Selasa, 20 Januari 2015

Tangisan Sahabat Nabi

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Muslim bin Jammaz, “Aku mendengar Abu Ja’far bercerita kepada kami tentang Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ketika beliau membaca ayat,
إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ
“Apabila matahari digulung.” (QS. At-Takwir: 1)
Hati beliau sangat tersayat-sayat ketika membaca atau mendengar ayat tersebut, hingga beliau sampai larut dalam tangisan yang mendalam.” (Siyaru A’lam an-Nubala, Jilid 2, Hal: 628-629).
Ayat ini adalah bagian dari surat At-Takwir yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang surat tersebut,
“Barangsiapa yang ingin melihat (keadaan) hari kiamat seolah-olah dia melihat (langsung dengan) matanya maka hendaknya dia membaca (surat) at-Takwir, al-Infithar dan al-Insyiqaq” (HR at-Tirmidzi 5:433, Ahmad 2:27, dan al-Hakim 4:620)

Dan itulah kesan yang ditangkap Abu Hurairah ketika mendengar atau membaca surat tersebut.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Muslim bin Jammaz, “Aku mendengar Abu Ja’far bercerita kepada kami tentang Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ketika beliau membaca ayat,
إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ
“Apabila matahari digulung.” (QS. At-Takwir: 1)
Hati beliau sangat tersayat-sayat ketika membaca atau mendengar ayat tersebut, hingga beliau sampai larut dalam tangisan yang mendalam.” (Siyaru A’lam an-Nubala, Jilid 2, Hal: 628-629).
Ayat ini adalah bagian dari surat At-Takwir yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang surat tersebut,
“Barangsiapa yang ingin melihat (keadaan) hari kiamat seolah-olah dia melihat (langsung dengan) matanya maka hendaknya dia membaca (surat) at-Takwir, al-Infithar dan al-Insyiqaq” (HR at-Tirmidzi 5:433, Ahmad 2:27, dan al-Hakim 4:620)
Dan itulah kesan yang ditangkap Abu Hurairah ketika mendengar atau membaca surat tersebut.
Tamim ad-Dari radhiallahu ‘anhu
Diriwayatkan dari Masruq radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Seorang laki-laki dari Mekah berkata kepadaku, ‘Ini adalah makam saudaramu, maksudnya makam Tamim ad-Dari. Di suatu malam aku pernah melihat Tamim sedang membaca Alquran dengan rukuk, sujud, dan menangis hingga menjelang datangnya subuh. Dia membaca ayat,
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَن نَّجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَآءً مَّحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَآءَ مَايَحْكُمُونَ
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS. Al-Jatsiyah: 21)
Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd: I: Hal: 164.
An-Najasyi
Namanya adalah Ash-Hamah, Raja Habasyah. Inilah kesan pertamanya ketika mendengar ayat Alquran dilantunkan. Kisah ini bermula pada saat para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Habasyah.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah, beliau berkisah:
Ketika kami tiba di tanah Habasyah, an-Najasyi melindungi kami dengan perlindungan yang sangat baik. Kami merasa aman menjalankan agama, dan kami beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tenang. Kami tidak pernah mendengar sesuatu yang membuat kami sedih.
Suatu hari Raja Habasyah hendak berdialog dengan kaum muslimin. Ummu Salamah melanjutkan, orang yang berbicara kepada raja adalah Ja’far bin Abu Thalib, ‘Wahai Raja, dulu kami kaum jahiliyyah, menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan perzinahan, memutus silaturahim, buruk dalam bertetangga, dan yang kuat memakan yang lemah. Kami tetap dalam kondisi seperti itu hingga Allah mengutus seorang rasul dari golongan kami kepada kami’.
Lalu Najasyi berkata kepada Ja’far bin Abu Thalib, “Apakah kamu membawa ajaran yang dibawanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Ia berkata, ‘Ya’. Najasyi berkata, “Bacakan untukku.” Lalu Ja’far membacakan ayat, “Kaaf Haa Yaa ‘Ain Shaad (surat Maryam).”
Ummu Salamah berkata, “Demi Allah, Najasyi menangis hingga membasahi jenggotnya dan para uskupnya pun ikut menangis, hingga air mata mereka menetes di kitab-kitab mereka ketika mendengar ayat yang dibacakan Ja’far. Kemudian Najasyi berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ini sama dengan yang dibawa Musa, yang benar-benar keluar dari sumber yang sama. Pergilah, aku tidak akan menyerahkan kalian kepada mereka (kafir Quraisy) selama-lamanya (al-Majma’ jilid VI, Hal: 27).
Berikut ini firman Allah yang diturunkan berkaitan dengan kisah an-Najasyi ini
وَإِذَا سَمِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرِفُوا مِنَ الْحَقِّ يَقُولُونَ رَبَّنَآءَامَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Alquran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Alquran dan kenabian Muhammad). (QS. Al-Maidah: 83)
Inilah kesan pertama an-Najasyi saat pertama kali mendengarkan ayat Alquran.
Mari kita sama-sama koreksi diri kita, sejauh mana kedudukan Alquran di hati kita?
Mari kita bersama perhitungkan diri kita yang mengatakan ingin menjadi penghuni surga, bagaimana keadaan kita dibandingkan calon penghuni surga seperti Abdurrahman bin Auf? Apakah kita mulai meniti ke arah sana ataukah malah menjauh dari sifat-sifat penghuni surga tersebut?
Semoga Allah memberi taufik kepada kita mengamalkan apa yang Dia cintai dan Dia ridhai. Allahumma amin..
Ditulis oleh : Nurfitri Hadi

Rabu, 14 Januari 2015

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Setan Pencuri Zakat

Kisah Islam – “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskan kepadaku menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan. Ternyata ada seseorang datang dan mengambil sebagian makanan, lalu saya menangkapnya. Saya berkata kepadanya, ‘Sungguh, saya akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Dia berkata, ‘Sungguh, saya orang yang membutuhkan. Saya mempunyai keluarga dan saya mempunyai kebutuhan yang mendesak.’ Lantas saya melepasnya.
Pagi harinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Abu Hurairah! Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?’ Saya menjawab, ‘Wahai Rasulullah, dia mengeluhkan kebutuhannya dan keluarganya, maka saya kasihan padanya dan saya melepasnya.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah! Sesungguhnya dia berdusta kepadamu dan dia akan kembali lagi.’ Saya yakin bahwa dia akan kembali lagi berdasarkan sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Makanya, saya mengintainya.
Ternyata dia datang dan mengambil sebagian makanan, lantas saya berkata kepadanya, ‘Sungguh, saya akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Dia berkata, ‘Biarkanlah aku. Sungguh, saya orang yang membutuhkan. Saya mempunyai keluarga. Saya tidak akan mengulangi lagi.’ Saya pun iba kepadanya. Lantas saya melepasnya. Di pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, ‘Wahai Abu Hurairah! Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?’ Saya menjawab, ‘Wahai Rasulullah, dia mengeluhkan kebutuhannya dan keluarganya, maka saya iba kepadanya dan saya melepasnya.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya dia berdusta kepadamu dan dia akan kembali lagi.’ Saya pun mengintainya untuk kali ketiga.
Ternyata dia datang dan mengambil sebagian makanan, lalu saya menangkapnya dan saya berkata, ‘Sungguh, saya akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini yang terakhir –sebanyak tiga kali- kamu telah mengatakan bahwa kamu tidak akan mengulangi lagi, ternyata kamu mengulangi lagi.’ Lalu dia berkata, ‘Biarkanlah aku. Sungguh, aku akan mengajarimu beberapa kalimat, pastilah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi manfaat kepadamu berkat kalimat-kalimat tersebut.’ Saya bertanya, ‘Apa kalimat-kalimat tersebut?’ Dia berkata, ‘Apabila kamu telah berbaring di tempat tidur, bacalah ayat kursi, niscaya engkau senantiasa mendapat perlindungan dari AllahSubhanahu wa Ta’ala. Setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.’
Selanjutnya saya melepasnya. Pagi harinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku. ‘Apa yang telah dilakukan oleh tawananmu tadi malam?’ Saya menjawab, ‘Wahai Rasulullah! Dia mengatakan bahwa dia akan mengajariku beberapa kalimat yang bermanfaat bagiku, lantas saya melepaskannya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apa kalimat-kalimat itu?’ Saya menjawab, ‘Dia berkata kepadaku, ‘Apabila kamu telah berbaring di tempat tidur, bacalah ayat kursi dari awal sampai akhir.’ Dia menambahkan, ‘Niscaya engkau senantiasa mendapat perlindungan dari Allah. Setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.’ Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ketahuilah! Sungguh, dia berkata benar kepadamu padahal dia pendusta. Tahukah kamu siapa yang engkau ajak bicara semenjak tiga hari yang lalu, wahai Abu Hurairah?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Dia adalah setan’.” (HR. Al-Bukhari).

Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1

Abdullah bin Ummi Maktum, Sang Muadzin Rasulullah


Sebagian orang hanya mengetahui bahwa Rasulullah saw hanya memiliki satu orang muadzin, yaitu Bilal bin Rabah r.a. Padahal tidak hanya Bilal yang menjadi muadzin Rasulullah, ada nama lain yaitu Abdullah bin Ummi Maktum r.a. Ketika kita sodorkan nama Abdullah bin Ummi Maktum, sebagian orang mungkin merasa asing, bahkan di antara mereka baru mendengar seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum.
Kedua muadzin Rasulullah ini, Bilal bin Rabah dan Abdullah bin Ummi Maktum r.a, memiliki waktu khusus untuk mengumandangkan adzan. Bilal bin Rabah diperintahkan adzan pada waktu shalat tahajud –yang saat ini termasuk sunnah Nabi yang sudah jarang kita temui-, sedangkan Abdullah bin Ummi Maktum adzan pada saat datangnya waktu shalat subuh. Dari Ummul Mukminin, Aisyah r.a,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: ” أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ “
“Sesungguhnya Bilal adzan pada waktu (sepertiga) malam. Karena itu, Rasulullah saw bersabda, ‘Makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena ia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq (masuk waktu subuh).”
Latar Belakang
Abdullah bin Ummi Maktum adalah salah seorang sahabat senior Rasulullah, beliau termasuk di antara as-sabiquna-l awwalun (orang-orang yang pertama memeluk Islam). Ada yang mengatakan nama beliau adalah Umar, ada juga yang menyebut Amr, kemudian Rasulullah saw menggantinya dengan nama Abdullah.
Orang-orang Madinah mengenalnya dengan nama Abdullah, sedangkan orang-orang Irak menyebutnya Amr. Namun keduanya sepakat bahwa nasabnya adalah Ibnu Qays bin Za-idah bin al-Usham. Abdullah memiliki kedekatan nasab dengan Ummul Mukminin Khadijah r.a. Ibu dari Khadijah adalah saudaranya Qays bin Za-idah, ayah dari Abdullah.
Abdullah bin Ummi Maktum memiliki kekurangan fisik berupa kebutaan (tuna netra). Rasulullah sawbertanya kepadanya, “Sejak kapan, engkau kehilangan penglihatan?” Ia menjawab, “Sejak kecil.” Maka Rasulullah saw bersabda,
قال الله تبارك وتعالى: إذا ما أخذتُ كريمة عبدي لم أجِدْ له بها جزاءً إلا الجنة
“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Jika Aku mengambil penglihatan hamba-Ku, maka tidak ada balasan yang lebih pantas kecuali surga.”
Saat Allah memerintahkan Rasul-Nya dan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah, maka Abdullah bin Ummi Maktum menjadi orang yang pertama-tama menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya tersebut. Walaupun ia memiliki kekurangan fisik, jarak antara Mekah dan Madinah yang jauh, sekitar 490 Km, ancaman dari orang-orang Quraisy, belum lagi bahaya dalam perjalanan, semua itu tidak menghalanginya untuk memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya.
Keistimewaan Abdullah bin Ummi Maktum
Selain memiliki keistimewaan sebagai seorang muadzin Rasulullah saw, Abdullah bin Ummi Maktum juga merupakan orang kepercayaan Nabi saw. Saat Rasulullah melakukan safar berangkat ke medan perang, beliau selalu mengankat Abdullah bin Ummi Maktum menjadi wali Kota Madinah menggantikan beliau yang sedang bersafar. Setidaknya 13 kali Rasulullah saw mengangkatnya sebagai wali kota sementara di Kota Madinah.
Keistimewaan lainnya adalah Allah Ta’ala menjadi saksi bahwa Abdullah bin Ummi Maktum adalah seseorang yang sangat mencintai Alquran dan sunnah Nabi-Nya. Rasulullah saw pernah mendapat teguran dari Allah Ta’ala lantaran mengedepankan para pembesar Quraisy daripada Abdullah bin Ummi Maktum. Bukan karena tidak menghormati Abdullah bin Ummi Maktum, akan tetapi beliau saw berharap kemaslahatan yang lebih besar –dalam pandangan beliau- apabila para pembesar Quraisy ini memeluk Islam, namun ternyata hal itu tidak tepat di sisi Allah dan Allah langsung meluruskan dan membimbing Nabi-Nya.
Kisahnya adalah sebagai berikut:
Pada masa permulaan dakwah Islam di Mekah, Rasulullah sering mengadakan dialog dengan para pembesar Quraisy, dengan harapan agar mereka mau menerima Islam. Suatu kali beliau bertatap muka dengan Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabi’ah, Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf dan Walid bin Mughirah, ayah Khalid bin walid.
Rasulullah berdiskusi dengan mereka tentang Islam. Beliau sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat beliau.
Sementara beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba Abdullah bin Ummi Maktum datang ‘mengganggu’ minta dibacakan kepadanya ayat-ayat Alquran.
Abdullah mengatakan, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada Anda.”
Rasul yang mulia tidak memperdulikan permintaan Abdullah bin Ummi Maktum. Beliau agak acuh kepada perkataan Abdullah itu. Lalu beliau membelakangi Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan pembesar Quraisy tersebut. Rasulullah berharap, mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam tambah kuat dan dakwah bertambah lancar.
Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah bermaksud hendak pulang. Tetapi tiba-tiba penglihatan beliau gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul. Kemudian Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau,
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ [1] أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ [2] وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ [3] أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ [4] أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ [5] فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّىٰ [6] وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّىٰ [7] وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَىٰ [8] وَهُوَ يَخْشَىٰ [9] فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّىٰ [10] كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ [11] فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ [12] فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ [13] مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ [14] بِأَيْدِي سَفَرَةٍ [15] كِرَامٍ بَرَرَةٍ [16]
“Dia ( Muhammad ) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta datang kepadanya, Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yanag menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (QS. 80 : 1 – 16).
Enam belas ayat itulah yang disampaikan Jibril Al-Amin ke dalam hati Rasulullah sehubungan dengan peristiwa Abdullah bin Ummi Maktum, yang senantiasa dibaca sejak diturunkan sampai sekarang, dan akan terus dibaca sampai hari kiamat.
Sejak hari itu Rasulullah saw makin memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum.
Syahidnya Sang Muadzin
Pada tahun 14 H, Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengadakan konfrontasi dengan Kerajaan Persia. Beliau radhiallahu ‘anhu menulis surat kepada para gubernurnya dengan mengatakan, “Jangan ada seorang pun yang ketinggalan dari orang-orang yang memiliki senjata, orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepadaku sesegera mungkin!” Lalu berkumpullah kaum muslimin, tergabung dalam pasukan besar yang dipimpin oleh sahabat yang mulia, Saad bin Abi Waqqash. Di antara pasukan tersebut terdapat Abdullah bin Ummi Maktum.
Abdullah bin Ummi Maktum masuk ke dalam pasukan Perang Qadisiyah dengan mengenakan baju besinya, tampil gagah, dan bertugas memegang panji bendera Islam. Tidak membuatnya gentar suara di medan perang yang menderu, dentingan tebasan pedang, ataupun desiran anak panah yang melesat. Baginya Amirul Mukminin telah membuka kesempatan bagi semua orang dalam jihad ini, ia pun tak mau melewatkan peluang berjihad di jalan Allah, walaupun bahaya sebagai seorang tuna netra lebih berlipat ganda.
Perang yang hebat pun berkecamuk, hingga sampailah pada hari ketiga, baru kaum muslimin berhasil mengalahkan pasukan negara adidaya Persia. Kemenangan tersebut menjadi kemenangan terbesar dalam sejarah peperangan Islam sampai saat itu. Namun kemenangan tersebut juga harus dibayar dengan gugurnya para syuhada, para pahlawan Islam, di antara mereka adalah sahabat dan muadzin Rasulullah saw Abdullah bin Ummi Maktum r.a. Jasadnya ditemukan terkapar di medan perang sambil memeluk bendera yang diamanatkan kepadanya untuk dijaga.
Akhirnya sang muadzin pulang ke rahmatullah, gugur sebagai pahlawan memerangi bangsa Majusi Persia. Semoga Allah Ta’ala menerima amalan-amalan Abdullah bin Ummi Maktum dan memasukkan kita dan beliau ke dalam surga Allah.
Sumber: islamstory.com/kisahmuslim.com dll.