Sya’ban dikenal kalangan umat Islam sebagai bulan pendahulu untuk memasuki Ramadhan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memperbanyak puasa
sunnah di bulan ini. Disamping sebagai latihan berpuasa, bulan ini juga
waktu pelaporan tahunan amal manusia. Tapi, banyak yang belum
mengetahui bahwa pada bulan ini terjadi sebuah perubahan besar pada umat
Islam, yaitu perubahan kiblat dari masjid al-Aqsha ke masjid al-Haram.
Sejarah Kiblat
Ka’bah
(masjid al-Haram) merupakan kiblat umat Islam seluruh dunia. Tidak ada
pertentangan dengannya. Seluruh umat Islam beribadah menghadap ke arah
Ka’bah. Ia merupakan bangunan ibadah pertama di atas muka bumi. Allah
berfirman,
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِيْنَ
“Sesungguhnya
rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia adalah
baitullah yang berada di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi
petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96)
Ka’bah
dibangun pertama kali oleh Nabi Adam dengan cara menunjuk batas-batas
pondasinya. Hal ini terbukti, ketika Nabi Ibrahim dan keluarganya datang
pertama kali ke Makkah, batas pondasi tersebut sudah ada. Makkah
disebutkan dengan istilah ‘lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman’
oleh Ibrahim dalam doanya ketika ia hendak pergi meninggalkan
keluarganya di sana. Kisah ini terjadi ketika Ismail, anak Ibrahim,
masih dalam buaian. Allah berfiman,
رَبَّنَا إِنِّى أَسْكَنْتُ
مِنْ ذُرِّيَّتِى بِوَادٍ غَيْرَ ذِى زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ
رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلَاةَ …
“Ya Tuhan Kami,
Sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang
tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang
dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan
shalat.” (QS. Ibrahim: 37).
Setelah sekian
lama Ibrahim meninggalkan keluarganya, ia kembali ke Makkah. Kemudian
Allah memerintahkan Ibrahim agar membangun dan meninggikan bangunan
Ka’bah di atas pondasi yang telah ada sebelumnya. Dalam pembangunan
Ka’bah ini, Ibrahim dibantu oleh Ismail yang sudah beranjak dewasa. Hal
ini berdasarkan firman Allah,
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ
الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا
إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan (ingatlah), ketika
Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail
(seraya berdoa), ‘Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami),
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui’”. (QS. Al-Baqarah: 127)
Ka’bah
mengalami berbagai perubahan bentuk bangunan dari sejak dulu hingga
kini. Tercatat dalam sejarah, lima tahun sebelum Nabi Muhammad diangkat
menjadi rasul, Ka’bah mengalami kerusakan parah sehingga kaum Quraisy
membangun kembali bangunan Ka’bah. Muhammad pun turut serta dalam
pembangunan ini. Quraisy mengurangi panjang Ka’bah dan menggantinya
dengan dinding pendek setengah lingkaran (Hijir sekarang) agar
orang-orang tawaf di belakangnya, karena Hijir masih bagian dari Ka’bah.
Tinggi Ka’bah ditambah dan mereka membuatkan atap di atasnya. Ketika
Ibrahim membangun, Ka’bah tanpa atap.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
dan Khulafa’ ar-Rasyidin wafat, kota Makkah dipimpin oleh sahabat
Abdullah bin Zubair (tahun 64 H/683 M). Diantara peninggalannya adalah
beliau menjalankan pendapat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
sebagaimana hadits ‘Aisyah tentang bangunan Ka’bah. Beliau
menghancurkan Ka’bah dan membangunnya kembali sesuai dengan pondasi yang
pernah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam dirikan.
Tapi,
bangunan ini tidak berlangsung lama. Karena al-Hajjaj bin Yusuf
ats-Tsaqafi kemudian membongkarnya dan mengembalikan ke bentuk semula
seperti pada masa Quraisy. Peristiwa itu terjadi pada tahun 73 H/693 M.
Pada
masa Sultan Murad Khan dari Daulah Utsmaniyah, Ka’bah roboh karena
imbas dari hujan deras dan banjir di sekitar kota Makkah. Air masuk ke
dalam Ka’bah dan membanjiri hingga batas setengah dinding Ka’bah (6
meter). Kemudian, Sultan memerintahkan kembali pembangunan Ka’bah pada
tahun 1040 H/1630 M seperti sedia kala. Bangunan inilah yang sampai saat
ini masih ada, tentunya dengan berbagai perbaikan.
Selain Ka’bah,
umat Islam pernah beribadah menghadap ke masjid al-Aqsha dan
menjadikannya sebagai kiblat. Shalat menghadap ke masjid al-Aqsha
terjadi selama enam belas atau tujuh belas bulan setelah Rasulullah
hijrah ke Madinah, sebagaimana hadits al-Barra’ bin ‘Azib dalam kitab
Shahih Bukhari.
“Dari Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pertama kali datang ke Madinah tinggal di
rumah kakek atau paman-paman beliau dari kalangan Anshar. Ketika itu,
Rasulullah shalat menghadap baitu al-Maqdis antara 16 atau 17 bulan
lamanya, tetapi Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka’bah) sebagai
kiblatnya.” (HR. Bukhari)
Sebagaimana Ka’bah
pertama kali dibangun oleh Nabi Adam, begitu pula masjid al-Aqsha
dibangun olehnya. Selisih waktu pembangunannya adalah empat puluh tahun,
sesuai hadits Abu Dzar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim
dalam kitab Shahih mereka. Allah menjadikan masjid al-Aqsha
sebagai tempat ibadah kedua yang ada di atas muka bumi dan kelak menjadi
kiblat dari Bani Israil. Dinamakan al-Aqsha, karena letaknya sangat
jauh dari Ka’bah (masjid al-Haram).
Isyarat bahwa masjid al-Aqsha
sudah ada pada masa lampau adalah ketika Ibrahim dan saudaranya Luth
keluar dari kejaran kaumnya dan diselamatkan Allah ke negeri yang telah
diberkahi. Rupanya Allah telah memberkahi negeri tersebut jauh sebelum
keduanya datang. Karena di dalamnya terdapat tempat ibadah kedua di muka
bumi yaitu masjid al-Aqsha. Firman Allah,
وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوْطًا اِلَى الْأَرْضِ الَّتِى بَارَكْنَا فِيْهَا لِلْعَالَمِيْنَ
“Dan Kami seIamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia.” (QS. al-Anbiya: 71)
Sebelum hijrah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
shalat menghadap ke dua kiblat sekaligus, Ka’bah dan masjid al-Aqsha.
Beliau shalat dia ntara dua rukun (sudut) ka’bah yang dapat menghadapkan
kepada dua kiblat tersebut. Tapi, setelah hijrah ke Madinah, beliau
shalat menghadap ke masjid al-Aqsha saja karena tidak mungkin menggabung
dua kiblat ini. Posisi ka’bah dari arah Madinah berada di sebelah
selatan sedangkan posisi baitu al-Maqdis berada di utara.
Kalangan
ulama berbeda pendapat tentang perintah shalat menghadap ke masjid
al-Aqsha ini, apakah melalui wahyu al-Qur’an atau lainnya? Imam
al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan ada tiga pendapat.
Pertama, perintah menghadap ke masjid al-Aqsha adalah ijtihad dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Pendapat ini disampaikan oleh Ikrimah dan Abu ‘Aliyah.
Kedua,
Rasulullah diminta untuk memilih antara Ka’bah dan masjid al-Aqsha.
Beliau memilih masjid al-Aqsha, dengan harapan orang-orang Yahudi dapat
mengikuti beliau. Pendapat ini dikatakan oleh Imam ath-Thabari.
Ketiga, menghadap ke masjid al-Aqsha adalah perintah Allah kemudian dinaskh (dihapus) dan diperintahkan menghadap ke Ka’bah. Pendapat ini dikuatkan oleh Jumhur Ulama.
Di Balik Perubahan Kiblat
Shalat
menghadap ke masjid al-Aqsha mempunyai pelajaran tersendiri. Ka’bah
ketika itu sudah beralih fungsi, banyak kesyirikan terjadi. Ratusan
berhala berada di dalam ka’bah. Orang-orang quraisy menjadikannya
sebagai lambang kebanggaan nasional mereka. Padahal Allah menjadikan
ka’bah bukan untuk hal-hal materialistik. Islam ingin memurnikan hati
hanya kepada Allah dan membersihkannya dari segala bentuk kebanggaan dan
fanatisme kepada selain system Islam. Allah uji keimanan kaum muslimin
dengan mengalihkan mereka dari menghadap ke ka’bah dan memilihkan masjid
al-Aqsha sebagai kiblat mereka selama beberapa waktu.
Ketika
masjid al-Aqsha menjadi kiblat kaum muslimin, membuat orang-orang Yahudi
menjadi senang. Masjid al-Aqsha yang di dalamnya terdapat ash-Shakhrah al-Musyarrafah
memang menjadi kiblat Bani Israil sejak dahulu. Yahudi menjadikan
kondisi ini sebagai argumentasi mereka dan tidak ada alasan untuk
mengikuti ajaran Muhammad karena kiblatnya sama. Mereka mengatakan bahwa
sikap Muhammad dan para sahabatnya menghadap ke kiblat mereka ketika
shalat merupakan bukti bahwa agama mereka adalah agama yang benar. Bahwa
kiblat mereka adalah kiblat yang benar. Merekalah yang seharusnya
menjadi panutan.
Sikap Yahudi inilah yang menjadikan Muhammad
berharap agar kiblat dirubah ke Ka’bah, tapi Rasul malu untuk
mengungkapkannya kepada Allah sebagai bentuk adab beliau kepada Dzat
Pencipta dan menunggu pengarahan-Nya dengan sesuatu yang disukainya.
Allah mengabulkan harapan Rasul-Nya. Allah menurunkan firman-Nya dalam surat al-Baqarah: 144
قَدْ
نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً
تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا
كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ ….
“Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami
akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram. dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu
ke arahnya.”
Peristiwa ini terjadi di bulan Sya’ban tahun
ke-2 hijriah, yaitu enam belas atau tujuh belas bulan setelah rasul
hijrah. Rasul hijrah ke Madinah dilakukan pada bulan Rabiul Awwal.
Ketika kaum muslimin mendengar perubahan kiblat tersebut, sebagiannya
sedang melaksanakan shalat Ashar, lalu mereka mengalihkan wajahnya ke
arah masjid al-Haram ketika shalat dan menyempurnakan shalat ke arah
kiblat yang baru.
Pada saat itulah, orang-orang Yahudi merasa
keberatan dan telah kehilangan alasan yang selama ini menjadi kebanggaan
mereka. Para provokator Yahudi bersiap dengan aksi yang akan memasukkan
benih-benih keraguan ke dalam barisan kaum muslimin, sebagaimana watak
mereka. Mereka mengatakan, ‘Jika menghadap ke masjid al-Aqsha di masa
lalu itu batal maka berarti shalat kalian selama ini sia-sia. Jika
menghadap ke masjid al-Aqsha itu benar maka berarti arah kiblat yang
baru ke masjid al-Haram itu batal dan shalat kalian ke arahnya pun
sia-sia. Apapun yang terjadi, sesungguhnya perubahan arah kiblat ini
tidak keluar dari Allah, sehingga menjadi bukti bahwa Muhammad itu tidak
menerima wahyu dari Allah.’
Serangan provokasi Yahudi ini sangat
berpengaruh dalam jiwa sebagian kaum muslimin. Oleh karenanya, Allah
menjelaskan masalah kiblat ini sangat panjang, dimulai dari firman-Nya, “Mana saja ayat yang Kami hapuskan ataupun Kami jadikan –manusia- lupa terhadapnya…” (QS. Al-Baqarah: 106) dan menghabiskan seperempat juz terakhir dalam juz satu al-Qur’an.
Al-Qur’an
mengingatkan kaum muslimin bahwa tujuan orang-orang Yahudi adalah ingin
mengembalikan mereka menjadi kafir setelah beriman. Sebagai kedengkian
karena Allah telah memilih kaum muslimin dan melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya dengan menurunkan kitab suci terakhir kepada mereka (QS. al-Baqarah: 109). Al-Qur’an juga membantah berbagai dakwaan dusta yang menyatakan bahwa surga termasuk hak khusus Yahudi dan Nasrani saja (QS. al-Baqarah: 111).
Al-Qur’an
membongkar motivasi Yahudi yang disembunyikan tentang pengalihan
kiblat, yaitu tindakan tersebut sebagai menghalangi kegiatan menyebut
nama Allah di dalam masjid-masjid-Nya dan sebagai upaya untuk
menghancurkannya (QS. al-Baqarah: 114). Al-Qur’an juga
memosisiskan kaum muslimin berhadapan langsung dengan tujuan inti ahli
kitab yaitu memindahkan kaum muslimin dari agama mereka kepada agama
ahli kitab dan orang-orang Yahudi tidak akan ridha kepada Muhammad
hingga ia mau mengikuti millah mereka (QS. al-Baqarah: 120).
Jika tidak, maka akan dihadapi dengan perang, konspirasi dan intrik
hingga titik akhir. Itulah hakikat pertarungan yang ada di balik
berbagai kebatilan dan pengelabuan yang dibungkus dengan berbagai
argumentasi dan alasan yang dibuat-buat.
Setelah al-Qur’an
mengupas tuntas tentang provokasi Yahudi terhadap perpindahan kiblat,
Allah menutup kebohongan mereka dengan membicarakan tentang Ibrahim,
Ismail, Ishak, Ya’kub, dan pembangunan Ka’bah serta syiar-syiarnya.
Allah tegaskan bahwa hakikat agama Ibrahim adalah tauhid yang murni,
begitu pula keturunannya. Berbeda dengan keyakinan yang telah menyimpang
dari ahli kitab dan kaum musyrikin.
Pembangunan Ka’bah juga
didasari atas keimanan dan akidah. Sehingga orang yang berhak mewarisi
amanat ini bukanlah orang yang telah menyimpang akidahnya. Tapi mereka
adalah orang yang satu akidah dan iman hingga munculnya umat Islam
sebagai jawaban doa Ibrahim dan Ismail ketika keduanya meninggikan
pondasi ka’bah.
Oleh karena itu, gugurlah dakwaan orang-orang
Yahudi dan Nasrani tentang keterpilihan mereka sebagai pewaris risalah
dakwah hanya karena semata-mata mereka anak cucu keturunan Ibrahim.
Gugur pula dakwaan Quraisy tentang hak istimewa mereka mengurus Ka’bah
karena penyimpangannya terhadap akidah.
Ka’bah adalah kiblat kaum
muslimin dan kiblat moyang mereka, Ibrahim. Perubahan kiblat dari masjid
al-Aqsha ke Ka’bah di bulan Sya’ban merupakan arahan yang alamiah dan
logis, sejalan dengan pewarisan kaum muslimin akan agama Ibrahim yang
murni. Konspirasi Yahudi akan selalu ada hingga Hari Kiamat karena
ketidakrelaan mereka terhadap agama akhir zaman, Islam. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar