Selasa, 05 Agustus 2014

Tadabbur Surat Alam Nasyrah: Satu Kesulitan Dua Kemudahan


 Menurut para ulama, surat Alam Nasyrah diturunkan di Makkah setelah surat adh-Dhuha sebagaimana urutannya dalam mushaf usmany([1]). Surat ini memiliki beberapa nama selain Alam Nasyrah, di antarnya: asy-Syarh([2]), seperti yang terdapat dibanyak cetakan mushaf sekarang dan buku-buku tafsir. Juga al-Insyirah seperti yang disebutkan Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Ibnu al-Jauzy dalam tafsirnya([3]).
Surat ini merupakan kelanjutan surat sebelumnya, karena sama-sama membahas kepribadian Nabi Muhammad saw dan kondisi yang dihadapi oleh beliau. Keduanya juga menyebutkan kenikmatan-kenikmatan yang diberikan Allah. Jika di surat sebelumnya Allah menyebutkan tiga nikmatnya: Allahlah yang memberikan ‘inayah (perlindungan) saat kondisi beliau yatim, fakir dan kebingungan. Maka pada surat ini, Allah tambahkan tiga nikmat-Nya yang lain: nikmat kelapangan dada([4]), meringankan beban beliau saat berhadapan dengan kaumnya ketika menyampaikan risalah kenabian yang tak ringan, juga Allah tinggikan kedudukan dan derajat beliau baik di bumi maupun di langit melebihi segala ciptaan-Nya yang pernah dan yang akan ada.
Hal ini  hanya diperuntukkan kepada beliau demi menghibur sekaligus menguatkan azamnya. Di tengah teror yang tak henti-hentinya dari musyrikin Makkah. Di akhir surat ini, Allah memerintahkan untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya, juga untuk beribadah setelah menyampaikan risalah. Perpindahan-perpindahan aktivitas tersebut merupakan refleksi rasa syukur([5]) kepada Allah swt atas karunia nikmat-nikmat-Nya yang sangat banyak yang tak memungkinkan untuk dihitung-hitung apalagi untuk dibalas.
Kenikmatan-Kenikmatan
Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu. Yang memberatkan punggungmu? Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu”. (QS. 94: 1-4)
Nikmat pertama yang disebut Allah adalah nikmat kelapangan dada. Diturunkan dalam bentuk pertanyaan sebagaimana surat sebelumnya. Hal ini dimaksudkan supaya Nabi Muhammad saw juga benar-benar berpikir, merenungi lebih dalam atas karunia dan nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Lebih dari yang sekadar disebut-Nya.
Ayat di atas mengandung dua makna, zhahir dan batin. Secara zhahir, Rasulullah saw pernah dibersihkan organ dalamnya oleh malaikat sewaktu masih kecil. Demikian juga setelah itu. Sebagian ulama berpendapat bahwa hal tersebut terjadi berkali-kali.
Pertama kali terjadi pada saat beliau berusia empat tahun, yaitu masa-masa terakhir beliau diasuh oleh Halimah Sa’diyah di perkampungan Bani Sa’d sebelum dikembalikan kepada ibunya. Kedua, terjadi pada saat beliau berumur duapuluhan tahun. Ketiga, terjadi lagi sebelum beliau Isra’ Mi’raj([6]).
Dalam riwayat Imam Ahmad dijelaskan bahwa tujuan pembelahan dada beliau –operasi fisik- secara zhahir adalah untuk membuang dendam, hasad dan iri (al-Ghill wa al-Hasad) dan kemudian memasukkan cinta dan kasih sayang (Rahmah wa Ra`fah) ([7]). Menariknya, Imam al-Baidhawy mengatakan bahwa seolah-olah ini merupakan athaf dari surat sebelumnya yang datang dengan kata tanya (istifham) (ألم يجدك يتيماً). Dan untuk menegaskan bahwa masih banyak nikmat-nikmat Allah yang lain yang tidak disebut dan manusia tak mampu menghitungnya.
Adapun kandungan makna batinnya, bahwa Allah telah memberikan kelapangan dada dengan membuka hati beliau untuk dimudahkan menerima ilmu dan hikmah kenabian serta risalah. Demikian ditegaskan maknanya oleh Imam al-Baghawi([8]). Bahkan para tokoh sufi lebih suka memakai makna batin ini dan lebih merajihkannya karena kata yang dipakai adalah syaraha.
Nikmat kedua, menghilangkan beratnya beban-beban dakwah Rasulullah saw. Sebagian para ahli tafsir menafsirkan al-wizr adalah kesalahan dan kealpaan yang dilakukan Nabi Muhammad sebelum beliau menjadi nabi. Semuanya telah Allah ampunkan. Tapi, tak sedikit yang menafsirkannya dengan beban secara umum yang dihadapi oleh Rasulullah saw dalam melaksanakan misi yang dianugerahkan Allah kepadanya. Yaitu menyampaikan risalah kenabian. Baik beban fisik dengan teror yang diterimanya, maupun secara psikis yang dialaminya berkali-kali. Mulai hinaan, cemoohan, ancaman, tuduhan keji atau bahkan rayuan dan bujukan. Semuanya Allah jadikan ringan. Bahkan Allah melengkapinya dengan nikmat selanjutnya.
Nikmat ketiga, ditinggikan derajatnya. Allah mengangkat derajat beliau sebagai nabi. Bahkan disandingkan namanya dengan asma’ Allah Yang Mahaagung. Namanya disebut oleh penduduk bumi dan langit di sepanjang waktu. Penduduk bumi yang shalat saja berputar dari pagi ke pagi selalu ada yang shalat, syahadatain dibaca di dalamnya. Dalam khutbah, syahadatain juga dibaca. Sebelum ijab qabul pernikahan, syahadatain juga dibaca. Banyak riwayat yang menyebutan kemuliaan beliau yang diberikan Allah dengan penyebutan tersebut([9]).
Kemudahan-Kemudahan
Setelah menyebutkan nikmat dan karunia yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya, Dia menegaskan sebuah makna yang memberikan sugesti kemenangan, kebahagiaan dan ketenangan.
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (QS. 94: 5-6)
Apa rahasia pengulangan kalimat-kalimat di atas? Apa makna yang terkandung hingga Allah perlu mengulangi dan menegaskan pesan-pesan-Nya?
Imam al-Baghawi, Imam al-Ma’iny dan Syeikh Muhyiddin ad-Darwisy menyimpulkan dari struktur gaya bahasa di atas dengan sebuah kaidah kebahasaan, “Isim nakirah jika disebut dua kali maka yang kedua tidaklah sama dengan yang pertama. Namun, jika isim makrifat disebut dua kali maka yang kedua sama dengan yang pertama.”([10]). Dari kaidah ini bisa ditarik sebuah kesimpulan, setiap satu kesulitan terdapat dua kemudahan. Setidaknya akan berupa penyelesaian yang terbaik serta pahala kebaikan yang hanya diketahui Allah jika bersabar dalam menghadapinya. Setelah kesulitan dan beban-beban dakwah yang berat di Makkah, Allah akan memberikan kemudahan dan kemenangan di Madinah.
Kemudahan yang diberikan Allah bahkan berlipat-lipat. Jika Nabi saw terlahir sebagai yatim, beliau bahkan menyantuni banyak fakir miskin dan anak-anak yatim serta para janda miskin. Allah berikan kekayaan, beliau diangkat derajatnya, dilapangkan dadanya dan diringankan beban-bebannya. Apalagi setelah diangkat sebagai Nabi dan Rasul Allah swt. Meski, tekanan justru datang setelah itu. Tapi kemudahan dan kemenangan Allah jadikan setelahnya. Bahkan, beliau menjelma menjadi rahmat –atas titah Allah- bagi segenap alam semesta. Bukan hanya bagi manusia saja.
Jika pada mulanya Islam ditekan, pengikutnya juga ditindas dan dihina, pengikutnya orang-orang lemah dan terzhalimi. Tapi akhirnya, Allah mengubahnya sesuai janjinya. Sebagai contoh kisah Fathu Makkah memberikan kebenaran janji Allah. Dengan segala izzah, Rasul memasuki kota Makkah. Jika sebelumnya orang-orang kuat penduduk Makkah menindas beliau dan para pengikutnya, maka pada saat itu semuanya tertunduk pasrah.
Bahkan sebagian dari mereka ada yang melarikan diri. Kemuliaan yang tak menjadikan beliau sombong dan lupa diri. Beliau justru memperbanyak tasbih dan istighfar, bersyukur atas kemuliaan dan kemenangan yang dikaruniakan Allah berupa mengukuhkan dan mengokohkan agama-Nya di muka bumi ini.
Yakinlah, setiap satu kesulitan ada dua kemudahan yang disiapkan Allah, kemudahan duniawi dan ukhrawi. Tak heran jika kemudian beliau bersabda sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud ra, “Beritakan kabar gembira, telah datang kemudahan. Takkan pernah satu kesulitan mengalahkan dua kemudahan.”([11])
Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya.
Perpindahan Aktivitas
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”.(QS. 94: 7)
Inilah makna istirahat yang sebenarnya. Bukanlah dengan bermalas-malasan dan bersantai, namun dengan perpindahan dari satu aktivitas ke aktivitas lain. Sehingga akan maksimal produktifitas seseorang. Maka, Nabi Muhammad saw mencontohkan setelah menyampaikan dakwahnya, beliau diperintah untuk bersegera beribadah sebagai rasa syukur atas nikmat kenabian sekaligus sebagai rasa tawakkal memasrahkan usaha yang telah dilakukan sebelumnya. Bahwa hasil dari dakwah beliau sepenuhnya diserahkan kepada Allah swt.
Inilah yang seharusnya ditiru oleh pengikut beliau. Jika itu benar-benar kita lakukan, maka kemudahan-kemudahan akan semakin banyak diberikan Allah. Dan Allah akan tinggikan pula ‘izzah agama ini melalui tangan-tangan kita.
Selain itu, ayat ini mengisyaratkan sebuah keseimbangan ideal. Setelah kita sibuk dan beramal untuk dunia, maka seharusnya kita juga berbuat dan beramal untuk akhirat.
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.(QS. 94: 8)
Kesyukuran itu lebih sempurna bila kita jadikan Allah benar-benar satu-satunya tempat bergantung dan berharap. Apa yang lebih indah dari rasa syukur yang dikaruniakan Allah yang telah menyebut bahwa hanya sedikit saja dari hamba-Nya yang mampu bersyukur dengan baik.
Sang Guru Ibnu Atha`illah As-Sakandary mengimbuhkan sebuah makna yang sangat dalam, “Allah menganugerahimu tiga kemuliaan. Dia membuatmu ingat (zikir) kepada-Nya. Kalaulah bukan karena karunia-Nya, engkau tak pantas menjadi ahli zikir kepada-Nya. Dia membuatmu diingat oleh-Nya (mazkur), karena Dia sendiri yang menisbahkan zikir itu untukmu. Dan Dia juga membuatmu diingat di sisi-Nya, saat Allah sempurnakan nikmat-Nya kepadamu.”([12]).
Penutup
Itulah Allah. Zat yang rahmat-Nya luas tanpa batas. Zat yang kasih sayang-Nya tidak terbilang. Pernahkah menghitung nikmat dan karunia yang diberikan-Nya kepada kita? Padahal, tak banyak yang sudah kita lakukan untuk menyukurinya. Berapa kalikah kita berbuat dosa dan melanggar larangan-Nya, tak menunaikan hak-hak-Nya dengan baik?
Namun, hingga saat ini Dia masih saja memberi kesempatan kepada kita untuk bertaubat dan memperbaiki kesalahan-kesalahan. Betapa banyak kesalahan yang kita sembunyikan dari orang tua, istri, anak dan dari orang banyak. Dan Allah tetap terus menutupnya.
Akankah kita melupakannya begitu saja? Alangkah baiknya jika kita tak menghentikan pengharapan kita pada-Nya dan terus mendekatkan diri dengan bertaubat dan istighfar. Itulah kesempurnaan pengharapan. Maka, Dialah Zat yang laik untuk benar-benar diharapkan. Karena Dia tak pernah menyelisihi dan mengingkari janji-Nya serta mengabaikan ketulusan pengharapan hamba-hamba-Nya.
Catatan Kaki:
([1]) lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hlm.20-21; Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.1, hlm. 249. Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qadir, Ma’âlim Suar al-Qur’ân, Cairo: Universitas al-Azhar, cet.I, 2004 M/1424 H, vol.2, hlm.816
([2]) Ibid. hlm. 817
([3]) lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Dur al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma`tsur, Beirut: Dar al-Fikr, Cet.I, 1983 M-1403 H,, Vol.VIII, hlm. 547, Abdurrahman Ibnu al-Jauzy, Zad al-Masir fi Ilmi at-Tafsir, Beirut: al-Maktab al-Islami, Cet.III, 1404 H, Vol.IX, hlm. 162
([4]) ada banyak pendapat tentang pembelahan dada Nabi Muhammad saw yang insya Allah akan kita bicarakan saat menadabburi ayatnya nanti.
([5]) Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali Shabuni, 1986 M-1406 H, hlm. 302
([6]) Lihat: Syihabuddin al-Alusy, Ruhul Maani, Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M-1417 H, Vol. 30, hlm. 299-300, Abu al-Fida` Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-Azhim, Cairo: al-Maktab Ats-Tsaqafi, Cet.I, 2001 M, Vol. IV, hlm. 528
([7]) Tafsir Ibnu Katsir, Ibid.
([8]) Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M-1424 H, Vol.IV, hlm. 469
([9]) Ali bin Ahmad Al-Wahidy, Al-Wasith fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 1994 M-1415 H, Vol.IV, hlm.416-417, juga: Ibnu Jarir ath-Thabary, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an, tahqiq: Mahmud Syakir, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Araby, Cet.I, 2001 M-1421 H, Vol. 30, hlm. 285
([10]) Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Op.Cit, Vol. IV, hlm. 470, Muhyiddin ad-Darwisy, I’rabu al-Qur`an al-Karim wa Bayanuhu, Beirut: Dar Ibnu Katsir, Cet. IX, 2005 M-1426 H, Vol. VIII,hlm. 353, lihat tesis penulis: Kitab Lawami’ al Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi Ma’ani al-Qur’an Karya Imam al-Ma’iny: Dirasah wa Tahqiq, Cairo: Universitas al-Azhar Jurusan Tafsir, 2006, Vol.2, hlm. 876
([11]) Ibnu Jarir ath-Thabary, Jami’ al-Bayan,Op.Cit, Vol. 30, hlm. 286, Abul Qasim Jarullah Az-Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqa`iq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta`wil, Cairo: Maktabah Mustafa Muhammad, Cet.I, 1354 H, Vol.IV, hlm. 221
([12]) Ibnu Atha’illah as-Sakandary, Kitab al-Hikam, Penerjemah: Dr. Ismail Ba’adillah, Jakarta: Khatulistiwa Press, Cet.II, Juni 2008, hlm. 289

Tentang penulis : Dr. Saiful Bahri, MA

Alumni Program S3 Jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Quran, Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir. Ketua PPMI Mesir, 2002-2003. Wakil Ketua Komisi Seni Budaya Islam MUI Pusat (2011-Sekarang). Ketua Asia Pacific Community for Palestine,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar