Rabu, 06 Agustus 2014

Isra’ Mikraj, Mulia Karena Menjadi Hamba


“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Al-Isra’: 1].
Maha Suci Allah adalah sebuah kalimat tauhid. Allah Maha Suci dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Suci dari meninggalkan hamba yang dikasihi-Nya berada dalam kesedihan dan kesendirian ketika ditinggal oleh orang-orang yang dicintai dan menopang dakwahnya. Suci dari tidak kuasa mengadakan kejadian luar biasa, yang orang-orang berakalpun tidak bisa menerimanya. Peristiwa Isra’ dan Mikraj yang berlangsung lailan (pada sepotong, bukan sepanjang malam) adalah salah satu hal yang luar biasa ini. Luar biasa, sehingga kita pun perlu mengucapkan subhanallah seperti ayat di atas sehingga tidak terlena dengan keluar-biasaannya dan melupakan kekuasaan Allah swt.
Mengalami peristiwa ini adalah sebuah kemuliaan yang besar. Dan kemuliaan hanya diberikan kepada orang yang mulia. Beliaulah Rasulullah saw. Oleh karena itu, saat yang paling mulia bagi Rasulullah saw. adalah ketika sedang menjalani Isra’ dan Mikraj. Bukan ketika beliau berhijrah ke Madinah, atau saat beliau menaklukkan kota Mekah. Karena saat Isra’ dan Mikraj sekali-kalinya Allah swt. berfirman kepada beliau tanpa perantara Malaikat Jibril ra. Namun yang membuat kita bertanya-tanya, kenapa ketika berada dalam kondisi yang paling mulia ini, beliau disebut dengan hamba-Nya? Seperti  tertulis nyata dalam ayat di atas. Kenapa beliau tidak disebut dengan Rasul-Nya, Nabi-Nya, Kekasih-Nya, atau Muhammad saja?
Kesimpulan para ulama, ayat ini menunjukkan bahwa kondisi paling mulia yang dicapai manusia adalah ketika dia bisa merealisasikan dirinya sebagai hamba Allah swt. Saat itulah Allah swt. ridha kepadanya. Lalu bagaimana seseorang bisa menjadi hamba Allah swt. yang sebenarnya? Menjadi hamba Allah swt. adalah meyakini bahwa Allah swt. adalah Penciptanya yang berkuasa atas segala sesuatu, sedangkan dia adalah hamba yang lemah, tiada daya dan upaya, menerima segala keputusan Allah swt. dengan penuh kerelaan.
Ketika memperjalankan hamba-Nya dengan peristiwa Isra’, Allah swt. membuka kesempatan yang sama kepada seluruh manusia untuk bisa mencapai derajat kemuliaan. Karena seluruh manusia sama-sama bisa menjadi hamba Allah swt. Berbeda seandainya yang diperjalankan adalah seorang nabi, tidak semua orang bisa menjadi nabi; atau seorang kaya, tidak semua orang bisa menjadi orang kaya; atau ulama, tidak semua orang bisa menjadi ulama; atau keturunan nabi, tidak semua orang lahir sebagai keturunan nabi.
Demikianlah karakteristik Islam, yang tidak menjadikan kemuliaan monopoli bagi golongan tertentu.  Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan nasabnya, karena Allah swt. tidak menilainya berdasar nasab. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan ilmu dan hartanya, karena ilmu dan harta adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan. Hendaknya bersyukur ketika semua itu membuatnya menjadi hamba Allah swt. yang sebenarnya.

Tentang Penulis : H. Moh Sofwan Abbas, MA
S1 Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir. S2 Universitas Al-Neelain, Khartoum-Sudan. Dosen Ma'had An-Nuamy, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar