Sesungguhnya,
aturan dalam syariat Islam yang mulia ini telah mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia dan memberi solusi terbaik untuk individu maupun masyarakat.
Syariat juga mengatur bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan Allah,
berinteraksi dengan sesama. Semua aturan dan solusi yang dibawakan dalam
syariat ini tidak keluar dari batas kehalalan atau perkara mubah yang disyariatkan,
yang sentiasa menjaga hak-hak, memelihara kemaslahatan, serta menyingkirkan
bahaya dan
kerusakan.
Sebagaimana Islâm
mensyariatkan aqidah yang benar dan ibadah mulia yang bisa menghubungkan seorang
hamba dengan Rabb-nya, jika dipraktikkan sesuai dengan petunjuk Alqurân
dan Sunnah; Islam juga telah menggariskan suatu jalan yang lurus yang mengatur
muamalah (interaksi) antara manusia.
Sebuah jalan
yang diatur dengan kaidah-kaidah syar’i dan adab-adab yang harus
dijadikan pedoman dalam bermuamalah. Dengan demikian, tidak ada kekacauan,
tidak ada tindakan zalim, permusuhan, melampaui batas, merampas, menipu,
mangkir dari utang, berbuat curang dan berbagai tindakan buruk lainnya. Yang
ada hanya keadilan, saling menghormati, jujur, transparan dan penjagaan
terhadap hak-hak orang lain.
Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda dalam khutbah di Arafah
Sesungguhnya
darah kalian haram atas kalian seperti haramnya hari ini, di bulan ini dan di
negeri ini.
(H.R. Muslim dan
yang lain-lain)
Sudah merupakan
kewajiban bagi seorang muslim ketika bermuamalah (seperti dalam jual beli,
utangpiutang, gadai dan perniagaan) untuk berlaku sesuai dengan syariat Allâh Subhanahu
wa Ta'ala. Karena, semuanya telah diatur dalam syariat kita. Betapa banyak
orang yang tersesat karena membatasi pemahaman dien (agama, ed.) ini
hanya dalam ibadah saja. Mereka memisahkan agama ini dengan kehidupan nyata dan
dengan aturan-aturan dalam bermuamalah. Sehingga, mereka memberlakukan harta titipan
Allâh Subhanahu wa Ta’ala semaunya. Mereka tidak peduli, apakah harta
mereka dari usaha halal atau haram? Mereka berusaha tidak menjauhkan diri dari
muamalah atau cara-cara yang haram dalam
memperoleh
harta. Cinta dunia telah menguasai jiwa mereka. Mereka menyimpang dengan harta.
Setiap daging yang tumbuh dari yang tidak
halal, maka neraka yang lebih utama baginya. (H.R. Ahmad
3/321, Tirmidzi,
no. 614, Ibnu Hibbân, no. 1723, dan Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabîr, 19/136
dari
Jâbir bin
Abdullâh dan Ka’ab bin ‘Ujrâh)
Saudaraku yang dirahmati Allah
Dengan ini kita
tahu bahwa bisnis dan muamalah yang haram merupakan penyebab keburukan,
kekacuan dan fitnah di dunia, serta azab di akhirat kelak. Layakkah seorang
muslim yang mendengar ancaman ini dan mengetahui bahayanya kemudian ia tidak peduli
dengan usahanya? Jika ya, maka ini menunjukkan pemahaman agama orang itu kurang,
juga merupakan cacat dan ketidakmampuannya untuk merenung.
Mereka
lupakan kewajiban mempertanggungjawabkan amalan dihadapan Allâh Subhanahu wa
Ta'ala.
Saudaraku.
Sesungguhnya,
baik dan buruknya usaha yang dilakukan oleh seseorang akan menimbulkan pengaruh
yang sepadan pada diri pelaku sendiri, jika baik maka baik pengaruhnya begitu
pula sebaliknya. Dalam sebuah riwayat disebutkan,
Akan datang satu
zaman kepada manusia. Saat itu orang sudah tidak peduli lagi dari mana mereka
mengambil
hartanya, apakah dari hasil yang halal atau yang haram? (H.R.
Bukhâri, no. 2059)
2 / 4
Perhatikanlah
sekitar kita! Bisnis haram dan usaha kotor begitu banyak dan mudah didapatkan,
bahkan mendominasi. Sehingga, banyak kaum muslimin terjebak. Mereka berusaha
meraih harta dengan cara menipu atau mengkhianati tugas yang dibebankan
dipundaknya. Misalnya, seorang pegawai yang tidak sungguh-sungguh melaksanakan
tugasnya atau bahkan mangkir dari tugasnya. Pegawai seperti ini berarti
telah
mengkhianati amanah yang dibebankan kepada dirinya. Pada saat yang sama berarti
dia
membiarkan
dirinya terancam mengonsumsi suatu yang haram yaitu gaji dari tugas yang tidak
dia kerjakan. Bahkan, terkadang dengan tanpa malu dia menerima uang sogok.
Sekali lagi, ini merupakan penipuan terhadap kaum Muslimin dan pengkhianatan
terhadap pemimpin. Contoh lainnya, seorang pedagang yang berbisnis dengan cara
riba, utang-piutang yang diharamkan, menyembunyikan cacat barang saat
berjualan, mengurangi takaran atau timbangan, atau berbisnis barang haram,
seperti alat-alat musik, narkoba, khamer dan lain sebagainya.
Demikian juga
orang yang menzalimi para pekerja atau pembantunya, dengan menunda-nunda pembayaran
gaji, apalagi kemudian tidak memberikan mereka gaji sama sekali.
Termasuk juga
orang-orang yang berkecimpung dalam perjudian, lotre, bisnis remang-remang.
Juga orang-orang yang menumpuk harta dengan cara merampas, menipu atau
berbohong, baik membohongi individu atau instansi resmi pemerintah.
Semua yang
disebutkan adalah secuil dari sekian banyak contoh perilaku haram disekitar
kita yang tidakmampu disebutkan oleh lisan, karena malu kepada Allâh Subhanahu
wa Ta'ala. Namun, amanah lidah yang dibebankan oleh Allâh Subhanahu wa
Ta'ala kepada kita menuntut kita memberikan peringatan kepada seluruh kaum
Muslimin agar menjauhi berbagai praktik haram ini.
Praktik haram
ini tidak hanya terjadi dalam bidang bisnis, bahkan –na'udzubillah-
terjadi juga di lembaga yang mestinya menjadi penegak hukum. Ya, itulah lembaga
peradilan. Akhir-akhir ini sering kita dengar atau baca tentang kisruh yang
melanda lembaga-lembaga itu, akibat ulah-ulah para pengkhianat amanat dalam
merekaya kasus demi memenangkan pihak-pihak tersalah namun berkantong tebal.
Hasrat mereka
untuk menegakkan
hukum takluk dan bertekuk lutut pada kerakusan jiwa terhadap materi. Mereka
tertipu dengan kilauan harta yang digambarkan setan.
Kaum Muslimin
yang dirahmati Allâh Subhanahu wa Ta'ala
Kalau kita ingin
selamat dari murka Allâh Subhanahu wa Ta'ala, maka hendaknya kita
berusaha melepaskan dan membebaskan diri kita dari segala hak-hak orang lain
yang pernah kita zalimi sebelum ajal datang menjemput. Jika ajal sudah
menjemput sementara hak-hak itu belum sempat kita serahkan, maka hanya
penyesalan akan mendera kita.
Kita berdoa
kepada Allâh, semoga Allâh menganurahkan rezeki yang halal kepada kita semua.
Ya Allah, cukupkanlah kami dengan rezeki yang halal dari-Mu dan jadikanlah kami
tidak butuh pada yang haram.
Wahai kaum
Muslimin, hendaknya kita senantiasa bertakwa kepada Allâh dan selalu berpegang
teguhdengan syariat-Nya yang penuh dengan kebaikan. Hendaknya kita
memperhatikan halal dan haram. Jika kita mendapatkan kesulitan, maka hendaknya
kita bertanya kepada para ulama. Hendaknya kita menjauhi perkara-perkara yang syubhat
(yang belum jelas hukumnya) apalagi yang haram.
Hendaklah kita menghiasi
diri kita dengan sifat jujur dan amanah dalam setiap perbuatan dengan landasan ikhlas
kepada Allâh, agar apa yang kita dapatkan menjadi halal. Karena harta halal
akan mendatangkan barakah bagi kita, keluarga dan masyarakat. Ingatlah, pada
tiap rupiah yang kita hasilkan itu akan ada pertanyaan yang mesti kita jawab,
darimana kita memprolehnya dan dibelanjakan untuk apa? Marilah kita berlaku
jujur dalam segala aktivitas. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menggolongkan
kita kedalam para hamba-Nya yang berbahagia dan beruntung di dunia dan akhirat.
dari Kaukabah,
al Khutabul Muniifah, halaman 317.
Disalin dari
Majalah As-Sunnah Edisi 03 Tahun XIV Jumadil Awwal Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar