Kamis, 28 Agustus 2014

Sya’ban dan Konspirasi Yahudi

Sya’ban dikenal kalangan umat Islam sebagai bulan pendahulu untuk memasuki Ramadhan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memperbanyak puasa sunnah di bulan ini. Disamping sebagai latihan berpuasa, bulan ini juga waktu pelaporan tahunan amal manusia. Tapi, banyak yang belum mengetahui bahwa pada bulan ini terjadi sebuah perubahan besar pada umat Islam, yaitu perubahan kiblat dari masjid al-Aqsha ke masjid al-Haram.
Sejarah Kiblat
Ka’bah (masjid al-Haram) merupakan kiblat umat Islam seluruh dunia. Tidak ada pertentangan dengannya. Seluruh umat Islam beribadah menghadap ke arah Ka’bah. Ia merupakan bangunan ibadah pertama di atas muka bumi. Allah berfirman,
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِيْنَ
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia adalah baitullah yang berada di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”  (QS. Ali Imran: 96)
Ka’bah dibangun pertama kali oleh Nabi Adam dengan cara menunjuk batas-batas pondasinya. Hal ini terbukti, ketika Nabi Ibrahim dan keluarganya datang pertama kali ke Makkah, batas pondasi tersebut sudah ada. Makkah disebutkan dengan istilah ‘lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman’ oleh Ibrahim dalam doanya ketika ia hendak pergi meninggalkan keluarganya di sana. Kisah ini terjadi ketika Ismail, anak Ibrahim, masih dalam buaian. Allah berfiman,
رَبَّنَا إِنِّى أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِى بِوَادٍ غَيْرَ ذِى زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلَاةَ …
“Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat.” (QS. Ibrahim: 37).
Setelah sekian lama Ibrahim meninggalkan keluarganya, ia kembali ke Makkah. Kemudian Allah memerintahkan Ibrahim agar membangun dan meninggikan bangunan Ka’bah di atas pondasi yang telah ada sebelumnya. Dalam pembangunan Ka’bah ini, Ibrahim dibantu oleh Ismail yang sudah beranjak dewasa. Hal ini berdasarkan firman Allah,
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui’”. (QS. Al-Baqarah: 127)
Ka’bah mengalami berbagai perubahan bentuk bangunan dari sejak dulu hingga kini. Tercatat dalam sejarah, lima tahun sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul, Ka’bah mengalami kerusakan parah sehingga kaum Quraisy membangun kembali bangunan Ka’bah. Muhammad pun turut serta dalam pembangunan ini. Quraisy mengurangi panjang Ka’bah dan menggantinya dengan dinding pendek setengah lingkaran (Hijir sekarang) agar orang-orang tawaf di belakangnya, karena Hijir masih bagian dari Ka’bah. Tinggi Ka’bah ditambah dan mereka membuatkan atap di atasnya. Ketika Ibrahim membangun, Ka’bah tanpa atap.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Khulafa’ ar-Rasyidin wafat, kota Makkah dipimpin oleh sahabat Abdullah bin Zubair (tahun 64 H/683 M). Diantara peninggalannya adalah beliau menjalankan pendapat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana hadits ‘Aisyah tentang bangunan Ka’bah. Beliau menghancurkan Ka’bah dan membangunnya kembali sesuai dengan pondasi yang pernah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam dirikan.
Tapi, bangunan ini tidak berlangsung lama. Karena al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi kemudian membongkarnya dan mengembalikan ke bentuk semula seperti pada masa Quraisy. Peristiwa itu terjadi pada tahun 73 H/693 M.
Pada masa Sultan Murad Khan dari Daulah Utsmaniyah, Ka’bah roboh karena imbas dari hujan deras dan banjir di sekitar kota Makkah. Air masuk ke dalam Ka’bah dan membanjiri hingga batas setengah dinding Ka’bah (6 meter). Kemudian, Sultan memerintahkan kembali pembangunan Ka’bah pada tahun 1040 H/1630 M seperti sedia kala. Bangunan inilah yang sampai saat ini masih ada, tentunya dengan berbagai perbaikan.
Selain Ka’bah, umat Islam pernah beribadah menghadap ke masjid al-Aqsha dan menjadikannya sebagai kiblat. Shalat menghadap ke masjid al-Aqsha terjadi selama enam belas atau tujuh belas bulan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, sebagaimana hadits al-Barra’ bin ‘Azib dalam kitab Shahih Bukhari.
“Dari Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pertama kali datang ke Madinah tinggal di rumah kakek atau paman-paman beliau dari kalangan Anshar. Ketika itu, Rasulullah shalat menghadap baitu al-Maqdis antara 16 atau 17 bulan lamanya, tetapi Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka’bah) sebagai kiblatnya.” (HR. Bukhari)
Sebagaimana Ka’bah pertama kali dibangun oleh Nabi Adam, begitu pula masjid al-Aqsha dibangun olehnya. Selisih waktu pembangunannya adalah empat puluh tahun, sesuai hadits Abu Dzar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka. Allah menjadikan masjid al-Aqsha sebagai tempat ibadah kedua yang ada di atas muka bumi dan kelak menjadi kiblat dari Bani Israil. Dinamakan al-Aqsha, karena letaknya sangat jauh dari Ka’bah (masjid al-Haram).
Isyarat bahwa masjid al-Aqsha sudah ada pada masa lampau adalah ketika Ibrahim dan saudaranya Luth keluar dari kejaran kaumnya dan diselamatkan Allah ke negeri yang telah diberkahi. Rupanya Allah telah memberkahi negeri tersebut jauh sebelum keduanya datang. Karena di dalamnya terdapat tempat ibadah kedua di muka bumi yaitu masjid al-Aqsha. Firman Allah,
وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوْطًا اِلَى الْأَرْضِ الَّتِى بَارَكْنَا فِيْهَا لِلْعَالَمِيْنَ
“Dan Kami seIamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia.” (QS. al-Anbiya: 71)
Sebelum hijrah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam shalat menghadap ke dua kiblat sekaligus, Ka’bah dan masjid al-Aqsha. Beliau shalat dia ntara dua rukun (sudut) ka’bah yang dapat menghadapkan kepada dua kiblat tersebut. Tapi, setelah hijrah ke Madinah, beliau shalat menghadap ke masjid al-Aqsha saja karena tidak mungkin menggabung dua kiblat ini. Posisi ka’bah dari arah Madinah berada di sebelah selatan sedangkan posisi baitu al-Maqdis berada di utara.
Kalangan ulama berbeda pendapat tentang perintah shalat menghadap ke masjid al-Aqsha ini, apakah melalui wahyu al-Qur’an atau lainnya? Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan ada tiga pendapat.
Pertama, perintah menghadap ke masjid al-Aqsha adalah ijtihad dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Pendapat ini disampaikan oleh Ikrimah dan Abu ‘Aliyah.
Kedua, Rasulullah diminta untuk memilih antara Ka’bah dan masjid al-Aqsha. Beliau memilih masjid al-Aqsha, dengan harapan orang-orang Yahudi dapat mengikuti beliau. Pendapat ini dikatakan oleh Imam ath-Thabari.
Ketiga, menghadap ke masjid al-Aqsha adalah perintah Allah kemudian dinaskh (dihapus) dan diperintahkan menghadap ke Ka’bah. Pendapat ini dikuatkan oleh Jumhur Ulama.
Di Balik Perubahan Kiblat
Shalat  menghadap ke masjid al-Aqsha mempunyai pelajaran tersendiri. Ka’bah ketika itu sudah beralih fungsi, banyak kesyirikan terjadi. Ratusan berhala berada di dalam ka’bah. Orang-orang quraisy menjadikannya sebagai lambang kebanggaan nasional mereka. Padahal Allah menjadikan ka’bah bukan untuk hal-hal materialistik. Islam ingin memurnikan hati hanya kepada Allah dan membersihkannya dari segala bentuk kebanggaan dan fanatisme kepada selain system Islam. Allah uji keimanan kaum muslimin dengan mengalihkan mereka dari menghadap ke ka’bah dan memilihkan masjid al-Aqsha sebagai kiblat mereka selama beberapa waktu.
Ketika masjid al-Aqsha menjadi kiblat kaum muslimin, membuat orang-orang Yahudi menjadi senang. Masjid al-Aqsha yang di dalamnya terdapat ash-Shakhrah al-Musyarrafah memang menjadi kiblat Bani Israil sejak dahulu. Yahudi menjadikan kondisi ini sebagai argumentasi mereka dan tidak ada alasan untuk mengikuti ajaran Muhammad karena kiblatnya sama. Mereka mengatakan bahwa sikap Muhammad dan para sahabatnya menghadap ke kiblat mereka ketika shalat merupakan bukti bahwa agama mereka adalah agama yang benar. Bahwa kiblat mereka adalah kiblat yang benar. Merekalah yang seharusnya menjadi panutan.
Sikap Yahudi inilah yang menjadikan Muhammad berharap agar kiblat dirubah ke Ka’bah, tapi Rasul malu untuk mengungkapkannya kepada Allah sebagai bentuk adab beliau kepada Dzat Pencipta dan menunggu pengarahan-Nya dengan sesuatu yang disukainya.
Allah mengabulkan harapan Rasul-Nya. Allah menurunkan firman-Nya dalam surat al-Baqarah: 144
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ ….
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.”
Peristiwa ini terjadi di bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriah, yaitu enam belas atau tujuh belas bulan setelah rasul hijrah. Rasul hijrah ke Madinah dilakukan pada bulan Rabiul Awwal. Ketika kaum muslimin mendengar perubahan kiblat tersebut, sebagiannya sedang melaksanakan shalat Ashar, lalu mereka mengalihkan wajahnya ke arah masjid al-Haram ketika shalat dan menyempurnakan shalat ke arah kiblat yang baru.
Pada saat itulah, orang-orang Yahudi merasa keberatan dan telah kehilangan alasan yang selama ini menjadi kebanggaan mereka. Para provokator Yahudi bersiap dengan aksi yang akan memasukkan benih-benih keraguan ke dalam barisan kaum muslimin, sebagaimana watak mereka. Mereka mengatakan, ‘Jika menghadap ke masjid al-Aqsha di masa lalu itu batal maka berarti shalat kalian selama ini sia-sia. Jika menghadap ke masjid al-Aqsha itu benar maka berarti arah kiblat yang baru ke masjid al-Haram itu batal dan shalat kalian ke arahnya pun sia-sia. Apapun yang terjadi, sesungguhnya perubahan arah kiblat ini tidak keluar dari Allah, sehingga menjadi bukti bahwa Muhammad itu tidak menerima wahyu dari Allah.’
Serangan provokasi Yahudi ini sangat berpengaruh dalam jiwa sebagian kaum muslimin. Oleh karenanya, Allah menjelaskan masalah kiblat ini sangat panjang, dimulai dari firman-Nya, “Mana saja ayat yang Kami hapuskan ataupun Kami jadikan –manusia- lupa terhadapnya…” (QS. Al-Baqarah: 106) dan menghabiskan seperempat juz terakhir dalam juz satu al-Qur’an.
Al-Qur’an mengingatkan kaum muslimin bahwa tujuan orang-orang Yahudi adalah ingin mengembalikan mereka menjadi kafir setelah beriman. Sebagai kedengkian karena Allah telah memilih kaum muslimin dan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dengan menurunkan kitab suci terakhir kepada mereka (QS. al-Baqarah: 109). Al-Qur’an juga membantah berbagai dakwaan dusta yang menyatakan bahwa surga termasuk hak khusus Yahudi dan Nasrani saja (QS. al-Baqarah: 111).
Al-Qur’an membongkar motivasi Yahudi yang disembunyikan tentang pengalihan kiblat, yaitu tindakan tersebut sebagai menghalangi kegiatan menyebut nama Allah di dalam masjid-masjid-Nya dan sebagai upaya untuk menghancurkannya (QS. al-Baqarah: 114). Al-Qur’an juga memosisiskan kaum muslimin berhadapan langsung dengan tujuan inti ahli kitab yaitu memindahkan kaum muslimin dari agama mereka kepada agama ahli kitab dan orang-orang Yahudi tidak akan ridha kepada Muhammad hingga ia mau mengikuti millah mereka (QS. al-Baqarah: 120). Jika tidak, maka akan dihadapi dengan perang, konspirasi dan intrik hingga titik akhir. Itulah hakikat pertarungan yang ada di balik berbagai kebatilan dan pengelabuan yang dibungkus dengan berbagai argumentasi dan alasan yang dibuat-buat.
Setelah al-Qur’an mengupas tuntas tentang provokasi Yahudi terhadap perpindahan kiblat, Allah menutup kebohongan mereka dengan membicarakan tentang Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub, dan pembangunan Ka’bah serta syiar-syiarnya. Allah tegaskan bahwa hakikat agama Ibrahim adalah tauhid yang murni, begitu pula keturunannya. Berbeda dengan keyakinan yang telah menyimpang dari ahli kitab dan kaum musyrikin.
Pembangunan Ka’bah juga didasari atas keimanan dan akidah. Sehingga orang yang berhak mewarisi amanat ini bukanlah orang yang telah menyimpang akidahnya. Tapi mereka adalah orang yang satu akidah dan iman hingga munculnya umat Islam sebagai jawaban doa Ibrahim dan Ismail ketika keduanya meninggikan pondasi ka’bah.
Oleh karena itu, gugurlah dakwaan orang-orang Yahudi dan Nasrani tentang keterpilihan mereka sebagai pewaris risalah dakwah hanya karena semata-mata mereka anak cucu keturunan Ibrahim. Gugur pula dakwaan Quraisy tentang hak istimewa mereka mengurus Ka’bah karena penyimpangannya terhadap akidah.
Ka’bah adalah kiblat kaum muslimin dan kiblat moyang mereka, Ibrahim. Perubahan kiblat dari masjid al-Aqsha ke Ka’bah di bulan Sya’ban merupakan arahan yang alamiah dan logis, sejalan dengan pewarisan kaum muslimin akan agama Ibrahim yang murni. Konspirasi Yahudi akan selalu ada hingga Hari Kiamat karena ketidakrelaan mereka terhadap agama akhir zaman, Islam. Wallahu A’lam.

Referensi bacaan:
  1. Tafsir Fi Zilali al-Qur’an, Sayyid Quthb
  2. Ensiklopedia Mini Masjid al-Aqsha, Tim Kajian Asia Pacific Community for Palestine

Sumber:
Salman Alfarisi, Lc / dakwatuna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar