Muhaqqiq (ulama ahli menetapkan hukum) mazhab Hanafi, al-Kamal bin
al-Hammam, berkata, “Ini berarti bahwa yang mereka maksud dengan
penciptaan atau pembentukan itu ialah ditiupkannya ruh, sebab jika tidak
demikian berarti keliru, karena pembentukan itu telah dapat disaksikan
sebelum waktu itu.”[12] Perkataan al-Allamah (al-Kamal) ini adalah
benar, diakui oleh ilmu pengetahuan sekarang.
Sedangkan pernyataan
mereka yang mutlak itu memberi pengertian bahwa kebolehan menggugurkan
kandungan itu tidak bergantung pada izin suami. Hal ini dinyatakan di
dalam kitab ad-Durrul Mukhtar: “Mereka berkata, ‘Diperbolehkan
menggugurkan kandungan sebelum berusia empat bulan, meskipun tanpa izin
suami.’” Namun demikian, di antara ulama Hanafiyah ada yang menolak
hukum yang memperbolehkan pengguguran secara mutlak itu, mereka berkata,
“Saya tidak mengatakan halal, karena orang yang sedang ihram saja
apabila memecahkan telur buruan itu harus menggantinya, karena itulah
hukum asal mengenai pembunuhan. Kalau orang yang melakukan ihram saja
dikenakan hukuman pembalasan, maka tidak kurang dosanya bagi orang yang
menggugurkan kandungan tanpa udzur.”
Di antara mereka ada pula
yang mengatakan makruh, karena air (sperma) setelah masuk ke rahim
belumlah hidup tapi mempunyai hukum sebagai manusia hidup, seperti
halnya telur binatang buruan pada waktu ihram. Karena itu ahli tahqiq
mereka berkata, “Maka kebolehan menggugurkan kandungan itu harus
diartikan karena dalam keadaan udzur, atau dengan pengertian bahwa ia
tidak berdosa seperti dosanya membunuh.”[13]
Akan tetapi, kebanyakan ulama menentang pendapat ini dan tidak memperbolehkan pengguguran, meskipun sebelum ditiupkannya ruh.
Hal ini disebabkan adanya segolongan ulama yang melarang ‘azl dan mereka anggap hal ini sebagai “pembunuhan terselubung” sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Mereka beralasan bahwa ‘azl
berarti menghalangi sebab-sebab kehidupan untuk menuju realitas atau
perwujudannya. Karena itu mereka melarang menggugurkan kandungan dan
mengharamkannya dengan jalan qiyas aulawi (maksudnya, kalau ‘azl saja
terlarang, maka pengguguran lebih terlarang lagi), karena sebab-sebab
kehidupan di sini telah terjadi dengan bertemunya sperma laki-laki
dengan sel telur perempuan dan terjadinya pembuahan yang menimbulkan
wujud makhluk baru yang membawa sifat-sifat keturunan yang hanya Allah
yang mengetahuinya.
Tetapi ada juga ulama-ulama yang memperbolehkan ‘azl
karena alasan-alasan yang berhubungan dengan ibu atau anaknya (yang
baru dilahirkan), atau bisa juga karena pertimbangan keluarga untuk
kebaikan pendidikan anak-anak, atau lainnya. Namun demikian, mereka
tidak memperbolehkan aborsi (pengguguran) dan menyamakannya dengan
pembunuhan terselubung, meskipun tingkat kejahatannya berbeda.
Di antara yang berpendapat begitu ialah Imam al-Ghazali. Saya lihat beliau –meskipun beliau memperbolehkan ‘azl dengan alasan-alasan yang akurat menurut beliau– membedakan dengan jelas antara menghalangi kehamilan dengan ‘azl dan menggugurkan kandungan setelah terwujud, dengan mengatakan: ”
Hal
ini –mencegah kehamilan dengan ‘azl– tidak sama dengan pengguguran dan
pembunuhan terselubung; sebab yang demikian (pengguguran dan pembunuhan
terselubung) merupakan tindak kejahatan terhadap suatu wujud yang telah
ada, dan wujud itu mempunyai beberapa tingkatan. Tingkatan yang pertama
ialah masuknya nutfah (sperma) ke dalam rahim, dan bercampur dengan air
(mani) perempuan (ovum), serta siap untuk menerima kehidupan. Merusak
keadaan ini merupakan suatu tindak kejahatan. Jika telah menjadi
segumpal darah atau daging, maka kejahatan terhadapnya lebih buruk lagi
tingkatannya. Jika telah ditiupkan ruh padanya dan telah sempurna
kejadiannya, maka tingkat kejahatannya bertambah tinggi pula. Dan
sebagai puncak kejahatan terhadapnya ialah membunuhnya setelah ia lahir
dalam keadaan hidup.”[14]
Perlu diperhatikan, bahwa Imam
al-Ghazali rahimahullah menganggap pengguguran sebagai tindak kejahatan
terhadap wujud manusia yang telah ada, tetapi beliau juga menganggap
pertemuan sperma dengan ovum sebagai “siap menerima kehidupan.” Nah,
bagaimanakah persepsi beliau seandainya beliau tahu apa yang kita
ketahui sekarang bahwa kehidupan telah terjadi semenjak bertemunya sel
sperma laki-laki dengan sel telur wanita?
Karena itu saya katakan,
“Pada dasarnya hukum aborsi adalah haram, meskipun keharamannya
bertingkat-tingkat sesuai dengan perkembangan kehidupan janin.”
Pada
usia empat puluh hari pertama tingkat keharamannya paling ringan,
bahkan kadang-kadang boleh digugurkan karena udzur yang muktabar
(akurat); dan setelah kandungan berusia di atas empat puluh hari maka
keharaman menggugurkannya semakin kuat, karena itu tidak boleh
digugurkan kecuali karena udzur yang lebih kuat lagi menurut ukuran yang
ditetapkan ahli fiqih. Keharaman itu bertambah kuat dan berlipat ganda
setelah kehamilan berusia seratus dua puluh hari, yang oleh hadits
diistilahkan telah memasuki tahap “peniupan ruh.”
Dalam hal ini
tidak diperbolehkan menggugurkannya kecuali dalam keadaan benar-benar
sangat darurat, dengan syarat kedaruratan yang pasti, bukan sekadar
persangkaan. Maka jika sudah pasti, sesuatu yang diperbolehkan karena
darurat itu harus diukur dengan kadar kedaruratannya.
Menurut
pendapat saya, kedaruratan disini hanya tampak dalam satu bentuk saja,
yaitu keberadaan janin apabila dibiarkan akan mengancam kehidupan si
ibu, karena ibu merupakan pangkal/asal kehidupan janin, sedangkan janin
sebagai fara’ (cabang). Maka tidak boleh mengorbankan yang asal (pokok)
demi kepentingan cabang. Logika ini disamping sesuai dengan syara’ juga
cocok dengan akhlak etika kedokteran, dan undang-undang.
Tetapi
ada juga di antara fuqaha yang menolak pendapat itu dan tidak
memperbolehkan tindak kejahatan (pengguguran) terhadap janin yang hidup
dengan alasan apa pun. Di dalam kitab-kitab mazhab Hanafi disebutkan:
“Bagi wanita hamil yang posisi anak di dalam perutnya melintang dan
tidak mungkin dikeluarkan kecuali dengan memotong-motongnya, yang
apabila tidak dilakukan tindakan seperti ini dikhawatirkan akan
menyebabkan kematian si ibu … mereka berpendapat, ‘Jika anak itu sudah
dalam keadaan meninggal, maka tidak terlarang memotongnya; tetapi jika
masih hidup maka tidak boleh memotongnya karena menghidupkan suatu jiwa
dengan membunuh jiwa lain tidak ada keterangannya dalam syara’.’”[15]
Meskipun demikian, dalam hal ini sebenarnya terdapat peraturan syara’,
yaitu memberlakukan mana yang lebih ringan mudaratnya dan lebih kecil
mafsadatnya.
Sementara itu, sebagian ulama masa kini membuat
gambaran lain dari kasus di atas, yaitu: “Adanya ketetapan secara ilmiah
yang menegaskan bahwa janin –sesuai dengan sunnah Allah Ta’ala– akan
menghadapi kondisi yang buruk dan membahayakan, yang akan menjadikan
tersiksanya kehidupannya dan keluarganya, sesuai dengan kaidah:
“Bahaya itu ditolak sedapat mungkin.” Tetapi hendaknya hal ini
ditetapkan oleh beberapa orang dokter, bukan cuma seorang. Pendapat yang
kuat menyebutkan bahwa janin setelah genap berusia empat bulan adalah
manusia hidup yang sempurna. Maka melakukan tindak kejahatan terhadapnya
sama dengan melakukan tindak kejahatan terhadap anak yang sudah
dilahirkan.
Adalah merupakan kasih sayang Allah bahwa janin yang
mengalami kondisi yang sangat buruk dan membahayakan biasanya tidak
bertahan hidup setelah dilahirkan, sebagaimana sering kita saksikan, dan
sebagaimana dinyatakan oleh para spesialisnya sendiri. Hanya saja para
dokter sering tidak tepat dalam menentukannya. Saya kemukakan di sini
suatu peristiwa yang saya terlibat didalamnya, yang terjadi beberapa
tahun silam. Yaitu ada seorang teman yang berdomisili di salah satu
negara Barat meminta fatwa kepada saya sehubungan para dokter telah
menetapkan bahwa janin yang dikandung istrinya –yang berusia lima bulan–
akan lahir dalam kondisi yang amat buruk. Ia menjelaskan bahwa pendapat
dokter-dokter itu hanya melalui dugaan yang kuat, tidak ditetapkan
secara meyakinkan. Maka jawaban saya kepadanya, hendaklah ia bertawakal
kepada Allah dan menyerahkan ketentuan urusan itu kepadaNya, barangkali
dugaan dokter itu tidak tepat. Tidak terasa beberapa bulan berikutnya
saya menerima sehelai kartu dari Eropa yang berisi foto seorang anak
yang molek yang disertai komentar oleh ayahnya yang berbunyi demikian:
“Pamanda yang terhormat,
Saya berterima kasih kepadamu sesudah bersyukur kepada Allah Ta’ala,
bahwa engkau telah menyelamatkanku (keluargaku) dari pisau para dokter
bedah. Fatwamu telah menjadi sebab kehidupanku, karena itu saya tidak
akan melupakan kebaikanmu ini selama saya masih hidup.”
Kemajuan
ilmu kedokteran sekarang telah mampu mendeteksi kerusakan (cacat) janin
sebelum berusia empat bulan sebelum mencapai tahap ditiupkannya ruh.
Namun demikian, tidaklah dipandang akurat jika dokter membuat dugaan
bahwa setelah lahir nanti si janin (anak) akan mengalami cacat –seperti
buta, tuli, bisu– dianggap sebagai sebab yang memperbolehkan
digugurkannya kandungan. Sebab cacat-cacat seperti itu merupakan
penyakit yang sudah dikenal di masyarakat luas sepanjang kehidupan
manusia dan disandang banyak orang, lagi pula tidak menghalangi mereka
untuk bersamasama orang lain memikul beban kehidupan ini. Bahkan manusia
banyak yang mengenal (melihat) kelebihan para penyandang cacat ini,
yang nama-nama mereka terukir dalam sejarah.
Selain itu, kita
tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa ilmu pengetahuan manusia dengan
segala kemampuan dan peralatannya akan dapat mengubah tabiat kehidupan
manusia yang diberlakukan Allah sebagai ujian dan cobaan:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya …” (QS. al-Insan: 2)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. al-Balad: 4)
Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi pada zaman kita sekarang
ini telah turut andil dalam memberikan pelajaran kepada orang-orang
cacat untuk meraih keberuntungan, sebagaimana keduanya telah turut andil
untuk memudahkan kehidupan mereka. Dan banyak di antara mereka
(orang-orang cacat) yang turut menempuh dan memikul beban kehidupan
seperti orang-orang yang normal. Lebih-lebih dengan sunnah-Nya Allah
mengganti mereka dengan beberapa karunia dan kemampuan lain yang luar
biasa. Allah berfirman dengan kebenaran, dan Dia-lah yang memberi
petunjuk ke jalan yang lurus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar