Biografi Imam Abu Hanifah ini merupakan satu dari
serial biografi emapt Imam Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang
madzhabnya tersebar di seluruh dunia Islam. Mereka merupakan mujtahid
dan ulama besar yang diikuti oleh umat Islam hingga saat ini.
Insya
Allah setelah biografi Imam Abu Hanifah akan kami tayangkan pula Imam
madzhab lainnya dari empat Imam madzhab. Marilah kita pelajari dan kita
kenali siapa Imam Abu Hanifa.
1. Nama dan Nasab
Imam Adz-Dzahabi berkata, “Dia seorang Imam,
faqihul millah (ahli fiqihnya
millah ini),
ulamanya Iraq, Abu Hanifah Nu’man bin tsabit bin Zautha, At-Taimi,
Al-Kufi, Maula Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. Disebutkan juga bahwa
beliau keturunan Persia.” (
Siyar A’lamin Nubala, 6/390)
Syaikh
At-Taqi Al-Ghazi berkata, “Dialah imamnya para imam, penerang bagi
umat, lautan ilmu dan keutamaan, ulamanya Iraq, ahli fiqih dunia
seluruhnya, orang setelahnya menjadi lemah di hadapannya, dan yang
semasanya, belum pernah mata melihat yang semisalnya, belum ada seorang
mujtahid mencapai derajat seperti kesempurnaan dan keutamaannya.” (
Ath-Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 24)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha –dengan huruf
zay yang didhammahkan dan
tha difathahkan- inilah yang
masyhur. Ibnu Asy-Syahnah menukil dari gurunya Majduddin Al-Fairuzzabadi dalam
Thabaqat Al-Hanafiyah: bahwa huruf
zay difathahkan dan
tha juga difathahkan (jadi bacanya
Zautha), sebagaimana
Sakra. Dahulu Zautha adalah seorang raja dari Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. (
Ibid)
Syaikh
At-Taqi Al-Ghazi juga berkata, “Terjadi perselisihan pendapat tentang
asal daerahnya, ada yang mengatakan dari Kaabil, ada pula yang menyebut
Baabil, ada yang menyebut Nasaa, ada yang mengatakan Tirmidz, ada juga
yang menyebut Al-Anbar, dan lainnya.
Sirajuddin Al-Hindi
menyebutkan bahwa cara kompromis dari semua riwayat ini adalah bahwa
kakek beliau berasal dari Kaabil, lalu pindah ke Nasaa, lalu ke Tirmidz,
atau ayahnya dilahirkan di Baabil, lalu dia dibesarkan di Al-Anbar, dan
seterusnya. Ibnu Asy-Syahnah mengatakan bahwa kompromis seperti ini
sebenarnya berasal dari Khathib Khawarizmi. Lalu dia mengatakan:
sebagaimana
Abu Al-Ma’ali Al-Fadhl bin Sahl Al-Isfirayini,
karena ayahnya berasal dari Isfirayin, dan dia dilahirkan di Mesir,
besar di Halab, lalu mukim di Baghdad, dan wafat di sana, sehingga
disebutkan untuk dia:
Al-Mishri, Al-Halabi, dan
Al-Baghdadi.” (
Ibid. Lihat juga Al-Qadhi Abu Abdillah Husein bin Ali Ash-Shimari,
Akhbar Abi Hanifah, Hal. 15-16)
Dia dinamakan
Hanifah karena sering membawa tinta, yang di Iraq dikenal dengan sebutan
Hanifah. Beliau juga dijuluki
Imamul A’zham, dan telah banyak kitab para ulama yang menyebutnya demikian, seperti kitab
Manaqib Imam Al-A’zham Abi Hanifah, Al-Khairat Al-Hissan fi Manaqib Al-Imam Al-A’zham Abi Hanifah An-Nu’man, dan lainnya.
Ada sebagian orang yang menolak, bahwa Imam Abu Hanifah dijuluki
Imamul A’zham oleh para ulama, dengan alasan karena
Imamul A’zham adalah sebutan untuk khalifah, dan karena Imam Abu Hanifah bukan khalifah, maka dia bukan
Imamul A’zham. Jelas bahwa itu adalah penolakan yang mengada-ada dan sangat ceroboh, sebab sebutan
Imamul A’zham pada kenyataan sejarah bukan hanya untuk
khalifah, bahkan selain Imam Abu Hanifah pun para ulama juga juga menyebut Imam Asy-Syafi’i dengan
Imamul A’zham. Imam Abul Fadhl Fakhrurrazi menyusun sebuah kitab berjudul
Manaqib Al-Imam Al-A’zham Asy-Syafi’i. (Lihat
Akhbar Ulama bi Akhbaril Hukama, Hal. 124. Mawqi’ Al-Warraq)
2. Kelahirannya
Beliau
dilahirkan tahun 80 Hijriyah, ada juga yang menyebut 61 Hijriyah
seperti dikatakan Muzahim bin Daud bin ‘Uliyah, tetapi yang shahih dan
masyhur adalah 80 Hijriyah. Telah dikatakan oleh anaknya sendiri yakni
Hammad, lalu Abu Nu’aim, bahwa Beliau dilahirkan tahun 80 Hijriyah. (
Thabaqat As Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 25.
Akhbar Abi Hanifah, Hal. 16-17)
Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Lahir tahun 80 hijriyah, pada masa
shigharush shahabah (sahabat nabi yang junior), dan sempat melihat Anas bin Malik ketika Anas datang ke kota Kufah.” (
Siyar A’lamin Nubala, 6/391)
Imam
Abu Hanifah sempat berjumpa dengan beberapa sahabat nabi, yakni
Abdullah bin Al-Haarits dan Beliau mengambil hadits darinya, Abdullah
bin Abi ‘Aufa, dan Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah. Beliau berjumpa
dengan Anas bin Malik tahun 95 Hijriyah, dan meriwayatkan hadits
darinya, serta bertanya kepadanya tentang sujud sahwi. (
Akhbar Abi Hanifah, Hal. 18-19)
Bahkan Ismail, cucu dari Imam Abu Hanifah, menceritakan:
ولد جدي
في سنة ثمانين، وذهب ثابت إلى علي وهو صغير، فدعا له بالبركة فيه و في
ذريته، ونحن نرجو من الله أن يكون استجاب ذلك لعلي رضي الله عنه فينا.
Kakekku
dilahirkan tahun 80 Hijriyah, dan Tsabit (ayah Abu Hanifah) pergi
mendatangi Ali bin Abi Thalib, saat itu dia masih kecil, lalu Ali
mendoakannya dengan keberkahan untuknya dan keturunannya, dan kami
mengharapkan kepada Allah agar mengabulkan hal itu, karena doa Ali
Radhiallahu ‘Anhu pada kami. (
Siyar A’lamin Nubala, 6/395)
3. Sifat-Sifat dan Penampilan
Imam
Abu Nu’aim menceritakan bahwa Imam Abu Hanifah berparas tampan,
jenggotnya rapi, pakaiannya bagus, sendalnya bagus, dan dermawan bagi
orang di sekelilingnya. (
Akhbar Abi Hanifah, Hal. 16)
Imam Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
ما كان أوقر مجلس أبي حنيفة كان يتشبه الفقهاء به وكان حسن السمت حسن الوجه حسن الثوب
Tidak
ada yang seberwibawa majelisnya Abu Hanifah, dahulu para ahli fiqih
menirunya, dia berperilaku baik, wajahnya bagus, dan pakaiannya bagus. (
Ibid, Hal. 17)
Beliau adalah penenun sutera, dan menjualnya, dia memiliki toko yang terkenal di rumahnya Amru bin Huraits. (
Siyar A’lamin Nubala, 6/394)
Salah seorang kawan dan muridnya, Imam Abu Yusuf bercerita:
كان أبو حنيفة رحمه الله ربعة من الرجال ليس بالقصير ولا بالطويل وكان أحسن الناس منطقا وأحلاهم نغمة وأبينهم عما يريد
Abu Hanifah
Rahimahullah laki-laki
yang berperawakan ideal, tidak pendek, dan tidak tinggi. Dia adalah
manusia yang paling bagus tutur katanya, dan paling bagus suaranya
ketika bersenandung, dan paling bisa menerangkan kepada orang lain apa
yang diinginkannya. (
Akhbar Abi Hanifah, Hal. 17,
Siyar A’lamin Nubala, 6/399)
Dalam
Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Imam Ibnu Muflih berkata:
قَالَ صَاحِبُ
الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ
اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ
وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ
هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ
“Berkata pengarang
Al-Muhith dari kalangan Hanafiyah, dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah
Rahimahullah memakai
mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai
tanah. Maka ada yang berkata kepadanya, “Bukankah kita dilarang
melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab,
“Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu Muflih,
Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mawqi’ Al-Islam)
Kisah ini menjadi petunjuk bahwa Imam Abu Hanifah merupakan salah satu imam yang membolehkan
Isbal (menjulurkan pakaian hingga melebihi mata kaki), kecuali jika dibarengi dengan sombong (
khuyala’).
4. Kemampuan dalam ilmu hadits
Imam Adz-Dzahabi
Rahimahullah bercerita:
وقال صالح بن محمد: سمعت
يحيى بن معين يقول: كان أبو حنيفة ثقة في الحديث، وروى أحمد بن محمد بن
القاسم بن محرز، عن ابن معين: كان أبو حنيفة لا بأس به. وقال مرة: هو عندنا
من أهل الصدق، ولم يتهم بالكذب.
Shalih bin Muhammad berkata: Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang
tsiqah (terpercaya) dalam hadits.” Ahmad bin Muhammad bin Al-Qasim bin Mihraz meriwayatkan dari Ibnu Ma’in, “Abu Hanifah
laa ba’sa bihi (tidak apa-apa).” Dia berkata lagi, “Bagi kami dia adalah
ahlus sidhqi (orang yang jujur), dan tidak dituduh sebagai pendusta.” (
Siyar A’lamin Nubala, 6/395)
Namun,
sebagian ulama ada yang mendhaifkannya dari sisi hafalannya, seperti
Imam An-Nasa’i, Imam Ibnu ‘Adi, dan lainnya. Imam Adz-Dzahabi sendiri
menyebutnya sebagai
Imam Ahl Ar Ra’yi. (Imamnya para pengguna rasio). (
Mizanul I’tidal, 4/265)
Pendhaifan
yang dilakukan oleh Imam An-Nasa’i dan Imam Ibnu ‘Adi terhadap diri
Imam Abu Hanifah, telah dikoreksi para ulama. Cukuplah bagi kita pujian
yang datangnya dari manusia yang hidup sezaman dengannya, dan pernah
bertemu dengannya pula, seperti Imam Abdullah bin Mubarak, Imam Malik,
Imam Ali bin Al-Madini, Imam Yahya bin Adam, Imam Al-Hasan bin Shalih,
dan lainnya, dibandingkan kritikan dari Imam An-Nasa’i dan Imam Ibnu
‘Adi yang hidupnya satu sampai dua abad setelah Imam Abu Hanifah.
Ahlur Ra’yi adalah orang yang lebih dominan menggunakan
ra’yu (pendapat-
aql), dibanding
atsar (
naql).
Oleh karenanya sebagian orang menuduh Imam Abu Hanifah hanya sedikit
menggunakan hadits, dibanding akalnya sendiri. Ada yang menyebut bahwa
Beliau hanya menggunakan hadits sebanyak tujuh belas saja!
Namun
hal ini disanggah oleh para ulama yang mengkaji kehidupan Beliau secara
objektif. Seperti Imam Ibnu Khaldun misalnya dalam kitab
Muqaddimah.
Menurutnya, sedikitnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hanifah
bukan karena Beliau menolak hadits, tetapi lebih disebabkan karena
kehati-hatian dan ketatnya syarat-syarat hadits shahih yang
ditetapkannya, berbeda dengan imam lainnya yang lebih longgar. Bagaimana
mungkin Beliau tidak menggunakan hadits, padahal Beliau telah menjadi
imamnya para imam, fuqaha, dan ahli hadits, sehingga Beliau menjadi
muassis (peletak dasar) madzhab
Hanafi.
Sebutlah para fuqaha hanafi, seperti: Imam Muhammad bin Hasan, Al-Qadhi
Abu Yusuf, Imam Kamaluddin bin Al-Hummam, Imam Ibnu ‘Abidin, dan
lainnya. Juga para imam ahli hadits, seperti Imam Abu Ja’far Ath
Thahawi, Imam Az Zaila’i, Imam Al-Marghinani, dan lainnya.
Ditambah
lagi, beliau menyusun ilmu pengetahuan dari madrasah ilmiah di Kufah,
yang sejak awalnya sudah difondasikan oleh salah satu sahabat nabi,
Abdullah bin Mas’ud
Radhiallahu ‘Anhu, yang memadukan hadits
dan fiqih sekaligus. Dari madrasah ilmiah ini lahirlah para imam
tabi’in, seperti Ibrahim An-Nakha’i, Hammad bin Abi Sulaiman, dan Imam
Abu Hanifah salah satunya di generasi setelah mereka.
Oleh karenanya, tepat apa yang dikatakan oleh Imam Yahya bin Ma’in tentang beliau:
كَانَ أَبُو حَنِيْفَةَ ثِقَةً، لاَ يُحَدِّثُ بِالحَدِيْثِ إِلاَّ بِمَا يَحْفَظُه، وَلاَ يُحَدِّثُ بِمَا لاَ يَحْفَظُ
Abu Hanifah adalah
tsiqah,
dia tidak akan berbicara dengan hadits kecuali dengan yang dihafalnya,
dan tidak akan berbicara dengan yang tidak dihafalnya. (
Tarjamah Al-Aimmah Al-Arba’ah, Hal. 9)
Imam Ibnu Khaldun
Rahimahullah berkata:
والامام أبوحنيفة إنما قلت روايته لما شدد في شروط الرواية والتحمل، وضعف رواية الحديث اليقيني إذا عارضها الفعل النفسي. وقلت
من أجلها روايته فقل حديثه. لا أنه ترك رواية الحديث متعمدا، فحاشاه من
ذلك. ويدل على أنه من كبإر المجتهدين في علم الحديث اعتماد مذهبه بينهم،
والتعويل عليه واعتباره رداً وقبولا. واما غيره من المحدثين وهم الجمهور،
فتوسعوا في الشروط وكثر حديثهم، والكل عن اجتهاد. وقد توسع اصحابه من بعده
في الشروط وكثرت روايتهم.
وروى الطحاوي
فاكثر وكتب مسنده، وهو جليل القدر إلا أنه لا يعدل الصحيحين، لأن الشروط
التي اعتمدها البخاري ومسلم في كتابيهما مجمع عليها بين الأمة كما قالوه. وشروط الطحاوي في غير متفق عليها، كالرواية عن المستور الحال وغيره
Imam
Abu Hanifah sedikit riwayat haditsnya sebab Beliau sangat ketat dalam
menetapkan syarat-syarat riwayat dan penakwilannya, Beliau mendhaifkan
hadits jika hadits tersebut dinilai bertentangan dengan nalar secara
meyakinkan. Maka dari itu Beliau telah mempersulit dirinya sendiri, dan
sedikitnya riwayat hadits darinya adalah karena hal itu. Bukan karena
Beliau sengaja meninggalkan hadits, sungguh Beliau jauh dari sikap itu.
Hal
yang membuktikan bahwa Beliau seorang mujtahid besar dalam hadits
adalah bahwa para ulama telah menyandarkan diri mereka kepada madzhabnya
dan telah memberikan kepercayaan kepadanya.
Sedangkan para ahli hadits yang lain, yaitu
jumhur (mayoritas),
lebih longgar dalam menetapkan syarat-syaratnya. Sehingga hadits mereka
banyak dan lapang dalam berijtihad. Namun demikian, para pengikut Abu
Hanifah lebih longgar dalam menetapkan syarat-syarat periwayatan,
sehingga hadits mereka juga banyak.
Ath-Thahawi meriwayatkan paling banyak dan menulis
Musnadnya, yaitu kitab
Jalilul Qadr. Tetapi belum sebanding dengan
Shahihain (Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim). Sebab syarat-syarat yang ditetapkan oleh
Al-Bukhari dan Muslim telah disepakati umat, sebagaimana yang mereka
katakan, sedangkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Ath-Thahawi belum
disepakati mereka. Seperti riwayat yang datangnya dari orang yang masih
tersembunyi keadaaanya dan lain-lainnya. (Imam Ibnu Khaldun,
Muqaddimah, Hal. 255. Mawqi’ Al-Warraq)
5. Kesungguhannya memegang sunah nabi
Disebutkan dalam
Siyar Alamin Nubala:
وعن أبي معاوية الضرير قال: حب أبي حنيفة من السنة
Dari Abu Mu’awiyah Adh-Dharir, katanya, “Abu Hanifah sangat berkomitmen dengan sunah nabi.” (Imam Adz-Dzahabi,
Siyar Alamin Nubala, 3/401)
Imam Abu Hanifah berkata:
ما جاء عن الرسول صلى الله عليه وسلم، فعلى الرأس والعين، وما جاء عن الصحابة اخترنا، وما كان من غير ذلك، فهم رجال ونحن رجال.
Apa-apa yang datang dari Rasul
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wajib
bagi mata dan kepala untuk mengikutinya, dan yang datang dari para
sahabat maka kami akan memilihnya, dan yang datang dari selain mereka,
maka mereka laki-laki kami pun laki-laki. (
Ibid)
Maksudnya
jika sebuah permasalahan terhenti pada pendapat tabi’in, tidak ada
hadits, tidak pula perkataan sahabat, yang ada adalah perkataan setelah
mereka yakni tabi’in, maka Beliau akan berijtihad sebab Beliau juga
laki-laki yang memiliki kemampuan sebagaimana mereka.
6. Akhlak dan Ibadahnya
Asad bin Amru berkata:
أن أبا حنيفة، رحمه الله، صلى العشاء والصبح بوضوء أربعين سنة
Bahwa Abu Hanifah
Rahimahullah melakukan shalat isya dan subuh dengan sekali wudhu selama 40 tahun. (
Ibid, 6/399)
Al-Qadhi Abu Yusuf menceritakan:
بينما أنا أمشي مع أبي حنيفة، إذ سمعت رجلا يقول لآخر: هذا أبو حنيفة لا ينام الليل. فقال أبو حنيفة: والله لا يتحدث عني بما لم أفعل. فكان يحيى الليل صلاة وتضرعا ودعاء.
Ketika
saya sedang berjalan bersama Abu Hanifah, saya mendengar seseorang
berkata kepada yang lain, “Inilah Abu Hanifah, dia tidak pernah tidur
malam.” Lalu Abu Hanifah berkata, “Demi Allah, Dia tidak membicarakan
tentang aku dengan apa-apa yang aku tidak pernah lakukan.” Maka Beliau
senantiasa menghidupkan malam dengan penuh kerendahan dan banyak
berdoa. (
Ibid)
Imam Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
ما رأيت رجلا أوقر في مجلسه، ولا أحسن سمتا وحلما من أبي حنيفة
Saya
belum pernah melihat seorang laki-laki yang lebih berwibawa di
majelisnya, dan tidak ada yang lebih bagus diam dan sabarnya dibanding
Abu Hanifah. (
Ibid, 6/400)
Al-Mutsanna bin Raja’ berkata:
جعل أبو حنيفة على نفسه، إن حلف بالله صادقا، أن يتصدق بدينار. وكان إذا أنفق على عياله نفقة تصدق بمثلها.
Abu
Hanifah telah bersumpah kepada Allah dengan sebenar-benarnya bahwa dia
akan bersedekah dengan dinar, yaitu jika dia telah membelanjakan
sejumlah uangnya untuk keluarganya, maka dia akan menyedekahkan uang
sebanyak itu pula. (
Ibid)
Imam Adz-Dzahabi menyebutkan berbagai pujian ulama tentang akhlaq dan ibadahnya Imam Abu Hanifah:
وعن شريك قال: كان
أبو حنيفة طويل الصمت، كثير العقل. وقال أبو عاصم النبيل: كان أبو حنيفة
يسمى الوتد لكثرة صلاته. وروى بن إسحاق السمرقندي، عن القاضي أبي يوسف قال:
كان أبو حنيفة يختم القرآن كل ليلة في ركعة. يحيى بن عبدالحميد الحماني،
عن أبيه أنه صحب أبا حنيفة ستة أشهر، قال: فما رأيته صلى الغداة إلا بوضوء
عشاء الآخرة، وكان يختم كل ليلة عند السحر.
Dari
Syarik, dia berkata, “Imam Abu Hanifah lama diamnya dan banyak akalnya
(cerdas).” Berkata Abu ‘Ashim An-Nail, “Abu Hanifah juga dinamakan
Al-Watid karena
banyak shalatnya.” Ibnu Ishaq As Samarqandi meriwayatkan dari Al-Qadhi
Abu Yusuf, “Abu Hanifah mengkhatamkan Al-Quran setiap malam dalam satu
rakaat.” Yahya bin Abdul Hamid Al-Himani, dari ayahnya bahwa Dia
menemani Abu hanifah selama enam bulan, dia berkata, “Aku belum pernah
melihatnya shalat subuh melainkan dengan wudhu shalat Isya, dan dia
senantiasa mengkhatamkan Al-Quran setiap malam pada waktu sahur. (
Ibid)
Diriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah telah mengkhatamkan Al-Quran 7000 kali. (
Ibid)
Imam Adz-Dzahabi juga menceritakan:
عن القاسم بن معن، أن أبا حنيفة قام ليلة يردد قوله تعالى: (بل الساعة موعدهم والساعة أدهى وأمر) [ القمر: 46 ] ويبكي ويتضرع إلى الفجر.
Dari Al-Qasim bin Mu’in, bahwa Imam Abu Hanifah bangun untuk shalat malam dan mengulang-ulang firman Allah Taala: (
sebenarnya hari kiamat Itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit. (Al-Qamar: 46), lalu Beliau menangis dan tertunduk hingga fajar. (
Ibid, 6/401)
Yazid bin Harun berkata:
ما رأيت أحدا أحلم من أبي حنيفة.
Saya belum pernah melihat seorang pun yang lebih penyabar dibanding Abu Hanifah. (
Ibid)
7. Sanjungan ulama terhadap ilmu dan kecerdasannya
Hayyan bin Musa Al-Marwadzi berkata:
سئل ابن المبارك: مالك أفقه، أو أبو حنيفة ؟ قال: أبو حنيفة.
Ibnul Mubarak ditanya, “Mana yang lebih paham tentang fiqih, Malik atau Abu Hanifah? Beliau berkata: Abu Hanifah.” (
Ibid, 6/402)
Imam Yahya Al-Qaththan berkata:
لا نكذب الله، ما سمعنا أحسن من رأي أبي حنيفة، وقد أخذنا بأكثر أقواله
Kami
tidak membohongi Allah, kami belum pernah mendengar pendapat yang lebih
baik dibanding pendapat Abu Hanifah, dan kami telah mengambil lebih
banyak dari pendapatnya. (
Ibid)
Disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi:
وقال علي بن عاصم: لو وزن علم الامام أبي حنيفة بعلم أهل زمانه، لرجح عليهم.
وقال حفص بن غياث: كلام أبي حنيفة في الفقه، أدق من الشعر، لا يعيبه إلا جاهل.
وقال جرير: قال لي مغيرة: جالس أبا حنيفة تفقه، فإن إبراهيم النخعي لو كان حيا لجالسه.
وقال ابن المبارك: أبو حنيفة أفقه الناس. وقال الشافعي: الناس في الفقه عيال على أبي حنيفة
Berkata
Ali bin ‘Ashim, “Seandainya ditimbang ilmu Imam Abu Hanifah dengan ilmu
manusia yang hidup pada zamannya, niscaya ilmunya lebih berat dibanding
mereka.”
Berkata Hafsh bin Ghiyats, “Perkataan Abu Hanifah dalam
fiqih, lebih dalam dibanding syair, dan tidak ada yang meng-’aibkan
dirinya melainkan orang bodoh.”
Jarir berkata: Mughirah berkata
kepadaku, “Duduklah bersama Abu Hanifah niscaya kau akan mengerti,
sungguh seandainya Ibrahim An-Nakha’i hidup niscaya dia (Ibrahim) akan
duduk di hadapannya (untuk belajar).”
Ibnul Mubarak berkata, “Abu Hanifah adalah manusia paling paham tentang fiqih.”
Asy-Syafi’i berkata, “Dalam fiqih, manusia (para ulama) adalah satu keluarga dengan Abu Hanifah.” (
Ibid, 6/403)
Imam Asy-Syafi’i berkata:
قيل لمالك: هل رأيت أبا حنيفة ؟ قال: نعم. رأيت رجلا لو كلمك في هذه السارية أن يجعلها ذهبا لقام بحجته.
Ditanyakan
kepada Imam Malik, “Apakah engkau pernah melihat Imam Abu Hanifah?
Beliau berkata, “Ya, aku melihat seorang laki-laki yang jika dia
mengatakan kepadamu bahwa dia ingin menjadikan tiang ini emas, maka itu
akan terjadi karena hujjah yang dimilikinya.” (
Ibid, 6/399)
Imam Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
لولا أن الله أعانني بأبي حنيفة وسفيان، كنت كسائر الناس.
Kalau
bukan pertolongan Allah kepadaku melalui Abu Hanifah dan Sufyan
Ats-Tsauri, niscaya aku sama saja dengan kebanyakan manusia (awam). (
Ibid, 6/398)
Beliau juga berkata:
إن كان
الأثر قد عرف واحتيج إلى الرأي فرأي مالك وسفيان وأبي حنيفة وأبو حنيفة
أحسنهم وأدقهم فطنة وأغوصهم على الفقه وهو أفقه الثلاثة
Walau pun
atsar sudah
diketahui, berhujahlah dengan pendapat juga yaitu pendapat Malik,
Sufyan, dan Abu Hanifah. Pendapat Abu Hanifah adalah terbaik diantara
mereka, lebih detail kecerdasannya, lebih dalam fiqihnya, dan dia lebih
faqih di antara bertiga itu. (
Akhbar Abi Hanifah, hal. 84)
Muhammad
bin Bisyr berkata: Aku pernah bergantian mengunjungi Sufyan Ats-Tsauri
dan Abu Hanifah. Ketika aku mendatangi Abu Hanifah dia bertanya, “Dari
mana kamu?” Aku jawab, “Aku datang dari sisi Sufyan Ats Tsauri.” Abu
Hanifah menjawab, “Engkau datang dari sisi seorang laki-laki yang
seandainya ‘Alqamah dan Al-Aswad melihat semisal orang itu (maksudnya
Sufyan), maka mereka berdua akan berhujjah dengannya.” Lalu aku
mendatangi Sufyan Ats-Tsauri, dia bertanya, “Dari mana kamu?” Aku jawab,
“Aku datang dari sisi Abu Hanifah.” Sufyan menjawab, “Engkau datang
dari sisi seorang yang paling faqih di antara penduduk bumi.” (
Tarikh Baghdad, 15/459)
Syadad bin Hakim berkata:
ما رأيت أعلم من أبي حنيفة
Aku belum pernah melihat orang yang lebih berilmu dibanding Abu Hanifah. (
Ath-Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 29)
Abdullah bin Daud pernah berkomentar tentang orang yang suka menggunjingkan Imam Abu Hanifah:
لايتكلم فِي أبي حنيفَة إِلَّا أحد رجلَيْنِ إِمَّا حَاسِد لعلمه وَإِمَّا جَاهِل بِالْعلمِ
Tidak
ada yang menggunjingkan Abu Hanifah melainkan satu di antara dua
laki-laki: orang yang dengki terhadap ilmunya, dan orang yang bodoh
terhadap keilmuannya. (Imam Al-Husein bin Ali bin Muhammad Al-Hanafi,
Akhbar Abi Hanifah, Hal. 64)
Bisyar bin Qirath menceritakan tentang kedudukan Imam Abu Hanifah dan Imam Sufyan Ats-Tsauri:
حججْت مَعَ
أبي حنيفَة وسُفْيَان فَكَانَا إِذا نزلا منزلا أَو بَلْدَة اجْتمع
عَلَيْهِمَا النَّاس وَقَالُوا فَقِيها الْعرَاق فَكَانَ سُفْيَان يقدم
أَبَا حنيفَة وَيَمْشي خَلفه وَإِذا سُئِلَ عَن مَسْأَلَة وأبوحنيفة حَاضر
لم يجب حَتَّى يكون أَبُو حنيفَة هُوَ الَّذِي يُجيب
Aku
haji bersama Abu Hanifah dan Sufyan, jika mereka berdua berhenti di
sebuah tempat atau negeri manusia berkumpul mengelilingi mereka, mereka
bilang, “Ahli Fiqihnya Irak (maksudnya Abu Hanifah).” Sufyan lebih
mendahulukan Abu Hanifah, dia berjalan di belakangnya dan jika dia
ditanya sebuah masalah dan hadir di situ Abu Hanifah, dia tidak akan
menjawabnya sampai Abu Hanifah-lah yang menjawabnya. (
Ibid, Hal. 73)
8. Kata-kata hikmah dari Imam Abu Hanifah
Banyak kata-kata hikmah yang disandarkan sebagai ucapannya, di antaranya:
إذا ثبت الحديث فهو مذهبي واتركوا قولي بقول رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Jika
ada hadits yang kuat, maka hadits itu adalah pendapatku, dan
tinggalkanlah perkataanku dan gantilah dengan perkataan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Syaikh Abdul Hay bin Fakhruddin Al-Hasani Ath-Thaalibi,
Nuz-hah Al-Khawaathir, 6/707)
Dalam keterangan lain, ada beberapa kata-kata hikmah yang juga disandarkan kepada beliau:
لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه. وقال:
حرام على من لم يعرف دليلي أن يفتي بكلامي؛ فإننا بشر نقول القول اليوم
ونرجع عنه غدا . وكذلك قال: إذا قلت قولا يخالف كتاب الله تعالى وخبر
الرسول فاتركوا قولي
“Tidak halal bagi seorang pun yang mengambil pendapat kami selama dia belum tahu dari mana kami mengambil pendapat kami itu.”
Beliau
juga berkata, “Haram atas siapa pun yang tidak mengetahui dalilku lalu
dia berfatwa dengan fatwaku, karena kami juga manusia yang bisa
berpendapat pada hari ini lalu kami meralatnya esok hari.”
Beliau
juga berkata, “Jika pendapatku bertentangan dengan Kitabullah dan Sunah
Rasulullah, maka tinggalkanlah pendapatku.” (Syaikh Mas’ud An-Nadwi,
Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum wa Muftara ‘Alaih, Hal. 55. Cat kaki No. 2)
9. Kehebatan dalam berdebat
Ada
peristiwa unik dan mengagumkan tentang Imam Abu Hanifah dalam hal ini,
sebagaimana diceritakan Imam Adz-Dzahabi. Khalifah Al-Manshur hendak
menjadikannya sebagai seorang pejabat tinggi, yaitu sebagai
Qadhi (semacam hakim agung saat itu). Raja memaksanya, namun Imam Abu Hanifah menolaknya.
Mughits
bin Budail bercerita, bahwa Al-Manshur memanggil Imam Abu Hanifah untuk
dijadikan sebagai Qadhi (hakim agung), maka terjadilah dialog:
فَقَالَ: أَتَرغَبُ عَمَّا نَحْنُ فِيْهِ؟, فَقَالَ: لاَ أَصْلُحُ. قَالَ: كَذَبتَ.
Berkata Khalifah, “Maukah kamu menduduki jabatan yang sekarang dibebankan kepadaku?”
Imam Abu Hanifah menjawab, “Saya tidak layak.”
Khalifah menimpali, “Bohong kamu!”
Lalu
di antara jawaban Abu Hanifah yang membuat Khalifah tidak bisa
berkata-kata, dan menunjukkan kehebatan Abu Hanifah dalam berdebat dan
ilmu logika, seperti yang diriwayatkan oleh Ar-Raabi’ Al-Haajib berikut
ini:
قَالَ أَبُو حَنِيْفَةَ: وَاللهِ مَا أَنَا بِمَأْمُوْنِ الرِّضَى، فَكَيْفَ أَكُوْنُ مَأْمُوْنَ الغَضَبِ، فَلاَ أَصلُحُ لِذَلِكَ.
قَالَ المَنْصُوْرُ: كَذَبتَ، بَلْ تَصلُحُ.
فَقَالَ: كَيْفَ يَحِلُّ أَنْ تُوَلِّيَ مَنْ يَكْذِبُ
Abu
Hanifah menjawab, “Demi Allah, jika dalam keadaan senang saja aku tidak
amanah, maka bagaimana bisa amanah jika aku sedang marah? Pokoknya aku
tidak layak!”
Al-Manshur berkata, “Kamu bohong!”
Abu Hanifah menjawab lagi, “Kalau begitu, bagaimana bisa Anda menjadikan seorang pembohong sebagai hakim?” (
Siyar A’lamin Nubala, 6/402)
Ya, kalau memang sudah tahu aku ini pembohong
kok masih diangkat juga sebagai hakim? Inilah jawaban Abu Hanifah untuk mengelak menjadi seorang pejabat negara.
10. Wafatnya
Beliau
meninggal di Baghdad, pada usia 70 tahun ( bulan Rajab atau Sya’ban
tahun 150H), meninggalkan seorang anak bernama Hammad. Wafatnya
disebabkan diberikan minuman beracun secara paksa, dan peristiwa
tersebut terjadi di hadapan Khalifah Al-Manshur. Bisyr bin Al-Waalid
mengatakan, “Abu Hanifah wafat di penjara dan dikuburkan di pekuburan
Al-Khaiziran. Ya’qub bin Syaibah mengatakan, “Aku dikabarkan bahwa Beliau wafat dalam keadaan sujud.”
Ketika
dikuburkan masih banyak orang menshalatkan di kuburnya termasuk
Khalifah Al-Manshur, hingga sampai 20 hari masih banyak yang
menshalatkannya. Ini menunjukkan keagungan Imam Abu Hanifah di sisi
manusia saat itu.
Pada malam ketiga setelah Beliau dikuburkan, ada sebuah suara yang bersyair:
ذهب الْفِقْه فَلَا فقه لكم … فَاتَّقُوا الله وَكُونُوا خلفا مَاتَ نعْمَان فَمن هَذَا الَّذِي … يحيى اللَّيْل إِذا مَا سجفا
Telah pergi fiqih maka tidak ada lagi fiqih bagi kalian …
Takutlah kalian kepada Allah dan jadilah pengikut di belakang Nu’man setelah wafatnya …
Lalu siapakah orangnya yang menghidupkan malam ketika tabir telah diturunkan? (
Akhbar Abi Hanifah, Hal. 94)
Sumber: Farid Nu'man Hasan