Senin, 25 Agustus 2014

Riya’ di Dunia Maya


“Alhamdulillah. Memulai hari ini dengan muraja’ah 2 juz setelah shalat subuh, disusul dengan 2 rakaat shalat sunnah syuruq, dan mari kita lanjut dengan menyedekahkan anggota tubuh kita dengan 2 rakaat shalat dhuha.” Tak jarang kita melihat update status dari beberapa akun di media sosial dengan kalimat seperti ilustrasi tersebut.
Tabiat manusia perlahan berubah seiring dengan majunya teknologi. Hadirnya media sosial di tengah-tengah masyarakat disusul dengan maraknya ponsel pintar, secara signifikan membantu kita dalam menjalankan aktivitas keseharian kita; mendengar radio dan musik, menonton televisi, berselancar internet, bahkan urusan transaksi jual-beli dapat dilakukan dalam satu genggaman. Tak terkecuali munculnya fenomena media sosial. Awal booming-nya media sosial terjadi sekitar satu dekade yang lalu, ketika situs jejaring sosial friendster yang berhasil mencuri perhatian para pengguna internet. Kemudian muncul jejaring sosial baru bernama facebook yang mengancam eksistensi friendster. Nama friendster pun semakin terperosok ketika bermunculan situs-situs media sosial baru. Twitter, hello, path, instagram, dan lainnya menyerbu dunia maya, serta merta mengakhiri riwayat friendster di dunia maya. Semua terjadi berkat karunia Allah berupa akal kepada manusia yang dapat melakukan inovasi-inovasi baru.
Indonesia yang notabene negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, adalah negara terbesar pengguna facebook di kawasan Asia Tenggara. Uniknya, walaupun koneksi internet di Indonesia terbilang lambat, namun pengguna facebook di Indonesia sudah menembus angka 50 juta. Sebagaimana hal apapun di dunia ini yang memiliki dua sisi, yakni positif dan negatif, pun halnya dengan media sosial yang ada sekarang. Jejaring sosial semodel facebook, twitter dan yang lainnya, dapat digunakan untuk berbagi artikel-artikel bermanfaat, video atau audio inspiratif, atau dimanfaatkan sebagai media dakwah. Singkatnya, media sosial dapat memberikan pahala tambahan bagi kita yang mengejar surga. Akan tetapi, jejaring sosial juga dapat menjerumuskan kita ke neraka, disebabkan pada hal yang kita lakukan di dunia maya.
Riya’, adalah hal yang paling mencolok dari berbagai kegiatan yang kita lakukan di media sosial. Sebab biasanya orang-orang yang memiliki akun media sosial memang menggunakannya untuk menampilkan apa yang mereka lakukan ke hadapan publik. Yang dimaksud riya’ adalah melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya. Termasuk ke dalam riya’ yaitu sum’ah, yakni melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang kita lakukan, sehinga diri dihujani dengan pujian dan ketenaran. Riya’ dan kawan-kawannya merupakan perbuatan dosa dan merupakan sifat orang-orang munafik. Ilustrasi yang ditampilkan sebagai pembuka tulisan ini dapat pula dikatakan dengan riya’.
Yang dimaksud riya’ adalah melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya. Termasuk ke dalam riya’ yaitu sum’ah, yakni melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang kita lakukan, sehinga pujian dan ketenaran pun datang tenar. Riya’ dan semua derivatnya merupakan perbuatan dosa dan merupakan sifat orang-orang munafik.
Riya’ ada dua jenis. Jenis yang pertama hukumnya syirik akbar (besar). Hal ini terjadi jika seseorang melakukan seluruh amalnya agar dilihat manusia, dan tidak sedikit pun mengharap keridhaan dari Allah. Orang dengan riya’ jenis ini bermaksud bisa bebas hidup di tengah-tengah kaum muslimin, menjaga darah dan hartanya. Inilah riya’ yang dimiliki oleh orang-orang munafik. Allah berfirman tentang keadaan mereka, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An Nisaa’:142).
Sedangkan jenis riya’ yang kedua adalah riya’ yang bisa menimpa orang yang beriman. Sikap riya’ ini terkadang muncul dalam sebagian amal. Seseorang beramal karena Allah dan juga diniatkan untuk selain Allah. Riya’ jenis seperti ini merupakan perbuatan syirik asghar (kecil).
Syarat paling utama suatu amalan diterima di sisi Allah adalah ikhlas. Tanpanya, amalan seorang muslim akan sia-sia bak debu tertiup angin. Setan tidak pernah lelah dalam usahanya memalingkan manusia agar menjauhkan mereka dari keikhlasan. Salah satunya ialah melalui pintu riya’ yang banyak tidak disadari kaum muslimin. Dengan dalih berbagi inspirasi kepada sesama, seseorang dengan mudahnya terjebak dalam riya’. Memasang foto profil sedang membaca Al-Quran, update status tentang amalan keseharian pribadi, sampai kepada hal-hal seharusnya tidak disebarkan ke publik, tanpa disadari membuat amalan seorang muslim menjadi sia-sia belaka. Ini bukan sedang mencela salah satu pihak, namun ini adalah PR bagi kaum muslimin yang aktif di media sosial, agar setiap amalan yang telah dilakukannya tidak sia-sia atau parahnya justru berujung dosa.
Biarlah ibadah yang kita laksanakan setiap waktu menjadi catatan amalan pribadi kita. Evaluasi diri bukanlah memajangnya di hadapan publik untuk kemudian mendapat komentar-komentar yang beragam dari orang lain. Tidakkah cukup curahan hati kita kepada Yang Maha Kuasa serta curahan hati kita kepada orang-orang yang kita sayangi? Relakah kita, apabila kita telah berlelah-lelah beribadah, tetapi tidak dinilai ibadah oleh Allah, bahkan dicap dosa oleh-Nya? Tutuplah kebaikan diri kita, sebagaimana kita menutup aib-aib kita di hadapan orang lain. Hal ini adalah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berabad-abad silam. Beliau bersabda, “Sesuatu yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah perbuatan syirik asghar. Ketika beliau ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab: ‘(contohnya) adalah riya’.” (HR. Ahmad).
Gunakanlah media sosial yang ada dengan sebaik-baiknya. Senantiasa perbaiki niat agar jangan terjerumus ke dalam jurang riya’, yang dapat menghapus amalan-amalan yang telah kita lakukan. Niatkan hati kita aktif di media sosial untuk memberi manfaat kepada yang lain, dengan saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang. Bukan dengan menghina kekurangan ibadah orang lain, atau memamerkan ibadah-ibadah kita. Semoga kita terbebas dari sifat riya’ dan munafik.

Oleh : Zaky Ahmad Rivai / dakwatuna
Pembelajar di Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Karyawan Allah, berkarya bersama KAMMI UIN Sunan Kalijaga. Penulis buku "Jangan Berdakwah! Nanti Masuk Surga" follow @zakyZR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar