Para ulama meyakini bahwa Surat al-‘Alaq merupakan surat yang pertama kali diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw di Mekah([1]).
Sebagaian besar mushaf yang beredar saat ini menulis surat ini dengan
nama Surat al-‘Alaq. Dan lima ayat pertamanya menjadi wahyu pertama
beliau yang disampaikan melalui Malaikat Jibril([2]). Serta ayat-ayat lainnya yang tersisa diturunkan setelah beberapa waktu berlalu dari sejak wahyu pertama diberikan.
Tema
yang diangkat surat ini cukup beragam. Dari sejak tema wahyu dan
turunnya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw, pembicaraan sifat dan
tabiat manusia yang melampaui batas dalam urusan harta, serta kisah Abu
Jahal yang menghalang-halangi Nabi Muhammad dan melarang beliau untuk
shalat di Masjidil Haram. Surat ini diakhiri dengan ancaman Allah untuk
orang-orang yang masih terus bersikukuh dalam kesesatan dan sikapnya
yang melampaui batas serta perintah kepada nabi-Nya untuk meneruskan
shalat dan sujudnya tanpa mempedulikan gertakan sang durjana([3]).
Adapun
urutannya yang berada setelah Surat at-Tin seolah memberi isyarat
hubungan erat antara keduanya. Terutama dalam pembahasan tentang
manusia. Jika dalam surat sebelumnya manusia disebut sebagai penciptaan
terbaik yang dilakukan Allah dengan sempurna, maka dalam surat ini
dibahas asal muasal penciptaan tersebut serta dimensi lain dari sisi
kejiwaan manusia yang kadang melampaui batas serta kufur nikmat. Padahal
Allah telah mengaruniakan kepadanya segala kesempurnaan.
Membaca Penciptaan Manusia
”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. (QS. 96: 1)
Itulah
bunyi ayat pertama surat ini. Memberikan perintah secara jelas kepada
Nabi Muhammad Saw. juga kepada umatnya untuk membaca. Membaca dengan
nama Allah Sang Pencipta. Hal ini secara langsung memberikan isyarat
bahwa umat Islam harus me-nuntut ilmu. Karena membaca merupakan pintu
ilmu. Dengan membaca, cakrawala berpikir seseorang semakin luas. Dengan
membaca, kebodohan dan ketidaktahuan bisa diobati, bahkan dipunahkan.
Karena membaca merupakan gerbang ilmu dan pengetahuan.
Apalagi
jika perintah membaca ini dikaitkan secara bersamaan dengan menyebut
nama Tuhan Sang Pencipta. Tentulah kaitan tersebut ada maksudnya.
Mungkin untuk mengingatkan bahwa kemampuan baca seseorang, Allah-lah
yang mengaruniakannya sebagaimana ia diciptakan oleh-Nya. Karena itu
dalam segala aktivitasnya, termasuk membaca sudah selaiknya ia mengingat
Sang Pencipta, ”Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (QS. 96: 2)
Segumpal
darah yang secara anatomis belum bisa disebut sebagai manusia itu
nantinya akan terlahir sebagai makhluk sempurna yang bisa membaca. Jika
segumpal darah tersebut teronggok di tepi jalan, siapa yang akan
menghargai dan memuliakannya?
”Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah”. (QS. 96: 3)
Allahlah
yang memuliakannya. Mengangkat derajatnya di atas semua makhluk yang
diciptakan-Nya. Dzat Pemurah dan penuh kasih sayang tersebut yang, ”Mengajar (manusia) dengan perantaran pena”. (QS. 96: 4)
Dengan
belajar membaca dan kemudian menulis maka manusia akan meraih ilmu.
Baik ilmu dunia maupun akhirat. Inilah yang oleh Ibnu Katsir kemudian
disimpulkan dari sebuah atsar, ”Ikatlah ilmu dengan menulis”([4]).
Dengan menjadi manusia yang berilmu sesuatu yang sebelumnya tidak
diketahui menjadi jelas. Sesuatu yang sebelumnya menjadi rahasia lalu
tersingkap.
Adam ditinggikan derajatnya melebihi para malaikat dan
semua makhluk-Nya karena diajarkan ”nama-nama” oleh Allah sehingga ia
mengetahui sesuatu yang sebelumnya tak diketahuinya. ”Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(QS. 96: 5). Tidakkah manusia kemudian merasa ada perubahan ke arah
baik dari dalam dirinya? Dari tak mampu melihat kemudian ia bisa
melihat. Tak mampu bicara dan mengungkapkan sesuatu karena
keterbatasannya, kemudian ia bahkan mampu melakukannya dengan baik. Dari
tak berdaya hanya terlentang kemudian ia belajar berbaring miring dan
kemudian duduk, lalu berjalan dan berlari serta mengendarai berbagai
jenis kendaraan. Dari tak tahu satu hurufpun, kemudian ia bisa merangkai
huruf-huruf menjadi kata-kata yang menjadi sarana komunikasi dengan
sesama manusia. Siapa yang mengubah kondisi tersebut?
Hanya Allah-lah yang mampu menjadikan perubahan ke arah baik tersebut.
Seharusnya,
karunia penciptaan dan pengajaran yang sangat luar biasa ini direspon
positif oleh manusia. Yaitu dengan rasa syukur dan totalitas pengabdian
serta penghambaan yang ikhlas kepada-Nya. Namun, justru kebanyakan
manusia tak melakukannya. Mereka bahkan bukan hanya tak pandai
bersyukur, tapi mendustakan dan mengingkarinya.
Manusia yang Tak Mau Bersyukur
Manusia
yang seharusnya dengan memaksimalkan akalnya mampu membaca keagungan
dan kebesaran Allah serta ciptaan-Nya ternyata tidak demikian. “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas.” (QS. 96: 6)
Tentu
wajar jika Allah menganggapnya sebagai sebuah sikap yang keterlaluan
dan melampaui batas. Tak sedikit pun para pendusta yang mengingkari
nikmat tersebut merasa bahwa ketiadaannya yang berubah menjadi bentuk
sempurna serta menjadi serbabisa adalah sebuah karunia yang agung. Dan
bukan sesuatu yang sederhana.
Ia melampaui batas dalam segala
perilakunya. Dalam bersikap, berkata-kata dan bergaul. Sombong dalam
berpakaian, berlebih-lebihan dalam makanan dan kendaraan-nya([5]). Ia cenderung meremehkan dan merendahkan sesamanya. Hal tersebut dipicu oleh kebodohan dan ketidaktahuannya. “Karena dia melihat dirinya serba cukup” (QS. 96: 7)
Sikap
yang diambilnya barangkali bermula dari pola pikirnya yang salah. Ia
merasa berkecukupan. Dengan menjadi seorang sarjana atau ilmuwan
ternama, kemudian ia memiliki kehidupan yang mapan, rumahnya mewah.
Sikap ”al-istighna” ini hanya bisa dimiliki oleh Allah, karena
Dia memang tak memerlukan bantuan dan pertolongan siapapun. Dia yang
Mahakaya, Mahasempurna dan selalu bisa berbuat apa saja sesuai
kehendak-Nya. Dzat dengan sifat-sifat yang serba Maha tersebut memanglah
laik untuk merasa cukup dari apa dan siapa pun.
Jika manusia
dengan segala keterbatasannya kemudian merasa cukup yang
mengakibatkannya tinggi hati dan sombong, maka hal tersebut membuatnya
lupa. Lupa dari mana ia berasal dan ke mana hendak kembali. Namun, jika
ia merasa cukup dan kemudian menjadi qana’ah maka itu sebuah sikap yang terpuji. Tapi dalam ayat ini, dipakai al-istighna`, sehingga tidak menyimpan sedikitpun arti qana’ah yang baik tersebut.
“Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu)” (QS. 96: 8)
Dalam ayat ini, Allah menggunakan gaya bahasa beralih (uslûb al-iltifât) yaitu dari sebelumnya yang menggunakan kata ganti ketiga (dhamir gha`ib) berubah menjadi mukhatab yang menggunakan kata ganti kedua (kamu).
Hal ini dimaksudkan memberikan kesan lebih dan menggetarkan hati setiap
manusia yang tidak mau bersyukur akan kedahsyatan dan keseriusan
ancaman Allah([6]). Mereka semua akan kembali kepada Allah melalui pintu keniscayaan bernama kematian lalu dibangkitkan kembali di Hari Penentuan.
Dan
kembali kepada Allah berarti asal dari kejadian manusia juga bermula
dari titah Allah. Dikembalikan kepada-Nya berarti pertanggungjawaban
dari semua yang dilakukannya ketika di dunia.
Lihatlah orang yang sombong tersebut dan bagaimana ia hidup dengan penuh keangkuhan. ”Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika mengerjakan shalat” (QS. 96: 9-10)
Dituturkan
dalam sebuah riwayat bahwa Abu Jahal bermaksud hendak melarang dan
menghalang-halangi Nabi Muhammad yang sedang shalat dengan berbagai
jalan. Tapi usahanya selalu gagal. Bahkan dari sekian usahanya, ia
menjumpai sesuatu yang menakut-kan berada di sisi Nabi Muhammad Saw,
sehingga ia lari terbirit-birit ketakutan ([7]).
Padahal,
jika ia tahu bahwa di antara karunia terbesar Allah adalah dengan
mengutus Nabi Muhammad Saw (Sang manusia terbaik untuk seluruh manusia
sebagai rahmat Allah di bumi-Nya), seharusnya ia bersyukur dan menyukuri
nikmat penciptaan, pengajaran dan berbagai nikmat Allah yang tiada
pernah bisa terhitung.
Seharusnya ia mengajak kepada kebaikan, ”Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran. Atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?” (QS. 96: 11-12)
Alangkah
baiknya jika seandainya ia mau berpikir sejenak dan kemudian meniti
jalan kebenaran dengan ketakwaan dan mengajak sesamanya untuk mengikuti
risalah Nabi Muhamamd Saw. Ia gunakan pengaruh dan hartanya. Posisi dan
status sosialnya. Tentu hal tersebut akan jauh lebih baik. Sayangnya,
Abu Jahal tidaklah menggunakan kesempatan yang diberikan Allah untuk
memperbaiki diri dengan berbagai kebaikan tersebut.
”Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?” (QS. 96: 13)
Inilah yang menjadi pilihannya. Ia menahbiskan diri menjadi musuh terdepan bagi dakwah Nabi Muhammad Saw. dan para pengikutnya.
Pilihan yang Selalu Berkonsekuensi
Jika
mendustakan dan menghalang-halangi dakwah serta risalah yang dibawa
Nabi Muhammad merupakan pilihan yang diambil oleh orang yang tidak
memahami atau mengingkari dahsyatnya nikmat dan karunia diutusnya
beliau, maka balasan yang buruk sangat pantas baginya. Karena ia telah
melecehkan keberadaan dan kekuasaan Dzat Yang Maha Melihat.
”Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (QS. 96: 14)
Bisa
jadi bukan karena ketidaktahuan, namun karena kesombongan dan
keangkuhan hati yang menutupi kesadaran akan kemahabesaran Allah.
Karenanya, ia berbuat sesuka hati dan tidak pernah sekali pun ia
mengerem nafsunya serta memperturutkan hawa dan syahwat kesesatannya. Ia
tidak sadar bahwa yang ia musuhi dan hadapi bukanlah sekedar anak yatim
saja. Tapi beliau adalah utusan Sang Mahaperkasa yang secara penuh memback up dakwahnya.
Tidakkah ia sadar akan ancaman Allah, ”Ketahuilah,
sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya kami tarik
ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.” (QS. 96: 15-16)
Menurut al-Mubarrid, salah seorang pakar Bahasa Arab terkemuka, mengatakan, ”as-saf’u” artinya mengambil dengan paksa dan kekerasan([8]).
Apalagi yang diambil di sini adalah ubun-ubun. Maka bukan hanya fisik
yang tersakiti. Ia akan benar-benar merasa terhinakan dan direndahkan.
Karena ubun-ubun atau kepala adalah bagian termulia manusia.
Ada pendapat lain dari al-Farra` bahwa yang dimaksud di sini adalah menghitamkan wajah([9]), sebagai kiasan akan ditimpakan kepadanya azab neraka yang pedih dan menghanguskan.
Yaitu
ubun-ubun atau wajah hangus milik sang pendusta yang mengingkari dan
memusuhi serta menyakiti Nabi Muhammad Saw. Para pakar bahasa di sini
membolehkan badal (ganti) dengan menggunakan isim nakirah. Padahal sebelumnya disebut dengan isim makrifat. Az-Zamakhsyari dan Abu Hayyan memberikan dispensasi tersebut karena isim nakirah setelah makrifat tersebut memberikan penjelasan sebagai sifat([10]). Sehingga seolah ia berdiri sendiri memberikan penjelasan tambahan setelahnya (al-ifadah)([11]).
Jika hal di atas terjadi, maka kepada siapa lagi ia hendak meminta pertolongan. ”Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)” (QS. 96: 17) Sebagaimana ia mengumpulkan mereka di darunnadwah, mengadakan konspirasi untuk mencelakakan Nabi Muhamamd Saw. Dalam ayat ini, seolah kata ”nadiah” yang berarti majelis, menyimpan sebuah mudhaf yaitu para pegiatnya([12]).
Namun,
panggilan dan permintaan tolong tersebut tak menghasilkan apapun
kecuali keputusasaan dan penyesalan. Karena nasib mereka juga tak lebih
baik darinya. Justru Allah yang ”… akan memanggil Malaikat Zabaniyah”
(QS. 96: 18) dan diperintahkan untuk mendatanginya, kemudian memberikan
siksaan yang tiada tandingan dan bandingannya sebelum dan sesudahnya.
Maka,
orang dengan karakter pembangkang dan pendusta tersebut tak perlu lagi
didengar perkataannya apalagi sampai terpengaruh dengan syubhat dan
ejekannya. Dan salah satu jalan untuk menguatkan diri dari pengaruh
kejelekan tersebut yang paling mujarab adalah dengan mendekatkan diri
kepada Allah dan bersujud kepada-Nya.
”Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)” (QS. 96: 19)
Para ulama kemudian menyimpulkan bahwa kedekatan terbaik dan paling dekat seorang hamba dengan rabbnya terjadi pada saat ia bersujud. Apalagi ada sebuah hadits yang menyatakan, ”Keadaan yang paling dekat dari seorang hamba dengan Tuhannya adalah pada saat ia bersujud maka perbanyaklah berdoa”([13]).
Penutup
Semoga
akhir yang tragis yang dialami oleh Abu Jahal –baik di dunia dengan
mati terhinakan atau di akhirat sengsara dalam keabadian adzab-Nya- bisa
kita jadikan pelajaran untuk tidak mencoba-coba menjadi penghalang
dakwah Rasulullah Saw. atau menjadi orang yang mengabaikan
sunnah-sunnahnya. Karena, pertemuan dengan makhluk termulia ini menjadi
impian setiap muslim. Semoga kelak kita dipertemukan dengan beliau dalam
naungan ridha Allah swt. Amin.
—
Catatan Kaki:
([1]) lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hlm.20-21; Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.1, hlm. 249. Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qadir, Ma’âlim Suar al-Qur’ân, Cairo: Universitas al-Azhar, cet.I, 2004 M/1424 H, vol.2, hlm.824
([2])
Demikian pendapat sebagian besar ulama bahwa lima ayat tersebut menjadi
wahyu pertama Nabi Saw. Seperti diungkapkan oleh As-Suyuthi,
Az-Zarkasyi, al-Wahidy, al-Baghawy, al-Qurthuby, Syeikh Az-Zurqany, Dr.
Muhammad Abu Syahbah dan sebagainya. (secara ringkas bisa dirujuk
rangkumannya dalam tesis penulis: Kitab Lawami’ al Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi Ma’ani Al-Quran Karya Imam al-Ma’iny: Dirasah wa Tahqiq, Cairo: Universitas al-Azhar Jurusan Tafsir, 2006, Vol.2, hlm. 885)
([3]) Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar Al-Quran, Cairo: Dar Ali Shabuni, 1986 M-1406 H, hlm. 304-305
([4]) Abu al-Fida` Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran al-Azhim, Mansoura: Maktabah al-Iman, Cet.I, 1996 M-1417 H, Vol.VIII, hlm. 251
([5]) seperti penafsiran al-Kalby yang disitir oleh al-Baghawy dan al-Alusy dalam tafsirnya (Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M-1424 H, Vol.IV, hlm. 475; Syihabuddin al-Alusy, Ruhul Maani, Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M-1417 H, Vol. 30, hlm. 326)
([6]) Ruhul Ma’any, Ibid., 30/327
([7])
sebab turunnya ayat ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad dan
An-Nasa`i dari riwayat Abu Hurairah ra. Abu Jahal bersumpah demi Latta
dan Uzza untuk menghalangi Rasulullah saw kalau sampai ia melihat beliau
shalat akan dipukulnya kaki beliau dan wajah muliau akan dilempar
dengan pasir. Suatu ketika beliau menjumpai Rasul sedang shalat, ia
berusaha melakukan niatnya. Tapi seketika itu pula ia melihat sesuatu
yang menakutkan berada di sisi Nabi saw sehingga ia berlari
terbirit-birit. Rasul saw bersabda, “Jika ia benar-benar melaksanakan niatnya maka tubuhnya akan berkeping-keping dihancurkan oleh malaikat” (Ibid, hlm. 328). Juga sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir dengan redaksi yang serupa (Prof. Dr. Muhammad Hasan al-Himshy, Tafsir wa Bayan Mufradat Al-Quran A’la Mushafi at-Tajwid ma’a Asbabi an-Nuzul li as-Suyuthi, Beirut: Muassasah al-Iman, cet.I, 1999 M – 1419 H, hlm. 540)
([8]) Ruhul Ma’ani, Op.Cit., 30/334.
([9])Abu Zakariya al-Farra’, Ma’ani Al-Quran, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.1, 2003 M/1423 H, Vol.III, hlm. 169.
([10]) Az-Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqa`iq at-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta`wil, Cairo: Maktabah Musthafa al-Halaby, Cet.I, 1354 H, Vol.IV, hlm. 224, Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhith, Beirut: darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2001 M-1422 H, Vol.VIII, hlm. 491
([11]) Ruhul Manani, Op.Cit, 30/335
([12]) Az-Zajjaz, Ma’ami Al-Quran wa I’rabuhu, Cairo: Darul Hadits, 2004 M/1424 H, Vol.V, hlm. 263
([13]) Hadits diriwayatkan Abu Hurairah ra (HR. Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar