Segala puji kepunyaan Allah. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba’du.
Di
antara kewajiban ahli fiqih muslim ialah berhenti di hadapan beberapa
persoalan yang dihadapinya untuk menetapkan beberapa hakikat penting,
antara lain:
Bahwa kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut
pandangan syariat Islam merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan
menganggapnya sebagai suatu wujud yang hidup yang wajib dijaga,
sehingga syariat memperbolehkan wanita hamil untuk berbuka puasa (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan,
bahkan kadang-kadang diwajibkan berbuka jika ia khawatir akan
keselamatan kandungannya. Karena itu syariat Islam mengharamkan tindakan
melampaui batas terhadapnya, meskipun yang melakukan ayah atau ibunya
sendiri yang telah mengandungnya dengan susah payah. Bahkan terhadap
kehamilan yang haram –yang dilakukan dengan jalan perzinaan– janinnya
tetap tidak boleh digugurkan, karena ia merupakan manusia hidup yang
tidak berdosa.
“… Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain …” (QS. Al-Isra’: 15)
Selain itu, kita juga mengetahui bahwa syara’ mewajibkan penundaan pelaksanaan hukum qishash
terhadap wanita hamil yang dijatuhi jenis hukuman ini demi menjaga
janinnya, sebagaimana kisah wanita al-Ghamidiyah yang diriwayatkan dalam
kitab sahih. Dalam hal ini syara’ memberi jalan kepada waliyul-amri
(pihak pemerintah) untuk menghukum wanita tersebut, tetapi tidak memberi
jalan untuk menghukum janin yang ada di dalam kandungannya.
Seperti
kita lihat juga bahwa syara’ mewajibkan membayar diat (denda) secara
sempurna kepada seseorang yang memukul perut wanita yang hamil, lalu dia
melahirkan anaknya dalam keadaan hidup, namun akhirnya mati karena
akibat pukulan tadi. Ibnul Mundzir mengutip kesepakatan ahli ilmu
mengenai masalah ini.[2]
Sedangkan jika bayi itu lahir dalam
keadaan mati, maka dia tetap dikenakan denda karena kelengahannya
(ghirrah), sebesar seperdua puluh diat.
Kita juga melihat bahwa
syara’ mewajibkan si pemukul membayar kafarat –di samping diat dan
ghirrah– yaitu memerdekakan seorang budak yang beriman, jika tidak dapat
maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Bahkan hal itu
diwajibkan atasnya, baik janin itu hidup atau mati.
Ibnu Qudamah
berkata, “Inilah pendapat kebanyakan ahli ilmu, dan pendapat ini juga
diriwayatkan dari Umar r.a.. Mereka berdalil dengan Firman Allah: “…
dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja)
hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si
terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah
si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka
dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang
mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si
pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada
Allah; dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’: 92)
Mereka
berkata, “Apabila wanita hamil meminum obat untuk menggugurkan
kandungannya, maka ia wajib membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu
daripadanya (sebab orang yang membunuh tidak boleh mewarisi sesuatu
dari yang dibunuh), dan wajib memerdekakan seorang budak. Denda tersebut
hendaklah diberikan kepada ahli waris si janin. Semua sanksi itu
dikenakan padanya karena ia telah melakukan perbuatan jahat yaitu
menggugurkan janin. Sedangkan memerdekakan budak merupakan kafarat bagi
tindak kejahatannya. Demikian pula jika yang menggugurkan janin itu
ayahnya maka si ayah harus membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu
daripadanya, dan harus memerdekakan budak.”[3]
Jika tidak
mendapatkan budak (atau tidak mampu memerdekakan budak), maka ia harus
berpuasa selama dua bulan berturut-turut, sebagai cara tobat kepada
Allah SWT.
Lebih dari itu adalah perkataan Ibnu Hazm dalam
al-Muhalla mengenai pembunuhan janin setelah ditiupkannya ruh, yakni
setelah kandungan berusia seratus dua puluh hari, sebagaimana disebutkan
dalam hadits sahih. Ibnu Hazm menganggap tindakan ini sebagai tindak
kejahatan pembunuhan dengan sengaja yang mewajibkan pelakunya menanggung
segala risiko, seperti hukum qishash dan lain-lainnya. Beliau berkata:
“Jika ada orang bertanya, ‘Bagaimana pendapat Anda mengenai seorang
perempuan yang sengaja membunuh janinnya setelah kandungannya berusia
seratus dua puluh hari, atau orang lain yang membunuhnya dengan memukul
(atau tindakan apa pun) terhadap perut si perempuan itu untuk membunuh
si janin?’ Kami jawab bahwa sebagai hukumannya wajib dikenakan hukum
qishash, tidak boleh tidak, dan ia tidak berkewajiban membayar denda.
Kecuali jika dimaafkan, maka dia wajib membayar ghirrah atau denda saja
karena itu merupakan diat, tetapi tidak wajib membayar kafarat karena
hal itu merupakan pembunuhan dengan sengaja. Dia dikenakan hukuman
qishash karena telah membunuh suatu jiwa (manusia) yang beriman dengan
sengaja, maka menghilangkan (membunuh) jiwa harus dibalas dengan dibunuh
pula. Meski demikian, keluarga si terbunuh mempunyai dua alternatif,
menuntut hukum qishash atau diat, sebagaimana hukum yang ditetapkan
Rasulullah saw. terhadap orang yang membunuh orang mukmin. Wa billahi
taufiq.”
Mengenai wanita yang meminum obat untuk menggugurkan
kandungannya, Ibnu Hazm berkata: “Jika anak itu belum ditiupkan ruh
padanya, maka dia (ibu tersebut) harus membayar ghirrah. Tetapi jika
sudah ditiupkan ruh padanya –bila wanita itu tidak sengaja membunuhnya–
maka dia terkena ghirrah dan kafarat. Sedangkan jika dia sengaja
membunuhnya, maka dia dijatuhi hukum qishash atau membayar tebusan
dengan hartanya sendiri.”[4]
Janin yang telah ditiupkan ruh
padanya, oleh Ibnu Hazm dianggap sebagai sosok manusia, sehingga beliau
mewajibkan mengeluarkan zakat fitrah untuknya. Sedangkan golongan
Hanabilah hanya memandangnya mustahab, bukan wajib.
Semua itu
menunjukkan kepada kita betapa perhatian syariat terhadap janin, dan
betapa ia menekankan penghormatan kepadanya, khususnya setelah sampai
pada tahap yang oleh hadits disebut sebagai tahapan an-nafkhu fir-ruh
(peniupan ruh). Dan ini merupakan perkara gaib yang harus kita terima
begitu saja, asalkan riwayatnya sah, dan tidak usah kita memperpanjang
pembicaraan tentang hakikatnya, Allah berfirman: “… dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (al-Isra’: 85)
Saya
kira, hal itu bukan semata-mata kehidupan yang dikenal seperti kita
ini, meskipun para pensyarah dan fuqaha memahaminya demikian. Hakikat
yang ditetapkan oleh ilmu pengetahuan sekarang secara meyakinkan ialah
bahwa kehidupan telah terjadi sebelum itu, hanya saja bukan kehidupan
manusia yang diistilahkan oleh hadits dengan “peniupan ruh.” Hal ini
ditunjuki oleh isyarat Al- Quran:
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya ruh (ciptaan)-Nya …” (QS. As-Sajdah: 9)
Tetapi
di antara hadits-hadits sahih terdapat hadits yang tampaknya
bertentangan dengan hadits Ibnu Mas’ud yang menyebutkan diutusnya
malaikat untuk meniup ruh setelah usia kandungan melampaui masa tiga
kali empat puluh hari (120 hari).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari hadits Hudzaifah bin Usaid, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila nutfah telah berusia empat puluh dua malam, maka Allah
mengutus malaikat, lalu dibuatkan bentuknya, diciptakan pendengarannya,
penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian malaikat
bertanya, ya Rabbi, laki-laki ataukah perempuan?’ Lalu Rabb-mu
menentukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan malaikat menulisnya, kemudian
dia (malaikat) bertanya, Ya Rabbi, bagaimana ajalnya?’ Lalu Rabb-mu
menetapkan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya.
Kemudian ia bertanya, ‘Ya Rabbi, bagaimana rezekinya?’ Lalu Rabb-mu
menentukan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya.
Kemudian malaikat itu keluar dengan membawa lembaran catatannya, maka ia
tidak menambah dan tidak mengurangi apa yang diperintahkan itu.”[5]
Hadits
ini menjelaskan diutusnya malaikat dan dibuatnya bentuk bagi nutfah
setelah berusia enam minggu (empat puluh dua hari) [6] bukan setelah
berusia seratus dua puluh hari sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu
Mas’ud yang terkenal itu. Sebagian ulama mengompromikan kedua hadits
tersebut dengan mengatakan bahwa malaikat itu diutus beberapa kali,
pertama pada waktu nutfah berusia empat puluh hari, dan kali lain pada
waktu berusia empat puluh kali tiga hari (120 hari) untuk meniupkan
ruh.[7]
Karena itu para fuqaha telah sepakat akan haramnya
menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh padanya. Tidak ada
seorang pun yang menentang ketetapan ini, baik dari kalangan salaf
maupun khalaf.[8]
Adapun pada tahap sebelum ditiupkannya ruh, maka
di antara fuqaha ada yang memperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum
ditiupkannya ruh itu, sebagian saudara kita yang ahli kedokteran dan
anatomi mengatakan, “Sesungguhnya hukum yang ditetapkan para ulama yang
terhormat itu didasarkan atas pengetahuan mereka pada waktu itu.
Andaikata mereka mengetahui apa yang kita ketahui sekarang mengenai
wujud hidup yang membawa ciri-ciri keturunan (gen) kedua orang tuanya
dan keluarganya serta jenisnya, niscaya mereka akan mengubah hukum dan
fatwa mereka karena mengikuti perubahan ‘illat (sebab hukum), karena
hukum itu berputar menurut ‘illat-nya, pada waktu ada dan tidak adanya
‘illat.”
Di antara kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah
bahwa di kalangan ahli kandungan dan anatomi sendiri terdapat perbedaan
pendapat –sebagaimana halnya para fuqaha– di dalam menetapkan kehidupan
janin pada tahap pertama: sebelum berusia 42 hari dan sebelum 120 hari.
Perbedaan di antara mereka ini juga memperkokoh perbedaan pendapat para
fuqaha mengenai janin sebelum berusia 40 hari dan sebelum 120 hari.
Barangkali
ini merupakan rahmat Allah kepada manusia agar udzur dan darurat itu
mempunyai tempat. Maka tidak apalah apabila saya sebutkan sebagian dari
perkataan fuqaha mengenai persoalan ini: Syekhul Islam al-Hafizh Ibnu
Hajar didalam Fathul-Bari menyinggung mengenai pengguguran kandungan
–setelah membicarakan secara panjang lebar mengenai masalah ‘azl
(mencabut zakar untuk menumpahkan sperma di luar vagina pada waktu
ejakulasi) serta perbedaan pendapat ulama tentang boleh dan tidaknya
melakukan hal itu, yang pada akhirnya beliau cenderung memperbolehkannya
karena tidak kuatnya dalil pihak yang melarangnya. Beliau berkata:
“Dan terlepas dari hukum ‘azl ialah hukum wanita menggunakan obat untuk
menggugurkan (merusak) nutfah (embrio) sebelum ditiupkannya ruh.
Barangsiapa yang mengatakan hal ini terlarang, maka itulah yang lebih
layak; dan orang yang memperbolehkannya, maka hal itu dapat disamakan
dengan ‘azl. Tetapi kedua kasus ini dapat juga dibedakan, bahwa tindakan
perusakan nutfah itu lebih berat, karena ‘azl itu dilakukan sebelum
terjadinya sebab (kehidupan), sedangkan perusakan nutfah itu dilakukan
setelah terjadinya sebab kehidupan (anak).”[9]
Sementara itu, di
antara fuqaha ada yang membedakan antara kehamilan yang berusia kurang
dari empat puluh hari dan yang berusia lebih dari empat puluh hari. Lalu
mereka memperbolehkan menggugurkannya bila belum berusia empat puluh
hari, dan melarangnya bila usianya telah lebih dari empat puluh hari.
Barangkali yang menjadi pangkal perbedaan pendapat mereka adalah hadits
Muslim yang saya sebutkan di atas. Didalam kitab Nihayah al-Muhtaj, yang
termasuk kitab mazhab Syafi’i, disebutkan dua macam pendapat para ahli
ilmu mengenai nutfah sebelum genap empat puluh hari: “Ada yang
mengatakan bahwa hal itu tidak dapat dihukumi sebagai pengguguran dan
pembunuhan. Ada pula yang mengatakan bahwa nutfah harus dihormati, tidak
boleh dirusak, dan tidak boleh melakukan upaya untuk mengeluarkannya
setelah ia menetap di dalam rahim (uterus).”[10]
Di antara fuqaha
ada pula yang membedakan antara tahap sebelum penciptaan janin dan tahap
sesudah penciptaan (pembentukan). Lalu mereka memperbolehkan aborsi
(pengguguran) sebelum pembentukan dan melarangnya setelah pembentukan.
Di
dalam an-Nawadir, dari kitab mazhab Hanafi, disebutkan, “Seorang wanita
yang menelan obat untuk menggugurkan kandungannya, tidaklah berdosa
asalkan belum jelas bentuknya.”[11]
Di dalam kitab-kitab mereka
juga mereka ajukan pertanyaan: bolehkah menggugurkan kandungan setelah
terjadinya kehamilan? Mereka menjawab: Boleh, asalkan belum berbentuk.
Kemudian
di tempat lain mereka berkata, “Tidaklah terjadi pembentukan
(penciptaan) melainkan setelah kandungan itu berusia seratus dua puluh
hari. ”
— Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar