain mendekam di dalam panasnya neraka, kesengsaraan dan keabadian dalam penyesalan? Dari struktur kata yang dipakai sangat menarik. ”Asfala sâfilîn” yang secara zhahir berarti tempat terendah di antara penghuni tempat rendah/dasar neraka.
Meskipun Ibnu Abbas dalam riwayat yang lain, juga Qatadah, al-Kalbi, adh-Dhahhak dan Ibrahim an-Nakha’i menafsirkan ayat ini dengan pengembalian Allah terhadap keadaan manusia seperti semula pada saat ia renta dan pikun, mudah lupa dan sarat dengan kelemahan[8].
Orang-orang yang tak pandai menyukuri nikmat kesempurnaan atau bahkan mendustakan dan mengingkarinya serta menggunakan karunia Allah untuk hal-hal yang menyebabkan murka-Nya pada hakikatnya derajat mereka diturunkan, dijatuhkan lebih rendah dari binatang sekalipun.
Menjaga Nilai Standar Kebaikan
”Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih; aka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya” (Q.s. 95: 6)
Inilah nilai standar untuk menjaga kualitas kesempurnaan manusia. Iman dan amal shalih. Iman dengan berbagai dimensi kepercayaan yang diikuti dan dibuktikan dengan keseriusan beramal baik dan menjaga kesinambungan serta kualitasnya. Hal inilah yang menjaga manusia untuk keluar dari rel kesempurnaan. Orang yang memiliki karakteristik demikian layak mendapat balasan kebaikan dari Allah secara sempurna pula. Yaitu tidak terkurangi dan bahkan tidak terputus-putus[9].
Imam Thabrani mengeluarkan sebuah hadits Qudsi yang mengabarkan bahwa jika seorang hamba diberi cobaan Allah berupa sakit dan ia ridha serta bersyukur atas cobaan itu, maka saat sembuh, ia bagaikan terlahir kembali dari rahim ibunya, dosa-dosanya tergugurkan dan mendapatkan pahala sebagaimana saat ia melakukan kebaikan ketika sehat.
Lemahnya Alasan Pendustaan Hari Pembalasan
Jika tanda-tanda di atas sudah demikian jelasnya, lantas apa yang menyebabkan mata hati manusia tertutup sehingga tak mampu dan tak mau melihat dan menerima kebenaran yang sangat jelas?
”Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (Hari) Pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?” (Q.s. 95: 7)
Hanya orang-orang bodoh saja yang berpaling dari meyakini kepastian Hari Perhitungan tersebut. Hari tatkala keadilan ditegakkan dan tak ada yang bisa menutup-nutupi kezhaliman sekecil apapun.
Karena itu, sangat wajar bila kata ganti yang digunakan mengkhithab di ayat ini adalah langsung. Yaitu kata ganti kedua ”kamu” (يكذ بـك). Hal ini sekaligus untuk memberikan tantangan kepada jiwa yang selalu menentang titah dan perintah Allah yang dibawa oleh utusan-Nya.
”Bukankah Allah adalah Hakim yang seadil-adilnya?” (Q.s. 95: 8)
Jika nantinya Allah memuliakan kembali orang beriman dan beramal salih dengan kemuliaan yang lebih serta memperlakukan orang-orang yang mendustakan dengan balasan azab dan siksa, maka yang demikian itu bukanlah sebuah kezhaliman. Karena Allah takkan memurkai dan menyiksa hamba-Nya kecuali setimpal dengan perbuatan dan kezhalimannya. Jika Allah melebihkan pahala dan balasan kebaikan semata karena rahmat dan kemurahan Dzat yang serba Maha, maka hal itu sesuai dengan janji-Nya yang sering diucapkan di sela-sela firman-Nya.
Maka pertanyaan di akhir surat ini tidaklah untuk dijawab. Karena jawabannya hanya satu. Yaitu, berupa pembuktian keadilan yang jelas tanpa ada yang disembunyikan. Karena persaksian yang dihadirkan bukan hanya buku catatan dan orang-orang lain yang bersangkutan. Namun, berupa bukti otentik yang tak terbantahkan.
”Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan dan kaki mereka memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka lakukan.” (Q.s. 36: 65)
Penutup
Jika Allah memuliakan tempat, waktu dan juga manusia pilihan-Nya untuk menjadi pelajaran berharga bagi orang yang mau menggunakan akalnya, maka menjadi manusia baik yang mengetahui dan bisa menyukuri kesempurnaan adalah pilihan, bukan paksaan. Namun, pilihan ini mendatangkan konsekuensi yang berbeda.
Jika iman dan amal yang dipilih, maka Allah menjanjikan balasan yang tak terkira baiknya. Namun, jika ingkar dan dusta yang dilakukan, maka Allah tak punya alternatif selain mengganjarnya dengan murka dan kehinaan di dalam kekekalan neraka-Nya. Semoga pilihan kita tepat sesuai inayah-Nya. Aamiin.
Catatan Kaki:
[1] lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hlm.20-21; Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.1, hlm. 249. Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qadir, Ma’âlim Suar al-Qur’ân, Cairo: Universitas al-Azhar, cet.I, 2004 M/1424 H, vol.2, hlm.820
[2] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali Shabuni, 1986 M-1406 H, hlm. 303
[3] Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M-1424 H, Vol.IV, hlm. 472
[4]Syihabuddin al-Alusy, Ruhul Maani, Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M-1417 H, Vol. 30, hlm. 311
[5] Ibid.
[6] Seperti dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra. (Ibnu Jarir ath-Thabary,Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an, tahqiq: Mahmud Syakir, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Araby, Cet.I, 2001 M-1421 H, Vol. 30, hlm. 291)
[7] Ibid, hlm. 292
[8] Ibid. hlm. 296-297, Abu Ubaidah, Majaz al-Qur’an, Cairo: Maktabah al-Khanji, tt. Vol.II, hlm. 303, Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Cairo: Darul Hadits, 2002 M-1423 H, Vol. X, hlm. 356, Tafsir Ibnu Katsir, 8/249.
[9] Lihat tesis penulis: Kitab Lawami’ al Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi Ma’ani al-Qur’an Karya Imam al-Ma’iny: Dirasah wa Tahqiq,Cairo: Universitas al-Azhar Jurusan Tafsir, 2006, Vol.2, hlm. 881
Tidak ada komentar:
Posting Komentar