Selasa, 10 Juni 2014

Halal Dan Haram


Sesungguhnya, aturan dalam syariat Islam yang mulia ini telah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan memberi solusi terbaik untuk individu maupun masyarakat. Syariat juga mengatur bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan Allah, berinteraksi dengan sesama. Semua aturan dan solusi yang dibawakan dalam syariat ini tidak keluar dari batas kehalalan atau perkara mubah yang disyariatkan, yang sentiasa menjaga hak-hak, memelihara kemaslahatan, serta menyingkirkan bahaya dan
kerusakan.
Sebagaimana Islâm mensyariatkan aqidah yang benar dan ibadah mulia yang bisa menghubungkan seorang hamba dengan Rabb-nya, jika dipraktikkan sesuai dengan petunjuk Alqurân dan Sunnah; Islam juga telah menggariskan suatu jalan yang lurus yang mengatur muamalah (interaksi) antara manusia.
Sebuah jalan yang diatur dengan kaidah-kaidah syar’i dan adab-adab yang harus dijadikan pedoman dalam bermuamalah. Dengan demikian, tidak ada kekacauan, tidak ada tindakan zalim, permusuhan, melampaui batas, merampas, menipu, mangkir dari utang, berbuat curang dan berbagai tindakan buruk lainnya. Yang ada hanya keadilan, saling menghormati, jujur, transparan dan penjagaan terhadap hak-hak orang lain.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam khutbah di Arafah
Sesungguhnya darah kalian haram atas kalian seperti haramnya hari ini, di bulan ini dan di negeri ini.
(H.R. Muslim dan yang lain-lain)
Sudah merupakan kewajiban bagi seorang muslim ketika bermuamalah (seperti dalam jual beli, utangpiutang, gadai dan perniagaan) untuk berlaku sesuai dengan syariat Allâh Subhanahu wa Ta'ala. Karena, semuanya telah diatur dalam syariat kita. Betapa banyak orang yang tersesat karena membatasi pemahaman dien (agama, ed.) ini hanya dalam ibadah saja. Mereka memisahkan agama ini dengan kehidupan nyata dan dengan aturan-aturan dalam bermuamalah. Sehingga, mereka memberlakukan harta titipan Allâh Subhanahu wa Ta’ala semaunya. Mereka tidak peduli, apakah harta mereka dari usaha halal atau haram? Mereka berusaha tidak menjauhkan diri dari muamalah atau cara-cara yang haram dalam
memperoleh harta. Cinta dunia telah menguasai jiwa mereka. Mereka menyimpang dengan harta.
 Setiap daging yang tumbuh dari yang tidak halal, maka neraka yang lebih utama baginya. (H.R. Ahmad
3/321, Tirmidzi, no. 614, Ibnu Hibbân, no. 1723, dan Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabîr, 19/136 dari
Jâbir bin Abdullâh dan Ka’ab bin ‘Ujrâh)
Saudaraku yang dirahmati Allah
Dengan ini kita tahu bahwa bisnis dan muamalah yang haram merupakan penyebab keburukan, kekacuan dan fitnah di dunia, serta azab di akhirat kelak. Layakkah seorang muslim yang mendengar ancaman ini dan mengetahui bahayanya kemudian ia tidak peduli dengan usahanya? Jika ya, maka ini menunjukkan pemahaman agama orang itu kurang, juga merupakan cacat dan ketidakmampuannya untuk merenung.
 Mereka lupakan kewajiban mempertanggungjawabkan amalan dihadapan Allâh Subhanahu wa Ta'ala
Saudaraku.
Sesungguhnya, baik dan buruknya usaha yang dilakukan oleh seseorang akan menimbulkan pengaruh yang sepadan pada diri pelaku sendiri, jika baik maka baik pengaruhnya begitu pula sebaliknya. Dalam sebuah riwayat disebutkan,
Akan datang satu zaman kepada manusia. Saat itu orang sudah tidak peduli lagi dari mana mereka
mengambil hartanya, apakah dari hasil yang halal atau yang haram? (H.R. Bukhâri, no. 2059)
2 / 4
Perhatikanlah sekitar kita! Bisnis haram dan usaha kotor begitu banyak dan mudah didapatkan, bahkan mendominasi. Sehingga, banyak kaum muslimin terjebak. Mereka berusaha meraih harta dengan cara menipu atau mengkhianati tugas yang dibebankan dipundaknya. Misalnya, seorang pegawai yang tidak sungguh-sungguh melaksanakan tugasnya atau bahkan mangkir dari tugasnya. Pegawai seperti ini berarti
telah mengkhianati amanah yang dibebankan kepada dirinya. Pada saat yang sama berarti dia
membiarkan dirinya terancam mengonsumsi suatu yang haram yaitu gaji dari tugas yang tidak dia kerjakan. Bahkan, terkadang dengan tanpa malu dia menerima uang sogok. Sekali lagi, ini merupakan penipuan terhadap kaum Muslimin dan pengkhianatan terhadap pemimpin. Contoh lainnya, seorang pedagang yang berbisnis dengan cara riba, utang-piutang yang diharamkan, menyembunyikan cacat barang saat berjualan, mengurangi takaran atau timbangan, atau berbisnis barang haram, seperti alat-alat musik, narkoba, khamer dan lain sebagainya.
Demikian juga orang yang menzalimi para pekerja atau pembantunya, dengan menunda-nunda pembayaran gaji, apalagi kemudian tidak memberikan mereka gaji sama sekali.
Termasuk juga orang-orang yang berkecimpung dalam perjudian, lotre, bisnis remang-remang. Juga orang-orang yang menumpuk harta dengan cara merampas, menipu atau berbohong, baik membohongi individu atau instansi resmi pemerintah.
Semua yang disebutkan adalah secuil dari sekian banyak contoh perilaku haram disekitar kita yang tidakmampu disebutkan oleh lisan, karena malu kepada Allâh Subhanahu wa Ta'ala. Namun, amanah lidah yang dibebankan oleh Allâh Subhanahu wa Ta'ala kepada kita menuntut kita memberikan peringatan kepada seluruh kaum Muslimin agar menjauhi berbagai praktik haram ini.
Praktik haram ini tidak hanya terjadi dalam bidang bisnis, bahkan –na'udzubillah- terjadi juga di lembaga yang mestinya menjadi penegak hukum. Ya, itulah lembaga peradilan. Akhir-akhir ini sering kita dengar atau baca tentang kisruh yang melanda lembaga-lembaga itu, akibat ulah-ulah para pengkhianat amanat dalam merekaya kasus demi memenangkan pihak-pihak tersalah namun berkantong tebal. Hasrat mereka
untuk menegakkan hukum takluk dan bertekuk lutut pada kerakusan jiwa terhadap materi. Mereka tertipu dengan kilauan harta yang digambarkan setan.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allâh Subhanahu wa Ta'ala
Kalau kita ingin selamat dari murka Allâh Subhanahu wa Ta'ala, maka hendaknya kita berusaha melepaskan dan membebaskan diri kita dari segala hak-hak orang lain yang pernah kita zalimi sebelum ajal datang menjemput. Jika ajal sudah menjemput sementara hak-hak itu belum sempat kita serahkan, maka hanya penyesalan akan mendera kita.
Kita berdoa kepada Allâh, semoga Allâh menganurahkan rezeki yang halal kepada kita semua. Ya Allah, cukupkanlah kami dengan rezeki yang halal dari-Mu dan jadikanlah kami tidak butuh pada yang haram.

Wahai kaum Muslimin, hendaknya kita senantiasa bertakwa kepada Allâh dan selalu berpegang teguhdengan syariat-Nya yang penuh dengan kebaikan. Hendaknya kita memperhatikan halal dan haram. Jika kita mendapatkan kesulitan, maka hendaknya kita bertanya kepada para ulama. Hendaknya kita menjauhi perkara-perkara yang syubhat (yang belum jelas hukumnya) apalagi yang haram.

Hendaklah kita menghiasi diri kita dengan sifat jujur dan amanah dalam setiap perbuatan dengan landasan ikhlas kepada Allâh, agar apa yang kita dapatkan menjadi halal. Karena harta halal akan mendatangkan barakah bagi kita, keluarga dan masyarakat. Ingatlah, pada tiap rupiah yang kita hasilkan itu akan ada pertanyaan yang mesti kita jawab, darimana kita memprolehnya dan dibelanjakan untuk apa? Marilah kita berlaku jujur dalam segala aktivitas. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menggolongkan kita kedalam para hamba-Nya yang berbahagia dan beruntung di dunia dan akhirat.


dari Kaukabah, al Khutabul Muniifah, halaman 317.
Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03 Tahun XIV Jumadil Awwal Mei 2010 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar