JAUHI DUKUN DAN PERAMAL
Sahabat
bertanya tentang para dukun, maka Rasulullah saw menjawab, "Mereka
bukanlah apa-apa (tidak berarti sedikitpun)". Lalu para sahabat berkata :
"Wahai Rasulullah
saw sesungguhnya mereka terkadang berbicara
sesuatu dan ternyata benar-benar terjadi?" Maka Rosulullah saw bersabda,
"Kebenaran itu adalah
sesuatu yang dicuri oleh satu jin, lalu ia
lontarkan pada telinga kekasihnya (dari manusia), dan mereka pun
mencampurinya dengan seratus kebohongan." (HR. Bukhari-
Muslim)
Rasulullah
saw bersabda, "Barangsiapa mendatangi peramal, lalu ia bertanya sesuatu
kepadanya dan mempercayainya, maka tidak akan diterima shalatnya selama
40 hari."
(HR. Muslim)
Silahkan vote+1 dan bagikan agar
kamu dan teman-temanmu senantiasa istiqomah dan bisa meningkatkan
ketakwaannya kepada ALLAH SWT...aamiin
Selasa, 30 Desember 2014
Senin, 29 Desember 2014
Undangan
Bagi para Pencari TUHAN...
Bagi anda yang dalam tekanan bathin,..
Banyak masalah menghimpit..Dunia terasa sempit karena dikejar kejar hutang,..
Bisnis anda terus merugi...
Anda ingin menjadi kaya, atau hidup tentram..
Datanglah ke majelis Dzikir Tawakal Bandung, jalan Cigadung Raya Tengah no 29
Tlp 082121459530
InsyaAllah anda akan ditunjukkan jalan menuju kebaikan sesuai dengan tuntunan Al Quran dan As Sunnah,
Tanpa unsur Syirik..
Jadwal Pengajian :
Hari Jumat jam 21:00
Hari Sabtu jam 12:30
Jadwal Pengajian :
Hari Jumat jam 21:00
Hari Sabtu jam 12:30
Selasa, 25 November 2014
Info Kesehatan
MACA – Herbal Tradisional Untuk Stamina Prima
MACA – Herbal tradisional dari akar tanaman “Lepidium meyenii”. MACA membantu memulihkan stamina, ketahanan dan vitalitas. Kandungan asam amino essensial, vitamin dan mineral unik menjadikan MACA dinamakan “Viagra alami”.
Manfaat Herbal MACA:
MACA mengandung p-methoxybenzyl isothiocyanate yang dapat membantu meningkatkan libido (aphrodisiac) serta kaya akan asam lemak essensial seperti linolenat, palmitat adan asam oleat. MACA juga mengandung kalsium yang penting bagi wanita pada masa menopause. Dengan kandungan asam amino, MACA memberikan manfaat dengan mekanisme pemeliharaan dan pertumbuhan jaringan organ seks dan reproduksi serta membantu pembentukan neurotransmitter seperti dopamine dan noreadrenaline. Kondisi ini yang akan memberikan manfaat positif terhadap gairah (sinyal sistem syaraf dan sexual drive). Kandungan argininenya baik untuk kesuburan pria serta terhadap jumlah sperma dan mobilitas sperma.
Konsumsi MACA sangat baik untuk:
* Pria dan wanita, untuk mencapai pasangan bahagia dan harmonis.
* Membantu meningkatkan mood dan konsentrasi.
* Membantu meningkatkan gairah seksual dan libido.
* Membantu meningkatkan kesuburan (pria dan wanita).
* Membantu mengurangi gejala menopause.
* Membantu menurangi gejala PMS (Pre Menstrual Syndrom).
* Membantu mengurangi stress.
Keistimewaan:
* Digunakan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration) sebagai suplemen khusus yang memberikan nilai gizi tinggi bagi para astronot.
* Terbuat dari tanaman obat tradisional Peru dan telah digunakan secara turun temurun sejak ribuan tahun lalu.
* Tidak menimbulkan efek samping.
INFORMASI & PEMESANAN HUBUNGI:
HP : 082121459530
Pin BB :
NB:
- Menerima pengiriman ke luar kota
- Harga sudah termasuk ongkos kirim
- Pengiriman melalui JNE / TIKI
- Pengiriman uang dapat melalui BTN dan MANDIRI
Minggu, 31 Agustus 2014
Hikmah Sholawat An Nuridzat
Hikmah Sholawat An Nuridzat
Allohumma sholi wa salim wa barik ala sayidina muhammad.
Annurid’dzati was sirris saari fi sairil asmai wash shifati wa ala alihi wa shobihi wa salim
(Artinya
: Ya Allah, limpahkanlah rahmat, salam dan berkah kepada junjungan
kami Muhammad, cahaya diri dan rahasia yang beredar dalam seluruh asma
dan sifat, juga limpahkan hal yang sama kepada keluarga dan
sahabat-sahabatnya)
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatnya bershalawat untuk nabi. Hai
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya” QS: (Al Ahzab : 56)
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya” QS: (Al Ahzab : 56)
. “Allohumma sholi wa salim wa barik ala
sayidina muhammad. Annurid’dzati was sirris
saari fi sairil asmai wash shifati wa ala alihi wa shobihi wa salim”
(Artinya : Ya Allah, limpahkanlah rahmat, salam dan berkah kepada junjungan kami Muhammad, cahaya diri dan rahasia yang beredar dalam seluruh asma dan sifat, juga limpahkan hal yang sama kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya).
Sholawat An Nuridzat Dan Cara Pelaksana'an Nya
Nabi saw memiliki keutamaan dan fadhilah yang luar biasa bagi orang yang mengamalkannya.
Kesimpulan ini didukung oleh dalil-dalil dari al-Qur-an dan as-Sunnah yang shahih. Untuk mendapatkan fadhilah tersebut, maka orang berlomba-lomba
memperbanyak shalawat.
Shalawat An-Nuurid Dzat, cukup terkenal di kalangan
pesantren dan spiritualis. Banyak sekali manfaat
yang dapat dirasakan
ADAPUN CARANYA SEBAGAI BERIKUT:
1. Kerjakan Puasa 3 hari berturut-turut. Dimulai
hari Selasa.
2. Sebelum mulai tirakat puasa, lakukan
pembersihan diri dulu dengan cara mandi jinabat. Dilakukan pada hari Senin sore
sebelum Mahgrib. Dengan niat seperti berikut ini : “Hamba berniat mandi jinabat untuk
membersihkan diri dari semua kotoran lahir dan bathin karena Allah Ta’ala”.
3. Selama dalam masa puasa tersebut,
perbanyaklah membaca sholawat An Nuuridz Dzaat. Misalnya setiap selesai
sholat fardhu dibaca 21 kali dan tengah malam setiap selesai sholat Lail (tahajud /
hajat ) dibaca 41 kali.
4. Dihari terakhir puasa, malam harinya (malam
Jumat), jangan tidur sampai terbit matahari.
Malam itu gunakan untuk sholat malam dan ber-dzikir membaca sholawat An Nuuridz
Dzaat sebanyak 1440 kali.
5. Setelah selesai membaca shalawat 1440 x, lalu baca doa ini satu kali: “Dengan menyebut
Asma Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yaa Allah dengan hikmah-Mu
bukakanlah diriku bagaikan terbukanya para ahli makrifat dan bentangkanlah rahmat-Mu
terhadapku wahai Zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.”
6. Ritual selesai setelah matahari terbit di hari
Jumat.
7. Kemudian setelah selesai masa puasanya,
bacaan sholawat tersebut harus dibaca secara rutin setiap hari sebanyak 41 kali.
InsyaAllah, dengan selalu memohon ridho dan perlindungan Allah swt, ilmu spiritual ini akan
bermanfaat bagi diri pribadi dan orang-orang yang kita sayangi.
Semoga dijauhkan dari segala hal yang buruk dan merugikan. Dibukakan segala pintu
kebaikan dan kesuksesan. Amiin.
KHASIAT :
Setelah anda melakukan pembangkitan energi spiritual sejati shalawat An-Nuurid Dzat diatas tadi
dan tekun membaca wiridnya InsyaAllah ilmu ini sangat bermanfaat dalam kehidupan kita. Berikut
ini beberapa manfaat yang pernah saya rasakan Antara lain untuk :
1. PERISAI DIRI / BENTENG GHAIB DARI
SEGALA MARABAHAYA
Secara otomatis tubuh kita seperti terselimuti energi ghoib yang senantiasa melindungi dari
segala ancaman yang bersifat merusak baik dari bangsa ghoib (sihir) maupun ancaman
nyata seperti perampok, kerusuhan dan sebagainya. Caranya, biasakanlah sebelum
berangkat berpergian membaca doa. Misalnya
seperti ini:
“Allohumma sholi wa salim wa barik ala sayidina muhammad. Annurid’dzati was
sirris saari fi sairil asmai wash shifati wa ala alihi wa shobihi wa salim”
“Bismillah tawakkaltu ‘alallah, laa haula wa laa quwwata illa billah”
(Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali
dengan-Nya).
Maka InsyaAllah anda akan selamat sampai
tujuan hingga pulang kembali ke rumah berkat
perlindungan Allah swt.
2. KESELAMATAN DARI ANCAMAN SEGALA
KEJAHATAN & KERUSUHAN
Apabila anda terdesak atau tiba-tiba dalam keadaan menghadapi marabahaya, kerusuhan massa, maka peganglah / tekan pusar sambil membaca :Bismillaahil la-dzi laa ya-dhur-ruma’asmihi syai-un fil ardhi walaa fis- samaa’i wahuwas samii’ul aliim (Artinya : Dengan nama Allah yang bersama
nama-Nya segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit tidak akan berbahaya dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui) “Yaa Qowiyu Yaa Matiin (3x) (Yaa Tuhan Yang Maha Kuat dan Yang MahaKokoh)
Allahuma inni as alukas salamata” (3x) (Yaa Tuhan selamatkanlah diriku)
Berkat perlindunganNYA anda akan selamat dari marabahaya apapun; pengeroyokan,
kerusuhan dan tindakan destructif lainnya yang membahayakan keselamatan. InsyaAllah tetap
selamat !
3. KESELAMATAN DARI ANCAMAN SENJATA
TAJAM
Amalkanlah shalawat ini secara rutin InsyaAllah, dengan ijin-NYA anda tidak akan
terjamah oleh serangan senjata tajam atau jenis senjata apapun selamanya.
4. BENTENG BADAN ANTI PENGEROYOKAN
Amalkanlah shalawat ini secara rutin InsyaAllah, dengan ijin-NYA anda terlindungi
dari tindakan pengecut seperti pengeroyokan,ditikam dari belakang, fitnah, selamanya.
5. KEWIBAWAAN GANDA
Atas rahmat Allah setelah anda sering membaca wirid diatas, maka pancaran aura
kewibawaan anda akan semakin luar biasa dan berpengaruh terhadap orang disekeliling anda.
Sehingga kawan akan menjadi hormat dan lawan akan segan. Cara untuk menumbuhkan
kewibawaan tersebut, cukup dengan kontak batin sambil tahan nafas sejenak :
Yaa Qowiyu Yaa Matiin (3x)
Memancarlah Perbawaku. Taklukan sukma orang ini terhadapku !!”
Saat tahan nafas dalam hati ucapkan kalimat diatas sambil membayangkan sinar / aura
wibawa luar biasa keluar dari dalam diri memancar mempengaruhi sekitar anda. Lalu
lepas nafas dan bernafas seperti biasanya.
Kalimat diatas bisa diganti terserah anda, yang
penting niat harus kuat dan yakin. Bila anda
tahu nama orangnya kata orang ini dalam
setiap kontak batin dapat diganti nama orang
tersebut.
6. REJEKI LANCAR DAN BAROKAH
Untuk melancarkan datangnya rejeki, maka bacalah secara rutin setiap habis sholat lima
waktu sholawat diatas sebanyak 3 kali.
Lakukanlah dengan istiqomah (tekun), insyaAllah rejeki akan datang dengan lancar.
Bila anda betul-betul dalam kondisi yang sangat membutuhkan, maka amalan diatas ada
baiknya diiringi dengan puasa sunah selama 7 hari. Dan memohonlah kepada Allah swt Yang
Maha Kaya lagi Maha Pemurah dan Maha Pemberi, dengan penuh pengharapan dan
kekusyukan.
7. KELUARGA HARMONIS DAN JAUH DARI
SEGALA PENYAKIT
Dengan sendirinya bila anda sering dan banyak membaca sholawat atas Nabi saw, seperti
diatas, insyaAllah diri atau badan anda sehat dijauhkan dari segala macam penyakit badan
dan penyakit hati. Keluarga hidup rukun sejahtera. Amiin.
Dari Abdullah Bin Amru bin Al Ash ra, telah
mendengar Rasulullah saw bersabda :
Siapa yang membacakan selawat untukku satu kali, Allah akan menurunkan rahmat kepadanya sepuluh kali.
Rahmat Allah swt itu meliputi segala sesuatu kebaikan (rejeki, kesehatan, keselamatan dll),
baik untuk diri sendiri maupun orang lain/keluarga.
8. PENGASIHAN SEJATI (BUKA AURA)
Dengan penyelarasan energi kharismatik anda akan mempunyai daya Pengasih untuk menambah kepercayaan diri dan menumbuhkan kharisma, sehingga InsyaAllah akan diperlakukan dengan baik penuh welas asih oleh siapa saja.
Caranya sebelum berangkat pergi menemui
seseorang, bacalah sholawat diatas 1 kali. Lalu baca kontak batin dibawah ini untuk menyelaraskan energi karismatik anda dengan orang yang dituju.
Lalu tiupkan ke telapak tangan anda dan usapkan ke seluruh wajah.
“Bersinarlah daya pengasihku selimuti seluruh tubuhku.
Semua orang datanglah kepadaku dengan baik penuh (pengasihan )
Kamis, 28 Agustus 2014
Hotel Turki Kini Berlabel Islami
Ada 75 hotel di Turki yang memasang label hotel Islami, bersahabat dengan jibab, liburan sesuai syariah dan wisata halal. Sebelumnya, data Himpunan Pemilik Hotel Mediteranian (AKTOB) mencatat hotel semacam itu hanya ada lima buah pada 2002.
Seperti dilansir Todayzaman.com, Senin (25/8), provinsi seperti Yalova atau kota Alanya masing-masing kini memiliki sembilan hotel yang termasuk kategori hotel ramah simbol Islam. Hotel semacam ini juga makin banyak dijumpai di barat Turki karena memang kerap jadi tujuan wisata termasuk wilayah Canakkale, Kas, dan Kusadasi.
Hotel-hotel itu tidak menghidangkan alkohol dan babi, memisahkan kolam renang untuk tamu pria dan wanita, serta mengharuskan pegawainya untuk berpakaian sopan. Tayangan televisi dan situs-situs internet dipilih sesuai dengan aturan Islam. Mushala yang disediakan juga dilengkapi peredam suara dari luar.
Dalam jajak pendapat yang dibuat BBC Turki baru-baru ini, 60 persen wisatawan mencari hotel berlabel halal dan jumlah itu terus meningkat. Kebanyakan wisatawan menghindari hotel yang menyajikan alkohol dan makanan tak halal. ''Kami tak bisa memilih tamu yang singgah. Sektor pariwisata harus toleran terhadap semua jenis wisatawan, termasuk bagi wisatawan berkerudung dan yang tidak,'' kata Presiden Asosiasi Jurnalis Pariwisata (TUYED), Kerem Kofteoglu.
Muslim Traveler Index Europe 2014 memperkirakan nilai wisata halal Eropa mencapai 137 miliar dolar AS. Turki sendiri termasuk menjadi lima besar negara tujuan wisatawan pencari pariwisata syariah di Eropa. Nilainya bahkan mencari 103 miliar Euro pada 2013 atau sekitar 13 persen dari total nilai pariwisata halal dunia. Turki diperkirakan akan meraih hingga 141 miliar Euro dari sektor ini pada 2020.
Masyarakat Timur Tengah dan Asia Tenggara mengenal Turki karena warisan sejarah Islamnya. Ini jadi peluang besar bagi Turki untuk menarik banyak wisatwan termasuk untuk sektor pendukungnya seperti perhotelan, biro perjalanan, dan restoran.
Laporan yang sama juga menunjukkan, 58 persen wisatawan yang datang ke Turki didorong keinginan untuk mengetahui sejarah dan peninggalan Islam yang ada di sana. 97 persen wisatawan juga memandang penting bagi negara tujuan wisata menyediakan lokasi kuliner halal dan fasilitas ibadah.(ROL/herytaryana)
Sumber: republikaonline
Spirit Sultan Maulana Hasanuddin Banten Dalam Mewujudkan Masyarakat Sejahtera
Salah satu yang mendasari lahirnya Provinsi Banten sejak masih berupa embrio gagasan hingga era reformasi bergulir apalagi kalau bukan alasan kesejahteraan Banten yang amat masyhur. Keinginan urang Banten untuk meningkatkan status Banten dari keresidenan menjadi sebuah provinsi karena Banten memiliki keistimewaan juga selain dari Yogyakarta dan Aceh. Landasan filosofisnya adalah Banten memiliki kesulitan yang amat kokoh dan heroik, yaitu Banten tidak pernah tunduk dan menyerah pada kolonial Belanda. Dibuktikan dengan penghancuran total Keraton Surosowan, bukan hanya itu Banten pernah berdiri sendiri karena diblokade oleh Belanda sehingga memunculkan mata uang sendiri sebagai alat tukar masyarakat kala itu.
Sejarah tidak pernah memuaskan dengan cerita kejayaan sebuah negeri yang berlangsung lama. Sebentar berjaya kemudian mengalami decline. Layaknya sebuah sinetron, cerita kehebatan, masa emas kejayaan dan kemasyhuran selalu diwarnai dengan episode kehancurannya. Banten juga mengalami pasang surut, sehingga cerita-cerita indah tersebut hanya dapat dibaca dalam buku-buku sejarah, klaim-klaim dalam seminar kebantenan atau teriakan lantang para demonstran. Nama besar Banten bukan saja tidak mampu dipertahankan, namun membaca sejarahnya seakan hanya membuat gelisah, marah dan geram tak berbendung.
Seperti menebar benih harapan dan udara segar, saat kokolat Banten (waktu itu Uwais al-Qarny, dkk) mulai intensif menggalang kebersamaan untuk memperjuangkan Banten pisah ranjang dengan Jawa Barat, seakan kemajuan sudah di depan mata. Urang Banten tidak lagi harus menginap untuk mengurus surat-surat sepele, masyarakat Banten tidak perlu lelah di atas kendaraan umum untuk sampai ke Gedung Sate. Jawa Barat terlalu lama mencengkeram ekor Badak Bercula Satu (baca: Banten) ini. Jawa Barat terlalu gemuk dan nyaris membuat Banten kurus kering tak terurus. Jika benar Banten telah berjaya berarti ia memiliki potensi besar untuk kembali bangkit.
Setelah hampir 14 tahun berlalu, apa yang terjadi? Banten sudah dua kali ganti nakhoda. Cerita-cerita tentang kemajuan lirih didengar. Deretan prestasi dihadang barisan para pejabat yang mengantri di meja hijau karena menyelewengkan kekuasaan. Suara-suara optimisme berubah gaduh dengan demonstrasi yang terjadwal seperti apel pagi. Jalanan arteri di pusat kota yang hancur membangunkan mimpi kemajuan dan ketika mereka dapati Banten kini tak jauh beda. Lubang jalan di mana-mana membuat masyarakat frustasi. Rumah tak layak huni menjadi pemandangan yang menyayat hati.
Lantas, mengapa Banten yang berjuluk Negeri Auliya dan selalu dikibarkan panji-panji Islam tidak berhasil mewujudkan kesejahteraan masyarakat Banten? Padahal Banten memiliki spirit kemajuan yang tinggi yang berlandaskan Iman dan Takwa sebagaimana semboyan pembangunan. Maka hadirnya makalah ini, mencoba menghadirkan sosok maestro pembangunan Sang Sultan Maulana Hasanuddin Banten sebagai peletak atau founding father Kesultanan Banten yang jaya, harapan besarnya adalah menjadikan spirit bagi penerus titah pembangunan Banten. Starting point pada pembahasannya adalah bagaimana Sultan Maulana Hasanuddin dalam membentuk masyarakat sejahtera? Sosok ideal seperti apakah Sang Sultan? Apa yang salah dalam pembangunan saat ini? Selain itu juga akan dibahas uraian masyarakat sejahtera dalam perspektif Al-Quran.
Ketiga permasalahan tersebut, setidaknya dapat menjawab kegalauan masyarakat Banten tentang mimpi mewujudkan kesejahteraan.
B. Menelisik Masyarakat Sejahtera dalam Bingkai Al-Quran
Secara etimologi kata masyarakat berasal dari kata syarikat. Kata ini terpakai dalam bahasa Indonesia dan Malaysia. Dalam bahasa Indonesia menjadi serikat, maknanya perkumpulan atau golongan. Sedangkan dalam bahasa Malaysia tetap dalam ejaan aslinya, syarikat (Al-Badri, 1990: 3). Eksplorasi lebih mendalam disampaikan Gazalba (1976: 1) bahwa kata masyarakat telah terjadi literasi ke dalam bahasa lazim Indonesia menjadi masyarakat, yang mengandung arti sistem sosial atau pergaulan kelompok manusia yang teratur. Ia mengandung arti mempertahankan hubungan-hubungan teratur antara seseorang dengan orang lain. Gazalba menyebutnya dengan mujtama’i.
Dalam konkordansi Al-Quran, penyebutan kata masyarakat disampaikan dalam beberapa istilah. Yakni syarika-syurakaa disebutkan 16 kali, kata syurakaai 5 kali, syurakaunaa-syurakaana 2 kali, kata syurakaukum-syurakaakum-syurakaakum 9 kali dan kata syurakuhum-syurakaahum-syurakaihim 8 kali penyebutan. (Al-Aydrusy, 2013: 489-490).
Mengenai wawasan masyarakat sejahtera dalam bingkai Al-Quran, Hamka (2006: 57) menguraikan bahwa ada tiga bentuk masyarakat sejahtera yang dicatat oleh Al-Quran dan ditegaskan oleh para ulama. Ketiga bentuk tersebut memiliki perbedaan satu sama lain dalam karakteristik, sifat-sifat, landasan dan tiang penyangga yang menjadi sasaran.
Pertama, masyarakat sejahtera di akhirat. Model masyarakat ini dikenal kaum muslimin sebagai surga, tempat yang dijadikan sebagai ganjaran bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Model masyarakat ini dicanangkan manusia untuk diri mereka sendiri menggambarkan mimpi dan harapan dan hal demikian amat lebih bagi mereka.
الْمَالُ
وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ
الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
Artinya:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi
amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi
Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (QS. Al-Kahfi [18]: 46).Dalam pemahaman ayat di atas Khalafallah (2008: 25) memberikan keterangan karena dua alasan, yaitu pertama masyarakat tersebut merupakan hal yang ghaib, dan hal itu hanya dapat diteropong hanya melalui Al-Quran. Kedua masyarakat tersebut akan terbentuk bukan jaminan kehidupan di dunia (sengsara atau senang).
Kedua, masyarakat sejahtera di dunia. Bentuk masyarakat ini telah terbangun dalam pikiran masyarakat Arab kala itu sebelum Al-Quran turun dan memberikan kabar gembira tentang surga dan neraka, atau dengan kebahagiaan dan kesengsaraan. Selain itu, model masyarakat ini merupakan cara untuk mengenali aib-aib yang telah dijelaskan oleh Al-Quran atasnya, yang sejatinya aib-aib tersebut sama dengan aib masyarakat kapitalis, sebab keindahan dunia sebagai perhiasan bagi pandangan manusia.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ
الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ
الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ
وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ
وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Artinya: “Dijadikan indah pada
(pandangan0 manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingin, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
(QS. Ali Imran [3]: 14).Interpretasi ayat di atas, Abdulrahim (2002: 32) mengatakan bahwa ada enam prinsip yang menopang masyarakat sejahtera di dunia:
- Wanita cantik yang menenteramkan suami, memuaskan nafsunya, menuntaskan kesenangannya, dan memenuhi kebutuhannya.
- Anak-anak yang dijadikan sebagai kebanggaan, sandaran hidupnya dan melanjutkan estafet keturunan serta membuat orangtua tetap dikenang.
- Kekayaan luas, serupa dengan perhiasan emas dan perak.
- Kuda pilihan yang menjadi simbol kekayaan yang megah.
- Binatang ternak yang dijadikan perhiasan ketika berdiam, berjalan, dan membawa perbekalan-perbekalan usaha.
- Sawah ladang yang dapat memberikan semua bekal yang dibutuhkan.
فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ
فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا ۗ
فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ
فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya:
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah
dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut
(membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih
banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan
kami, berilah kami kebaikan di dunia’, dan tiadalah baginya bahagian
(yang menyenangkan) di akhirat (200). Dan di antara mereka ada orang
yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan
di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka (201).” (QS.
Al-Baqarah [2]: 200-201).C. Biografi Sultan Maulana Hasanuddin Banten dalam Membuka Keislaman Masyarakat Banten
Sejarah telah mencatat, dalam Purwaka Caruban Nagari seperti yang dikutip Djajadiningrat dalam Michrob (2013: 55) bahwa Syarif Hidayatullah biasa dikenal dengan Sunan Gunung Djati Panembahan Pakungwati Cirebon, datang beserta muridnya 98 orang berusaha mengislamkan penduduk di Banten. Dengan kesabaran dan ketekunan, akhirnya banyak yang mengikuti jejak Syarif Hidayatullah ini. Bahkan akhirnya Bupati Banten dan sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam.
Karena tertarik akan budi pekerti dan ketinggian ilmunya, maka Bupati Banten menikahkan Syarif Hidayatullah dengan adik perempuannya yang bernama Nhay Kawunganten. Dari pernikahan ini Syarif Hidayatullah dikaruniai dua anak yang diberi nama Ratu Winaon dan Hasanuddin. Tidak lama kemudian, karena panggilan umaknya Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah berangkat ke Cirebon. Di sana ia diangkat menjadi Tumenggung yang memerintah daerah Cirebon, menggantikan uwaknya yang sudah tua. Sedangkan tugas penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Hasanuddin.
Dengan ketekunan dan kesungguhan serta kelembutan hatinya, usaha Hasanuddin ini membuahkan hasil yang menakjubkan. Diceritakan bahwa di antara yang memeluk agama Islam adalah 800 resi/petapa. Sehingga di Banten telah terbentuk satu masyarakat Islam di antara penduduk pribumi yang masih memeluk ajaran nenek moyang. (Toynbee dalam Abdul Malik: 2001: 18).
Pangeran Sabakingkin, nama lain dari Hasanuddin diberikan ketika beliau berhasil mendirikan Kota Banten pada tanggal 8 Oktober 1526 (Michrob, 2011: 64), semenjak itu Banten menjadi kesultanan yang dipertuan oleh Pangeran Hasanuddin bagi seluruh daerah Sunda barat, dan puncaknya adalah penaklukan Banten Girang dan pesisir dengan membuat Surosowan sebagai pusat pemerintahan kesultanan Banten.
Pemberian gelar “Sultan” merupakan kado dari Wazir Arab (Mesir) kala itu, yang merupakan uwaknya yakni suami dari Nhay Larasantang karena keberhasilannya membentuk masyarakat baru yang lebih islami (Lubis, 2006: 57). Dalam kehidupan pribadi Sultan Maulana Hasanuddin dari pernikahannya pada tahun 1526 dengan putri Raja Demak Trenggono yang bernama Ratu Ayu Kirana, dikaruniai putra-putri: Ratu Pembayun, Pangeran Yusuf, Pangeran Arya, Pangeran Sunyararas, Pangeran Padjajaran, Pangeran Pringgalaya, Ratu Agung, Pangeran Maulana Maghrib dan Ratu Arsanengah. Sedangkan dari istri lainnya: Pangeran Wahas, Pangeran Lor, Ratu Rara, Ratu Keben, Ratu Terpenter, Ratu Wetan dan Ratu Biru. Maulana Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan dimakamkan di samping Masjid Agung Banten (Michrob, 2011: 88).
D. Strategi Sultan Maulana Hasanuddin Banten dalam Mewujudkan Masyarakat Sejahtera
Lazimnya pembangunan yang dilakukan, selalu mengaitkan pembangunan fisik, lingkungan , ekonomi, sosial dan pendidikannya. Kiranya dua dimensi pembangunan fisik dan pembangunan karakter (tata nilai) harus berdampingan dan sinequa non, selaras dan seimbang dalam masyarakat dan karakter pemerintahannya. Inilah mengapa Sultan Maulana Hasanuddin Banten berhasil membentuk social engineering yang canggih sehingga muncul good governance yang luar biasa. Ada beberapa strategi yang dilakukan Sang Sultan, yakni:
Pertama, dalam awal pembuka masyarakat yang beradab Sultan dipondasikan dengan “Ketauhidan”. Membangun pondasi keimanan ini menjadi hal yang utama dan mendasar. Dalam konsep Islam, Al-Qaradhawi (2004: 7) mengusungkan bahwa sifat utama ideologi Islam ialah tidak adanya suatu konflik antara kehidupan rohani dan kehidupan duniawi. Agama Islam tidak hanya mementingkan kehidupan rohani saja, tetapi kehidupan duniawi. Ia bercita-cita ingin membentuk kehidupan individu dan masyarakat dengan contoh yang baik, agar kehidupan di dunia yang diridhai Allah dapat dilaksanakan di bumi serta mendapatkan kedamaian, ketenangan, dan kesehatan bagaikan air sungai yang mengalir terus ke laut. Sehingga ending-nya adalah tercipta keberkahan di langit dan bumi, sekiranya penduduk atau masyarakat tersebut dilandasi keimanan dan ketakwaan
وَلَوْ
أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya: “Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf [7]: 96).Dalam Babad Banten diceritakan bahwa Sultan Hasanuddin selalu berkeliling sambil berdakwah dari satu daerah ke daerah lain. Sesekali bertempat di Gunung Pulosari, Gunung Karang atau Gunung Lor, bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Dalam kelananya Hasanuddin sangat intens melakukan dakwah penanaman tauhid selama tujuh tahun. Alhasil, sekitar 800 ajar yang kemudian menjadi pengikut Sultan Hasanuddin (Michrob, 2011: 61). Para ajar/resi inilah kemudian hari menjadi pengikut setia Sultan dalam membantu misi dakwahnya.
Kedua, strategi berikutnya adalah Sultan Maulana Hasanuddin membentuk kader-kader militan (manggala-manggala) dalam mempersiapkan pembukaan masyarakat baru yakni masyarakat muslim yang sejahtera. Setelah Sultan berhasil mengislamkan para ajar/resi, kemudian Sultan membina para resi tersebut sesuai proporsional dan profesional. Sebagai bukti, sejarah mencatat, dari resi sakti di bidang pertahanan dan keamanan yaitu Mas Jong dan Agus Jo atau disebut Ki Jongjo, mereka menjadi punggawa kesultanan dalam melindungi Sultan dalam berdakwah. Atau ketika Sang Sultan menjadikan putra mahkotanya yaitu Maulana Yusuf, beliau menugaskan kepada Maulana Yusuf untuk menundukkan Kerajaan Pakuan yang terakhir yakni Pagamulya atau Prabu Surya Kencana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan (Padjajaran), melainkan di Pulosari Pandeglang, sehingga disebut juga Prabu Pucuk Umun.
Karena posisi Pulosari ditembus musuh, maka Sultan menginstruksikan Maulana Yusuf menjadi panglima setelah kader secara matang oleh ayahnya (Sultan Hasanuddin). Maka Prabu Pucuk Umun pun mampu dikalahkan, ini diabadikan dalam Sangsakala Bumi Rekeh Iki (Michrob, 2011: 76).
Pembentukan (takwin dakwah) Sultan ini sudah menjadi konsep Islam yang baku dalam proses islamisasi, dalam pandangan Hakim (2003: 11) bahwa sistem terpadu dalam pembentukan masyarakat madani (sejahtera) adalah mempersiapkan kader-kader militan yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang unggul untuk mempercepat suksesi pembangunan. Sehingga rencana pembangunan tidak serta merta dibuat tanpa adanya SDM berkualitas. Inilah yang diinformasikan Al-Quran bahwa apabila telah dioptimalkan kemampuan dengan semestinya, maka akan tercipta manggala-manggala yang konsekuen untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, akhirnya Al-Quran memberikan gelar umat terbaik (khaira ummah).
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ
أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya: “Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli
Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada
yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
(QS. Ali Imran [3]: 110).Ketiga, dalam rangka mensukseskan program pembangunan, Sang Sultan Maulana Hasanuddin Banten melakukan musyawarah rencana pembangunan (musrembang). Usaha Sultan Hasanuddin pengembangan Banten lebih menitikberatkan pada pengembangan di sektor perdagangan, di samping memperluas daerah pertanian dan perkebunan. Selain itu, Sultan melakukan kajian-kajian pembangunan berwawasan keislaman. Karena banyaknya pedagang muslim selain aktif berniaga juga menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk negeri, maka di Banten tepatnya di Karangantu sering diadakan perkumpulan-perkumpulan musyawarah untuk mencapai dakwah dan kesejahteraan umat. Perkumpulan itu dinamakan dengan reboan, karena dilakukan pada setiap Rabu awal bulan, kemudian majelis reboan berubah menjadi mudzakaratul ‘ilmi (Ismanto, dkk). Hasil dari kegiatan yang difasilitasi oleh Sultan, dan Sultan pun turun ke bawah (blusukan) menghasilkan berdirinya Masjid Kasunyatan, Masjid Agung dekat alun-alun, pembukaan jalur Karangantu-Pontang, dsb.
Kegiatan ini terurai dalam Al-Quran, bahwa sekecil apa pun pola pembinaan umat harus didasari dengan asas musyawarah, saling bertukar pikiran secara bijak, keras terhadap persoalan penyimpangan dan kekafiran. Sebab strategi perjuangan pembangunan dibingkai dengan kebulatan tekad dan tawakal, sehingga rahmat Allah akan senantiasa ada dalam langkah dan kebijakan.
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ
الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran [3]: 159).E. Menggagas Solusi Pembangunan Masyarakat Sejahtera di Provinsi Banten
Inspiring spirit Sultan Maulana Hasanuddin Banten haruslah menjadi referensi akurat dalam pembangunan daerah. Sebab kenyataannya, diakui bahwa banyak keberhasilan yang dicapai dalam penyelenggaraan pemerintah Provinsi Banten sejak berdiri pada tahun 2000 hingga 2014 ini, namun tidak berarti tidak ada kekurangan sama sekali. Keberhasilan yang sering kali diklaim dalam Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Gubernur dari tahun ke tahun, sering kali itu pula bertolak belakang dengan realitas makin banyaknya masyarakat Banten yang masih dilanda kesulitan-kesulitan hidup. Di sisi lain, keberhasilan yang terjadi faktanya nyaris diragukan sebagai kontribusi dari pemerintah Provinsi Banten. Diskursus inilah yang nyaris mengemuka dari tahun ke tahun, manakala pemerintah provinsi menyampaikan LKPJ-nya, rupa permasalahan yang dicopy-paste, klasik, dan terus berulang.
Ada langkah-langkah solutif yang perlu dibangun hari ini untuk mewujudkan masyarakat sejahtera, di antaranya:
Pertama, spiritualitas visi dan misi pemimpin. Seorang bijak pernah mengatakan: “Satu-satunya alasan mengapa kita selalu melihat kaca spion, semata-mata kita hendak maju ke depan”. Seorang pemimpin harus memiliki komitmen kuat untuk menjaga tauhid dirinya dan masyarakatnya sehingga tercapai keinginan membangun kemuliaan (greatness) sebagai manusia. Komitmen tersebut akan mengantarkan pada upaya terus-menerus untuk memperbaiki kesalahan para pemimpin masa lampau. Untuk merawat dan membangkitkan stamina itu, manusia membutuhkan cita-cita untuk mewariskan kemuliaan di hadapan Allah SWT inilah yang disebut sebagai aktualisasi kecerdasan spiritual pemimpin baru.
Spiritualitas pemimpin adalah berbasis pada Al-Quran yang memiliki orientasi dan evaluasi pada tegaknya nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, kepedulian dan sifat-sifat Tuhan lainnya dalam 99 sifat Tuhan asmaul husna.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا
قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al-Hasyr [59]: 18).Kedua, memiliki agenda kemuliaan (wisdom master plan) tidak sebatas propaganda dan deklarasi semata. Tindakan menuju kemuliaan ini bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat Banten harus dibangun dengan sinergitas partisipasi untuk melakukan pekerjaan mulia bersama-sama.
Salah satu titik kelemahan hampir semua pembangunan yang telah dilakukan tidak tepat sasaran, tidak efektif, efisien, dan terkesan subjektif. Ini dikarenakan tidak memiliki master plan yang menyeluruh dan terintegrasi secara penuh, belum lagi master plan tersebut tidak wisdom positioning yang akurat. Pembangunan yang sudah dilakukan, terutama mengenai infrastruktur, dilakukan per-segmen wilayah dan tidak berkesinambungan, terkesan hanya untuk menjalankan proyek dan menghabiskan anggaran bahkan sekedar menjalankan titipan dari yang punya kepentingan. Alhasil, banyak daftar antrian di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang notabene para inohong/pejabat Banten.
Orientasi perwujudan masyarakat Provinsi Banten dengan master plan mulia sejatinya menjadi concern dengan pembangunan. Tidak melulu meramu isu untuk kepentingan memeras project sesaat. Jika demikian, perwujudan masyarakat sejahtera di Provinsi Banten hanya omong kosong yang tak akan mungkin bisa diwujudkan. Bahkan bisa jadi akan berubah sebaliknya, menjadi negeri yang kering kerontang sebab tidak memikirkan apa yang Allah telah berikan anugerahnya.
لَقَدْ
كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ
وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ
طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Artinya: “Sesungguhnya bagi kaum Saba’
ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah
kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
“Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan
bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan
(Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (QS. Saba’ [34]: 15).F. Penutup
Fakta-fakta sejarah keberhasilan Kesultanan Banten yang dinakhodai oleh Sultan Maulana Hasanuddin Banten serta sejumlah persoalan yang diungkap di atas, menjadi hal yang mendasar, wajah sekaligus tantangan pembangunan Banten ke depan terutama dalam mensejahterakan masyarakatnya.
Lebih dari sekedar kerja keras yang dibutuhkan untuk mengembalikan inspirasi dan motivasi kebijakan Sultan Maulana Hasanuddin Banten, tetapi juga kerja cerdas dengan mengoptimalkan seluruh potensi stake holders pembangunan daerah, tanpa terjebak pada “kepentingan” politik, apalagi terikat pada politik “balas budi” kelompok-kelompok pendukung selama pilkada (bargaining politic). Bila itu terjadi, maka dapat dipastikan kepentingan rakyat akan selalu di“anak tiri”kan. Akhirnya hanya dengan tidak melupakan sejarahlah dan mengambil hikmahnya (terutama dari kesuksesan Sultan Hasanuddin Banten). Betul apa yang disampaikan Bung Karno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarahmu yang sudah, wahai bangsaku! Karena jika engkau meninggalkan sejarahmu yang sudah, engkau akan berdiri di atas vacum, engkau akan berdiri di atas kekosongan, dan lantas engkau menjadi bingung, dan perjuanganmu paling-paling hanya berupa amuk, amuk belaka…” (Iskandar, 2008: 11).
Terakhir, semoga tulisan ini menjadi referensi dari sekian banyak asupan gizi pemikiran yang masuk kepada para stake holder di Provinsi Banten, sehingga Moto Juang Banten “Iman Takwa” tetap berkibar dalam koridor kearifan lokal Sang Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Semoga!
Wallahu a’lam bisshowab.
Sumber: Irhamni Rofiun / dakwatuna
Imam Abu Hanifah
Biografi Imam Abu Hanifah ini merupakan satu dari
serial biografi emapt Imam Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang
madzhabnya tersebar di seluruh dunia Islam. Mereka merupakan mujtahid
dan ulama besar yang diikuti oleh umat Islam hingga saat ini.
Insya Allah setelah biografi Imam Abu Hanifah akan kami tayangkan pula Imam madzhab lainnya dari empat Imam madzhab. Marilah kita pelajari dan kita kenali siapa Imam Abu Hanifa.
1. Nama dan Nasab
Imam Adz-Dzahabi berkata, “Dia seorang Imam, faqihul millah (ahli fiqihnya millah ini), ulamanya Iraq, Abu Hanifah Nu’man bin tsabit bin Zautha, At-Taimi, Al-Kufi, Maula Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. Disebutkan juga bahwa beliau keturunan Persia.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/390)
Syaikh At-Taqi Al-Ghazi berkata, “Dialah imamnya para imam, penerang bagi umat, lautan ilmu dan keutamaan, ulamanya Iraq, ahli fiqih dunia seluruhnya, orang setelahnya menjadi lemah di hadapannya, dan yang semasanya, belum pernah mata melihat yang semisalnya, belum ada seorang mujtahid mencapai derajat seperti kesempurnaan dan keutamaannya.” (Ath-Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 24)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha –dengan huruf zay yang didhammahkan dan tha difathahkan- inilah yang masyhur. Ibnu Asy-Syahnah menukil dari gurunya Majduddin Al-Fairuzzabadi dalam Thabaqat Al-Hanafiyah: bahwa huruf zay difathahkan dan tha juga difathahkan (jadi bacanya Zautha), sebagaimana Sakra. Dahulu Zautha adalah seorang raja dari Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. (Ibid)
Syaikh At-Taqi Al-Ghazi juga berkata, “Terjadi perselisihan pendapat tentang asal daerahnya, ada yang mengatakan dari Kaabil, ada pula yang menyebut Baabil, ada yang menyebut Nasaa, ada yang mengatakan Tirmidz, ada juga yang menyebut Al-Anbar, dan lainnya.
Sirajuddin Al-Hindi menyebutkan bahwa cara kompromis dari semua riwayat ini adalah bahwa kakek beliau berasal dari Kaabil, lalu pindah ke Nasaa, lalu ke Tirmidz, atau ayahnya dilahirkan di Baabil, lalu dia dibesarkan di Al-Anbar, dan seterusnya. Ibnu Asy-Syahnah mengatakan bahwa kompromis seperti ini sebenarnya berasal dari Khathib Khawarizmi. Lalu dia mengatakan: sebagaimana Abu Al-Ma’ali Al-Fadhl bin Sahl Al-Isfirayini, karena ayahnya berasal dari Isfirayin, dan dia dilahirkan di Mesir, besar di Halab, lalu mukim di Baghdad, dan wafat di sana, sehingga disebutkan untuk dia: Al-Mishri, Al-Halabi, dan Al-Baghdadi.” (Ibid. Lihat juga Al-Qadhi Abu Abdillah Husein bin Ali Ash-Shimari, Akhbar Abi Hanifah, Hal. 15-16)
Dia dinamakan Hanifah karena sering membawa tinta, yang di Iraq dikenal dengan sebutan Hanifah. Beliau juga dijuluki Imamul A’zham, dan telah banyak kitab para ulama yang menyebutnya demikian, seperti kitab Manaqib Imam Al-A’zham Abi Hanifah, Al-Khairat Al-Hissan fi Manaqib Al-Imam Al-A’zham Abi Hanifah An-Nu’man, dan lainnya.
Ada sebagian orang yang menolak, bahwa Imam Abu Hanifah dijuluki Imamul A’zham oleh para ulama, dengan alasan karena Imamul A’zham adalah sebutan untuk khalifah, dan karena Imam Abu Hanifah bukan khalifah, maka dia bukan Imamul A’zham. Jelas bahwa itu adalah penolakan yang mengada-ada dan sangat ceroboh, sebab sebutan Imamul A’zham pada kenyataan sejarah bukan hanya untuk khalifah, bahkan selain Imam Abu Hanifah pun para ulama juga juga menyebut Imam Asy-Syafi’i dengan Imamul A’zham. Imam Abul Fadhl Fakhrurrazi menyusun sebuah kitab berjudul Manaqib Al-Imam Al-A’zham Asy-Syafi’i. (Lihat Akhbar Ulama bi Akhbaril Hukama, Hal. 124. Mawqi’ Al-Warraq)
2. Kelahirannya
Beliau dilahirkan tahun 80 Hijriyah, ada juga yang menyebut 61 Hijriyah seperti dikatakan Muzahim bin Daud bin ‘Uliyah, tetapi yang shahih dan masyhur adalah 80 Hijriyah. Telah dikatakan oleh anaknya sendiri yakni Hammad, lalu Abu Nu’aim, bahwa Beliau dilahirkan tahun 80 Hijriyah. (Thabaqat As Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 25. Akhbar Abi Hanifah, Hal. 16-17)
Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Lahir tahun 80 hijriyah, pada masa shigharush shahabah (sahabat nabi yang junior), dan sempat melihat Anas bin Malik ketika Anas datang ke kota Kufah.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/391)
Imam Abu Hanifah sempat berjumpa dengan beberapa sahabat nabi, yakni Abdullah bin Al-Haarits dan Beliau mengambil hadits darinya, Abdullah bin Abi ‘Aufa, dan Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah. Beliau berjumpa dengan Anas bin Malik tahun 95 Hijriyah, dan meriwayatkan hadits darinya, serta bertanya kepadanya tentang sujud sahwi. (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 18-19)
Bahkan Ismail, cucu dari Imam Abu Hanifah, menceritakan:
ولد جدي في سنة ثمانين، وذهب ثابت إلى علي وهو صغير، فدعا له بالبركة فيه و في ذريته، ونحن نرجو من الله أن يكون استجاب ذلك لعلي رضي الله عنه فينا.
Kakekku dilahirkan tahun 80 Hijriyah, dan Tsabit (ayah Abu Hanifah) pergi mendatangi Ali bin Abi Thalib, saat itu dia masih kecil, lalu Ali mendoakannya dengan keberkahan untuknya dan keturunannya, dan kami mengharapkan kepada Allah agar mengabulkan hal itu, karena doa Ali Radhiallahu ‘Anhu pada kami. (Siyar A’lamin Nubala, 6/395)
3. Sifat-Sifat dan Penampilan
Imam Abu Nu’aim menceritakan bahwa Imam Abu Hanifah berparas tampan, jenggotnya rapi, pakaiannya bagus, sendalnya bagus, dan dermawan bagi orang di sekelilingnya. (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 16)
Imam Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
ما كان أوقر مجلس أبي حنيفة كان يتشبه الفقهاء به وكان حسن السمت حسن الوجه حسن الثوب
Tidak ada yang seberwibawa majelisnya Abu Hanifah, dahulu para ahli fiqih menirunya, dia berperilaku baik, wajahnya bagus, dan pakaiannya bagus. (Ibid, Hal. 17)
Beliau adalah penenun sutera, dan menjualnya, dia memiliki toko yang terkenal di rumahnya Amru bin Huraits. (Siyar A’lamin Nubala, 6/394)
Salah seorang kawan dan muridnya, Imam Abu Yusuf bercerita:
كان أبو حنيفة رحمه الله ربعة من الرجال ليس بالقصير ولا بالطويل وكان أحسن الناس منطقا وأحلاهم نغمة وأبينهم عما يريد
Abu Hanifah Rahimahullah laki-laki yang berperawakan ideal, tidak pendek, dan tidak tinggi. Dia adalah manusia yang paling bagus tutur katanya, dan paling bagus suaranya ketika bersenandung, dan paling bisa menerangkan kepada orang lain apa yang diinginkannya. (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 17, Siyar A’lamin Nubala, 6/399)
Dalam Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Imam Ibnu Muflih berkata:
قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ
“Berkata pengarang Al-Muhith dari kalangan Hanafiyah, dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya, “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab, “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu Muflih, Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mawqi’ Al-Islam)
Kisah ini menjadi petunjuk bahwa Imam Abu Hanifah merupakan salah satu imam yang membolehkan Isbal (menjulurkan pakaian hingga melebihi mata kaki), kecuali jika dibarengi dengan sombong (khuyala’).
4. Kemampuan dalam ilmu hadits
Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah bercerita:
وقال صالح بن محمد: سمعت يحيى بن معين يقول: كان أبو حنيفة ثقة في الحديث، وروى أحمد بن محمد بن القاسم بن محرز، عن ابن معين: كان أبو حنيفة لا بأس به. وقال مرة: هو عندنا من أهل الصدق، ولم يتهم بالكذب.
Shalih bin Muhammad berkata: Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqah (terpercaya) dalam hadits.” Ahmad bin Muhammad bin Al-Qasim bin Mihraz meriwayatkan dari Ibnu Ma’in, “Abu Hanifah laa ba’sa bihi (tidak apa-apa).” Dia berkata lagi, “Bagi kami dia adalah ahlus sidhqi (orang yang jujur), dan tidak dituduh sebagai pendusta.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/395)
Namun, sebagian ulama ada yang mendhaifkannya dari sisi hafalannya, seperti Imam An-Nasa’i, Imam Ibnu ‘Adi, dan lainnya. Imam Adz-Dzahabi sendiri menyebutnya sebagai Imam Ahl Ar Ra’yi. (Imamnya para pengguna rasio). (Mizanul I’tidal, 4/265)
Pendhaifan yang dilakukan oleh Imam An-Nasa’i dan Imam Ibnu ‘Adi terhadap diri Imam Abu Hanifah, telah dikoreksi para ulama. Cukuplah bagi kita pujian yang datangnya dari manusia yang hidup sezaman dengannya, dan pernah bertemu dengannya pula, seperti Imam Abdullah bin Mubarak, Imam Malik, Imam Ali bin Al-Madini, Imam Yahya bin Adam, Imam Al-Hasan bin Shalih, dan lainnya, dibandingkan kritikan dari Imam An-Nasa’i dan Imam Ibnu ‘Adi yang hidupnya satu sampai dua abad setelah Imam Abu Hanifah.
Ahlur Ra’yi adalah orang yang lebih dominan menggunakan ra’yu (pendapat-aql), dibanding atsar (naql). Oleh karenanya sebagian orang menuduh Imam Abu Hanifah hanya sedikit menggunakan hadits, dibanding akalnya sendiri. Ada yang menyebut bahwa Beliau hanya menggunakan hadits sebanyak tujuh belas saja!
Namun hal ini disanggah oleh para ulama yang mengkaji kehidupan Beliau secara objektif. Seperti Imam Ibnu Khaldun misalnya dalam kitab Muqaddimah. Menurutnya, sedikitnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hanifah bukan karena Beliau menolak hadits, tetapi lebih disebabkan karena kehati-hatian dan ketatnya syarat-syarat hadits shahih yang ditetapkannya, berbeda dengan imam lainnya yang lebih longgar. Bagaimana mungkin Beliau tidak menggunakan hadits, padahal Beliau telah menjadi imamnya para imam, fuqaha, dan ahli hadits, sehingga Beliau menjadi muassis (peletak dasar) madzhab Hanafi. Sebutlah para fuqaha hanafi, seperti: Imam Muhammad bin Hasan, Al-Qadhi Abu Yusuf, Imam Kamaluddin bin Al-Hummam, Imam Ibnu ‘Abidin, dan lainnya. Juga para imam ahli hadits, seperti Imam Abu Ja’far Ath Thahawi, Imam Az Zaila’i, Imam Al-Marghinani, dan lainnya.
Ditambah lagi, beliau menyusun ilmu pengetahuan dari madrasah ilmiah di Kufah, yang sejak awalnya sudah difondasikan oleh salah satu sahabat nabi, Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, yang memadukan hadits dan fiqih sekaligus. Dari madrasah ilmiah ini lahirlah para imam tabi’in, seperti Ibrahim An-Nakha’i, Hammad bin Abi Sulaiman, dan Imam Abu Hanifah salah satunya di generasi setelah mereka.
Oleh karenanya, tepat apa yang dikatakan oleh Imam Yahya bin Ma’in tentang beliau:
كَانَ أَبُو حَنِيْفَةَ ثِقَةً، لاَ يُحَدِّثُ بِالحَدِيْثِ إِلاَّ بِمَا يَحْفَظُه، وَلاَ يُحَدِّثُ بِمَا لاَ يَحْفَظُ
Abu Hanifah adalah tsiqah, dia tidak akan berbicara dengan hadits kecuali dengan yang dihafalnya, dan tidak akan berbicara dengan yang tidak dihafalnya. (Tarjamah Al-Aimmah Al-Arba’ah, Hal. 9)
Imam Ibnu Khaldun Rahimahullah berkata:
والامام أبوحنيفة إنما قلت روايته لما شدد في شروط الرواية والتحمل، وضعف رواية الحديث اليقيني إذا عارضها الفعل النفسي. وقلت من أجلها روايته فقل حديثه. لا أنه ترك رواية الحديث متعمدا، فحاشاه من ذلك. ويدل على أنه من كبإر المجتهدين في علم الحديث اعتماد مذهبه بينهم، والتعويل عليه واعتباره رداً وقبولا. واما غيره من المحدثين وهم الجمهور، فتوسعوا في الشروط وكثر حديثهم، والكل عن اجتهاد. وقد توسع اصحابه من بعده في الشروط وكثرت روايتهم.
وروى الطحاوي فاكثر وكتب مسنده، وهو جليل القدر إلا أنه لا يعدل الصحيحين، لأن الشروط التي اعتمدها البخاري ومسلم في كتابيهما مجمع عليها بين الأمة كما قالوه. وشروط الطحاوي في غير متفق عليها، كالرواية عن المستور الحال وغيره
Imam Abu Hanifah sedikit riwayat haditsnya sebab Beliau sangat ketat dalam menetapkan syarat-syarat riwayat dan penakwilannya, Beliau mendhaifkan hadits jika hadits tersebut dinilai bertentangan dengan nalar secara meyakinkan. Maka dari itu Beliau telah mempersulit dirinya sendiri, dan sedikitnya riwayat hadits darinya adalah karena hal itu. Bukan karena Beliau sengaja meninggalkan hadits, sungguh Beliau jauh dari sikap itu.
Hal yang membuktikan bahwa Beliau seorang mujtahid besar dalam hadits adalah bahwa para ulama telah menyandarkan diri mereka kepada madzhabnya dan telah memberikan kepercayaan kepadanya.
Sedangkan para ahli hadits yang lain, yaitu jumhur (mayoritas), lebih longgar dalam menetapkan syarat-syaratnya. Sehingga hadits mereka banyak dan lapang dalam berijtihad. Namun demikian, para pengikut Abu Hanifah lebih longgar dalam menetapkan syarat-syarat periwayatan, sehingga hadits mereka juga banyak.
Ath-Thahawi meriwayatkan paling banyak dan menulis Musnadnya, yaitu kitab Jalilul Qadr. Tetapi belum sebanding dengan Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Sebab syarat-syarat yang ditetapkan oleh Al-Bukhari dan Muslim telah disepakati umat, sebagaimana yang mereka katakan, sedangkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Ath-Thahawi belum disepakati mereka. Seperti riwayat yang datangnya dari orang yang masih tersembunyi keadaaanya dan lain-lainnya. (Imam Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Hal. 255. Mawqi’ Al-Warraq)
5. Kesungguhannya memegang sunah nabi
Disebutkan dalam Siyar Alamin Nubala:
وعن أبي معاوية الضرير قال: حب أبي حنيفة من السنة
Dari Abu Mu’awiyah Adh-Dharir, katanya, “Abu Hanifah sangat berkomitmen dengan sunah nabi.” (Imam Adz-Dzahabi, Siyar Alamin Nubala, 3/401)
Imam Abu Hanifah berkata:
ما جاء عن الرسول صلى الله عليه وسلم، فعلى الرأس والعين، وما جاء عن الصحابة اخترنا، وما كان من غير ذلك، فهم رجال ونحن رجال.
Apa-apa yang datang dari Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wajib bagi mata dan kepala untuk mengikutinya, dan yang datang dari para sahabat maka kami akan memilihnya, dan yang datang dari selain mereka, maka mereka laki-laki kami pun laki-laki. (Ibid)
Maksudnya jika sebuah permasalahan terhenti pada pendapat tabi’in, tidak ada hadits, tidak pula perkataan sahabat, yang ada adalah perkataan setelah mereka yakni tabi’in, maka Beliau akan berijtihad sebab Beliau juga laki-laki yang memiliki kemampuan sebagaimana mereka.
6. Akhlak dan Ibadahnya
Asad bin Amru berkata:
أن أبا حنيفة، رحمه الله، صلى العشاء والصبح بوضوء أربعين سنة
Bahwa Abu Hanifah Rahimahullah melakukan shalat isya dan subuh dengan sekali wudhu selama 40 tahun. (Ibid, 6/399)
Al-Qadhi Abu Yusuf menceritakan:
بينما أنا أمشي مع أبي حنيفة، إذ سمعت رجلا يقول لآخر: هذا أبو حنيفة لا ينام الليل. فقال أبو حنيفة: والله لا يتحدث عني بما لم أفعل. فكان يحيى الليل صلاة وتضرعا ودعاء.
Ketika saya sedang berjalan bersama Abu Hanifah, saya mendengar seseorang berkata kepada yang lain, “Inilah Abu Hanifah, dia tidak pernah tidur malam.” Lalu Abu Hanifah berkata, “Demi Allah, Dia tidak membicarakan tentang aku dengan apa-apa yang aku tidak pernah lakukan.” Maka Beliau senantiasa menghidupkan malam dengan penuh kerendahan dan banyak berdoa. (Ibid)
Imam Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
ما رأيت رجلا أوقر في مجلسه، ولا أحسن سمتا وحلما من أبي حنيفة
Saya belum pernah melihat seorang laki-laki yang lebih berwibawa di majelisnya, dan tidak ada yang lebih bagus diam dan sabarnya dibanding Abu Hanifah. (Ibid, 6/400)
Al-Mutsanna bin Raja’ berkata:
جعل أبو حنيفة على نفسه، إن حلف بالله صادقا، أن يتصدق بدينار. وكان إذا أنفق على عياله نفقة تصدق بمثلها.
Abu Hanifah telah bersumpah kepada Allah dengan sebenar-benarnya bahwa dia akan bersedekah dengan dinar, yaitu jika dia telah membelanjakan sejumlah uangnya untuk keluarganya, maka dia akan menyedekahkan uang sebanyak itu pula. (Ibid)
Imam Adz-Dzahabi menyebutkan berbagai pujian ulama tentang akhlaq dan ibadahnya Imam Abu Hanifah:
وعن شريك قال: كان أبو حنيفة طويل الصمت، كثير العقل. وقال أبو عاصم النبيل: كان أبو حنيفة يسمى الوتد لكثرة صلاته. وروى بن إسحاق السمرقندي، عن القاضي أبي يوسف قال: كان أبو حنيفة يختم القرآن كل ليلة في ركعة. يحيى بن عبدالحميد الحماني، عن أبيه أنه صحب أبا حنيفة ستة أشهر، قال: فما رأيته صلى الغداة إلا بوضوء عشاء الآخرة، وكان يختم كل ليلة عند السحر.
Dari Syarik, dia berkata, “Imam Abu Hanifah lama diamnya dan banyak akalnya (cerdas).” Berkata Abu ‘Ashim An-Nail, “Abu Hanifah juga dinamakan Al-Watid karena banyak shalatnya.” Ibnu Ishaq As Samarqandi meriwayatkan dari Al-Qadhi Abu Yusuf, “Abu Hanifah mengkhatamkan Al-Quran setiap malam dalam satu rakaat.” Yahya bin Abdul Hamid Al-Himani, dari ayahnya bahwa Dia menemani Abu hanifah selama enam bulan, dia berkata, “Aku belum pernah melihatnya shalat subuh melainkan dengan wudhu shalat Isya, dan dia senantiasa mengkhatamkan Al-Quran setiap malam pada waktu sahur. (Ibid)
Diriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah telah mengkhatamkan Al-Quran 7000 kali. (Ibid)
Imam Adz-Dzahabi juga menceritakan:
عن القاسم بن معن، أن أبا حنيفة قام ليلة يردد قوله تعالى: (بل الساعة موعدهم والساعة أدهى وأمر) [ القمر: 46 ] ويبكي ويتضرع إلى الفجر.
Dari Al-Qasim bin Mu’in, bahwa Imam Abu Hanifah bangun untuk shalat malam dan mengulang-ulang firman Allah Taala: (sebenarnya hari kiamat Itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit. (Al-Qamar: 46), lalu Beliau menangis dan tertunduk hingga fajar. (Ibid, 6/401)
Yazid bin Harun berkata:
ما رأيت أحدا أحلم من أبي حنيفة.
Saya belum pernah melihat seorang pun yang lebih penyabar dibanding Abu Hanifah. (Ibid)
7. Sanjungan ulama terhadap ilmu dan kecerdasannya
Hayyan bin Musa Al-Marwadzi berkata:
سئل ابن المبارك: مالك أفقه، أو أبو حنيفة ؟ قال: أبو حنيفة.
Ibnul Mubarak ditanya, “Mana yang lebih paham tentang fiqih, Malik atau Abu Hanifah? Beliau berkata: Abu Hanifah.” (Ibid, 6/402)
Imam Yahya Al-Qaththan berkata:
لا نكذب الله، ما سمعنا أحسن من رأي أبي حنيفة، وقد أخذنا بأكثر أقواله
Kami tidak membohongi Allah, kami belum pernah mendengar pendapat yang lebih baik dibanding pendapat Abu Hanifah, dan kami telah mengambil lebih banyak dari pendapatnya. (Ibid)
Disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi:
وقال علي بن عاصم: لو وزن علم الامام أبي حنيفة بعلم أهل زمانه، لرجح عليهم.
وقال حفص بن غياث: كلام أبي حنيفة في الفقه، أدق من الشعر، لا يعيبه إلا جاهل.
وقال جرير: قال لي مغيرة: جالس أبا حنيفة تفقه، فإن إبراهيم النخعي لو كان حيا لجالسه.
وقال ابن المبارك: أبو حنيفة أفقه الناس. وقال الشافعي: الناس في الفقه عيال على أبي حنيفة
Berkata Ali bin ‘Ashim, “Seandainya ditimbang ilmu Imam Abu Hanifah dengan ilmu manusia yang hidup pada zamannya, niscaya ilmunya lebih berat dibanding mereka.”
Berkata Hafsh bin Ghiyats, “Perkataan Abu Hanifah dalam fiqih, lebih dalam dibanding syair, dan tidak ada yang meng-’aibkan dirinya melainkan orang bodoh.”
Jarir berkata: Mughirah berkata kepadaku, “Duduklah bersama Abu Hanifah niscaya kau akan mengerti, sungguh seandainya Ibrahim An-Nakha’i hidup niscaya dia (Ibrahim) akan duduk di hadapannya (untuk belajar).”
Ibnul Mubarak berkata, “Abu Hanifah adalah manusia paling paham tentang fiqih.”
Asy-Syafi’i berkata, “Dalam fiqih, manusia (para ulama) adalah satu keluarga dengan Abu Hanifah.” (Ibid, 6/403)
Imam Asy-Syafi’i berkata:
قيل لمالك: هل رأيت أبا حنيفة ؟ قال: نعم. رأيت رجلا لو كلمك في هذه السارية أن يجعلها ذهبا لقام بحجته.
Ditanyakan kepada Imam Malik, “Apakah engkau pernah melihat Imam Abu Hanifah? Beliau berkata, “Ya, aku melihat seorang laki-laki yang jika dia mengatakan kepadamu bahwa dia ingin menjadikan tiang ini emas, maka itu akan terjadi karena hujjah yang dimilikinya.” (Ibid, 6/399)
Imam Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
لولا أن الله أعانني بأبي حنيفة وسفيان، كنت كسائر الناس.
Kalau bukan pertolongan Allah kepadaku melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri, niscaya aku sama saja dengan kebanyakan manusia (awam). (Ibid, 6/398)
Beliau juga berkata:
إن كان الأثر قد عرف واحتيج إلى الرأي فرأي مالك وسفيان وأبي حنيفة وأبو حنيفة أحسنهم وأدقهم فطنة وأغوصهم على الفقه وهو أفقه الثلاثة
Walau pun atsar sudah diketahui, berhujahlah dengan pendapat juga yaitu pendapat Malik, Sufyan, dan Abu Hanifah. Pendapat Abu Hanifah adalah terbaik diantara mereka, lebih detail kecerdasannya, lebih dalam fiqihnya, dan dia lebih faqih di antara bertiga itu. (Akhbar Abi Hanifah, hal. 84)
Muhammad bin Bisyr berkata: Aku pernah bergantian mengunjungi Sufyan Ats-Tsauri dan Abu Hanifah. Ketika aku mendatangi Abu Hanifah dia bertanya, “Dari mana kamu?” Aku jawab, “Aku datang dari sisi Sufyan Ats Tsauri.” Abu Hanifah menjawab, “Engkau datang dari sisi seorang laki-laki yang seandainya ‘Alqamah dan Al-Aswad melihat semisal orang itu (maksudnya Sufyan), maka mereka berdua akan berhujjah dengannya.” Lalu aku mendatangi Sufyan Ats-Tsauri, dia bertanya, “Dari mana kamu?” Aku jawab, “Aku datang dari sisi Abu Hanifah.” Sufyan menjawab, “Engkau datang dari sisi seorang yang paling faqih di antara penduduk bumi.” (Tarikh Baghdad, 15/459)
Syadad bin Hakim berkata:
ما رأيت أعلم من أبي حنيفة
Aku belum pernah melihat orang yang lebih berilmu dibanding Abu Hanifah. (Ath-Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 29)
Abdullah bin Daud pernah berkomentar tentang orang yang suka menggunjingkan Imam Abu Hanifah:
لايتكلم فِي أبي حنيفَة إِلَّا أحد رجلَيْنِ إِمَّا حَاسِد لعلمه وَإِمَّا جَاهِل بِالْعلمِ
Tidak ada yang menggunjingkan Abu Hanifah melainkan satu di antara dua laki-laki: orang yang dengki terhadap ilmunya, dan orang yang bodoh terhadap keilmuannya. (Imam Al-Husein bin Ali bin Muhammad Al-Hanafi, Akhbar Abi Hanifah, Hal. 64)
Bisyar bin Qirath menceritakan tentang kedudukan Imam Abu Hanifah dan Imam Sufyan Ats-Tsauri:
حججْت مَعَ أبي حنيفَة وسُفْيَان فَكَانَا إِذا نزلا منزلا أَو بَلْدَة اجْتمع عَلَيْهِمَا النَّاس وَقَالُوا فَقِيها الْعرَاق فَكَانَ سُفْيَان يقدم أَبَا حنيفَة وَيَمْشي خَلفه وَإِذا سُئِلَ عَن مَسْأَلَة وأبوحنيفة حَاضر لم يجب حَتَّى يكون أَبُو حنيفَة هُوَ الَّذِي يُجيب
Aku haji bersama Abu Hanifah dan Sufyan, jika mereka berdua berhenti di sebuah tempat atau negeri manusia berkumpul mengelilingi mereka, mereka bilang, “Ahli Fiqihnya Irak (maksudnya Abu Hanifah).” Sufyan lebih mendahulukan Abu Hanifah, dia berjalan di belakangnya dan jika dia ditanya sebuah masalah dan hadir di situ Abu Hanifah, dia tidak akan menjawabnya sampai Abu Hanifah-lah yang menjawabnya. (Ibid, Hal. 73)
8. Kata-kata hikmah dari Imam Abu Hanifah
Banyak kata-kata hikmah yang disandarkan sebagai ucapannya, di antaranya:
إذا ثبت الحديث فهو مذهبي واتركوا قولي بقول رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Jika ada hadits yang kuat, maka hadits itu adalah pendapatku, dan tinggalkanlah perkataanku dan gantilah dengan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Syaikh Abdul Hay bin Fakhruddin Al-Hasani Ath-Thaalibi, Nuz-hah Al-Khawaathir, 6/707)
Dalam keterangan lain, ada beberapa kata-kata hikmah yang juga disandarkan kepada beliau:
لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه. وقال: حرام على من لم يعرف دليلي أن يفتي بكلامي؛ فإننا بشر نقول القول اليوم ونرجع عنه غدا . وكذلك قال: إذا قلت قولا يخالف كتاب الله تعالى وخبر الرسول فاتركوا قولي
“Tidak halal bagi seorang pun yang mengambil pendapat kami selama dia belum tahu dari mana kami mengambil pendapat kami itu.”
Beliau juga berkata, “Haram atas siapa pun yang tidak mengetahui dalilku lalu dia berfatwa dengan fatwaku, karena kami juga manusia yang bisa berpendapat pada hari ini lalu kami meralatnya esok hari.”
Beliau juga berkata, “Jika pendapatku bertentangan dengan Kitabullah dan Sunah Rasulullah, maka tinggalkanlah pendapatku.” (Syaikh Mas’ud An-Nadwi, Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum wa Muftara ‘Alaih, Hal. 55. Cat kaki No. 2)
9. Kehebatan dalam berdebat
Ada peristiwa unik dan mengagumkan tentang Imam Abu Hanifah dalam hal ini, sebagaimana diceritakan Imam Adz-Dzahabi. Khalifah Al-Manshur hendak menjadikannya sebagai seorang pejabat tinggi, yaitu sebagai Qadhi (semacam hakim agung saat itu). Raja memaksanya, namun Imam Abu Hanifah menolaknya.
Mughits bin Budail bercerita, bahwa Al-Manshur memanggil Imam Abu Hanifah untuk dijadikan sebagai Qadhi (hakim agung), maka terjadilah dialog:
فَقَالَ: أَتَرغَبُ عَمَّا نَحْنُ فِيْهِ؟, فَقَالَ: لاَ أَصْلُحُ. قَالَ: كَذَبتَ.
Berkata Khalifah, “Maukah kamu menduduki jabatan yang sekarang dibebankan kepadaku?”
Imam Abu Hanifah menjawab, “Saya tidak layak.”
Khalifah menimpali, “Bohong kamu!”
Lalu di antara jawaban Abu Hanifah yang membuat Khalifah tidak bisa berkata-kata, dan menunjukkan kehebatan Abu Hanifah dalam berdebat dan ilmu logika, seperti yang diriwayatkan oleh Ar-Raabi’ Al-Haajib berikut ini:
قَالَ أَبُو حَنِيْفَةَ: وَاللهِ مَا أَنَا بِمَأْمُوْنِ الرِّضَى، فَكَيْفَ أَكُوْنُ مَأْمُوْنَ الغَضَبِ، فَلاَ أَصلُحُ لِذَلِكَ.
قَالَ المَنْصُوْرُ: كَذَبتَ، بَلْ تَصلُحُ.
فَقَالَ: كَيْفَ يَحِلُّ أَنْ تُوَلِّيَ مَنْ يَكْذِبُ
Abu Hanifah menjawab, “Demi Allah, jika dalam keadaan senang saja aku tidak amanah, maka bagaimana bisa amanah jika aku sedang marah? Pokoknya aku tidak layak!”
Al-Manshur berkata, “Kamu bohong!”
Abu Hanifah menjawab lagi, “Kalau begitu, bagaimana bisa Anda menjadikan seorang pembohong sebagai hakim?” (Siyar A’lamin Nubala, 6/402)
Ya, kalau memang sudah tahu aku ini pembohong kok masih diangkat juga sebagai hakim? Inilah jawaban Abu Hanifah untuk mengelak menjadi seorang pejabat negara.
10. Wafatnya
Beliau meninggal di Baghdad, pada usia 70 tahun ( bulan Rajab atau Sya’ban tahun 150H), meninggalkan seorang anak bernama Hammad. Wafatnya disebabkan diberikan minuman beracun secara paksa, dan peristiwa tersebut terjadi di hadapan Khalifah Al-Manshur. Bisyr bin Al-Waalid mengatakan, “Abu Hanifah wafat di penjara dan dikuburkan di pekuburan Al-Khaiziran. Ya’qub bin Syaibah mengatakan, “Aku dikabarkan bahwa Beliau wafat dalam keadaan sujud.”
Ketika dikuburkan masih banyak orang menshalatkan di kuburnya termasuk Khalifah Al-Manshur, hingga sampai 20 hari masih banyak yang menshalatkannya. Ini menunjukkan keagungan Imam Abu Hanifah di sisi manusia saat itu.
Pada malam ketiga setelah Beliau dikuburkan, ada sebuah suara yang bersyair:
ذهب الْفِقْه فَلَا فقه لكم … فَاتَّقُوا الله وَكُونُوا خلفا مَاتَ نعْمَان فَمن هَذَا الَّذِي … يحيى اللَّيْل إِذا مَا سجفا
Telah pergi fiqih maka tidak ada lagi fiqih bagi kalian …
Takutlah kalian kepada Allah dan jadilah pengikut di belakang Nu’man setelah wafatnya …
Lalu siapakah orangnya yang menghidupkan malam ketika tabir telah diturunkan? (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 94)
Sumber: Farid Nu'man Hasan
Insya Allah setelah biografi Imam Abu Hanifah akan kami tayangkan pula Imam madzhab lainnya dari empat Imam madzhab. Marilah kita pelajari dan kita kenali siapa Imam Abu Hanifa.
1. Nama dan Nasab
Imam Adz-Dzahabi berkata, “Dia seorang Imam, faqihul millah (ahli fiqihnya millah ini), ulamanya Iraq, Abu Hanifah Nu’man bin tsabit bin Zautha, At-Taimi, Al-Kufi, Maula Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. Disebutkan juga bahwa beliau keturunan Persia.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/390)
Syaikh At-Taqi Al-Ghazi berkata, “Dialah imamnya para imam, penerang bagi umat, lautan ilmu dan keutamaan, ulamanya Iraq, ahli fiqih dunia seluruhnya, orang setelahnya menjadi lemah di hadapannya, dan yang semasanya, belum pernah mata melihat yang semisalnya, belum ada seorang mujtahid mencapai derajat seperti kesempurnaan dan keutamaannya.” (Ath-Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 24)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha –dengan huruf zay yang didhammahkan dan tha difathahkan- inilah yang masyhur. Ibnu Asy-Syahnah menukil dari gurunya Majduddin Al-Fairuzzabadi dalam Thabaqat Al-Hanafiyah: bahwa huruf zay difathahkan dan tha juga difathahkan (jadi bacanya Zautha), sebagaimana Sakra. Dahulu Zautha adalah seorang raja dari Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. (Ibid)
Syaikh At-Taqi Al-Ghazi juga berkata, “Terjadi perselisihan pendapat tentang asal daerahnya, ada yang mengatakan dari Kaabil, ada pula yang menyebut Baabil, ada yang menyebut Nasaa, ada yang mengatakan Tirmidz, ada juga yang menyebut Al-Anbar, dan lainnya.
Sirajuddin Al-Hindi menyebutkan bahwa cara kompromis dari semua riwayat ini adalah bahwa kakek beliau berasal dari Kaabil, lalu pindah ke Nasaa, lalu ke Tirmidz, atau ayahnya dilahirkan di Baabil, lalu dia dibesarkan di Al-Anbar, dan seterusnya. Ibnu Asy-Syahnah mengatakan bahwa kompromis seperti ini sebenarnya berasal dari Khathib Khawarizmi. Lalu dia mengatakan: sebagaimana Abu Al-Ma’ali Al-Fadhl bin Sahl Al-Isfirayini, karena ayahnya berasal dari Isfirayin, dan dia dilahirkan di Mesir, besar di Halab, lalu mukim di Baghdad, dan wafat di sana, sehingga disebutkan untuk dia: Al-Mishri, Al-Halabi, dan Al-Baghdadi.” (Ibid. Lihat juga Al-Qadhi Abu Abdillah Husein bin Ali Ash-Shimari, Akhbar Abi Hanifah, Hal. 15-16)
Dia dinamakan Hanifah karena sering membawa tinta, yang di Iraq dikenal dengan sebutan Hanifah. Beliau juga dijuluki Imamul A’zham, dan telah banyak kitab para ulama yang menyebutnya demikian, seperti kitab Manaqib Imam Al-A’zham Abi Hanifah, Al-Khairat Al-Hissan fi Manaqib Al-Imam Al-A’zham Abi Hanifah An-Nu’man, dan lainnya.
Ada sebagian orang yang menolak, bahwa Imam Abu Hanifah dijuluki Imamul A’zham oleh para ulama, dengan alasan karena Imamul A’zham adalah sebutan untuk khalifah, dan karena Imam Abu Hanifah bukan khalifah, maka dia bukan Imamul A’zham. Jelas bahwa itu adalah penolakan yang mengada-ada dan sangat ceroboh, sebab sebutan Imamul A’zham pada kenyataan sejarah bukan hanya untuk khalifah, bahkan selain Imam Abu Hanifah pun para ulama juga juga menyebut Imam Asy-Syafi’i dengan Imamul A’zham. Imam Abul Fadhl Fakhrurrazi menyusun sebuah kitab berjudul Manaqib Al-Imam Al-A’zham Asy-Syafi’i. (Lihat Akhbar Ulama bi Akhbaril Hukama, Hal. 124. Mawqi’ Al-Warraq)
2. Kelahirannya
Beliau dilahirkan tahun 80 Hijriyah, ada juga yang menyebut 61 Hijriyah seperti dikatakan Muzahim bin Daud bin ‘Uliyah, tetapi yang shahih dan masyhur adalah 80 Hijriyah. Telah dikatakan oleh anaknya sendiri yakni Hammad, lalu Abu Nu’aim, bahwa Beliau dilahirkan tahun 80 Hijriyah. (Thabaqat As Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 25. Akhbar Abi Hanifah, Hal. 16-17)
Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Lahir tahun 80 hijriyah, pada masa shigharush shahabah (sahabat nabi yang junior), dan sempat melihat Anas bin Malik ketika Anas datang ke kota Kufah.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/391)
Imam Abu Hanifah sempat berjumpa dengan beberapa sahabat nabi, yakni Abdullah bin Al-Haarits dan Beliau mengambil hadits darinya, Abdullah bin Abi ‘Aufa, dan Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah. Beliau berjumpa dengan Anas bin Malik tahun 95 Hijriyah, dan meriwayatkan hadits darinya, serta bertanya kepadanya tentang sujud sahwi. (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 18-19)
Bahkan Ismail, cucu dari Imam Abu Hanifah, menceritakan:
ولد جدي في سنة ثمانين، وذهب ثابت إلى علي وهو صغير، فدعا له بالبركة فيه و في ذريته، ونحن نرجو من الله أن يكون استجاب ذلك لعلي رضي الله عنه فينا.
Kakekku dilahirkan tahun 80 Hijriyah, dan Tsabit (ayah Abu Hanifah) pergi mendatangi Ali bin Abi Thalib, saat itu dia masih kecil, lalu Ali mendoakannya dengan keberkahan untuknya dan keturunannya, dan kami mengharapkan kepada Allah agar mengabulkan hal itu, karena doa Ali Radhiallahu ‘Anhu pada kami. (Siyar A’lamin Nubala, 6/395)
3. Sifat-Sifat dan Penampilan
Imam Abu Nu’aim menceritakan bahwa Imam Abu Hanifah berparas tampan, jenggotnya rapi, pakaiannya bagus, sendalnya bagus, dan dermawan bagi orang di sekelilingnya. (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 16)
Imam Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
ما كان أوقر مجلس أبي حنيفة كان يتشبه الفقهاء به وكان حسن السمت حسن الوجه حسن الثوب
Tidak ada yang seberwibawa majelisnya Abu Hanifah, dahulu para ahli fiqih menirunya, dia berperilaku baik, wajahnya bagus, dan pakaiannya bagus. (Ibid, Hal. 17)
Beliau adalah penenun sutera, dan menjualnya, dia memiliki toko yang terkenal di rumahnya Amru bin Huraits. (Siyar A’lamin Nubala, 6/394)
Salah seorang kawan dan muridnya, Imam Abu Yusuf bercerita:
كان أبو حنيفة رحمه الله ربعة من الرجال ليس بالقصير ولا بالطويل وكان أحسن الناس منطقا وأحلاهم نغمة وأبينهم عما يريد
Abu Hanifah Rahimahullah laki-laki yang berperawakan ideal, tidak pendek, dan tidak tinggi. Dia adalah manusia yang paling bagus tutur katanya, dan paling bagus suaranya ketika bersenandung, dan paling bisa menerangkan kepada orang lain apa yang diinginkannya. (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 17, Siyar A’lamin Nubala, 6/399)
Dalam Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Imam Ibnu Muflih berkata:
قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ
“Berkata pengarang Al-Muhith dari kalangan Hanafiyah, dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya, “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab, “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu Muflih, Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mawqi’ Al-Islam)
Kisah ini menjadi petunjuk bahwa Imam Abu Hanifah merupakan salah satu imam yang membolehkan Isbal (menjulurkan pakaian hingga melebihi mata kaki), kecuali jika dibarengi dengan sombong (khuyala’).
4. Kemampuan dalam ilmu hadits
Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah bercerita:
وقال صالح بن محمد: سمعت يحيى بن معين يقول: كان أبو حنيفة ثقة في الحديث، وروى أحمد بن محمد بن القاسم بن محرز، عن ابن معين: كان أبو حنيفة لا بأس به. وقال مرة: هو عندنا من أهل الصدق، ولم يتهم بالكذب.
Shalih bin Muhammad berkata: Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqah (terpercaya) dalam hadits.” Ahmad bin Muhammad bin Al-Qasim bin Mihraz meriwayatkan dari Ibnu Ma’in, “Abu Hanifah laa ba’sa bihi (tidak apa-apa).” Dia berkata lagi, “Bagi kami dia adalah ahlus sidhqi (orang yang jujur), dan tidak dituduh sebagai pendusta.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/395)
Namun, sebagian ulama ada yang mendhaifkannya dari sisi hafalannya, seperti Imam An-Nasa’i, Imam Ibnu ‘Adi, dan lainnya. Imam Adz-Dzahabi sendiri menyebutnya sebagai Imam Ahl Ar Ra’yi. (Imamnya para pengguna rasio). (Mizanul I’tidal, 4/265)
Pendhaifan yang dilakukan oleh Imam An-Nasa’i dan Imam Ibnu ‘Adi terhadap diri Imam Abu Hanifah, telah dikoreksi para ulama. Cukuplah bagi kita pujian yang datangnya dari manusia yang hidup sezaman dengannya, dan pernah bertemu dengannya pula, seperti Imam Abdullah bin Mubarak, Imam Malik, Imam Ali bin Al-Madini, Imam Yahya bin Adam, Imam Al-Hasan bin Shalih, dan lainnya, dibandingkan kritikan dari Imam An-Nasa’i dan Imam Ibnu ‘Adi yang hidupnya satu sampai dua abad setelah Imam Abu Hanifah.
Ahlur Ra’yi adalah orang yang lebih dominan menggunakan ra’yu (pendapat-aql), dibanding atsar (naql). Oleh karenanya sebagian orang menuduh Imam Abu Hanifah hanya sedikit menggunakan hadits, dibanding akalnya sendiri. Ada yang menyebut bahwa Beliau hanya menggunakan hadits sebanyak tujuh belas saja!
Namun hal ini disanggah oleh para ulama yang mengkaji kehidupan Beliau secara objektif. Seperti Imam Ibnu Khaldun misalnya dalam kitab Muqaddimah. Menurutnya, sedikitnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hanifah bukan karena Beliau menolak hadits, tetapi lebih disebabkan karena kehati-hatian dan ketatnya syarat-syarat hadits shahih yang ditetapkannya, berbeda dengan imam lainnya yang lebih longgar. Bagaimana mungkin Beliau tidak menggunakan hadits, padahal Beliau telah menjadi imamnya para imam, fuqaha, dan ahli hadits, sehingga Beliau menjadi muassis (peletak dasar) madzhab Hanafi. Sebutlah para fuqaha hanafi, seperti: Imam Muhammad bin Hasan, Al-Qadhi Abu Yusuf, Imam Kamaluddin bin Al-Hummam, Imam Ibnu ‘Abidin, dan lainnya. Juga para imam ahli hadits, seperti Imam Abu Ja’far Ath Thahawi, Imam Az Zaila’i, Imam Al-Marghinani, dan lainnya.
Ditambah lagi, beliau menyusun ilmu pengetahuan dari madrasah ilmiah di Kufah, yang sejak awalnya sudah difondasikan oleh salah satu sahabat nabi, Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, yang memadukan hadits dan fiqih sekaligus. Dari madrasah ilmiah ini lahirlah para imam tabi’in, seperti Ibrahim An-Nakha’i, Hammad bin Abi Sulaiman, dan Imam Abu Hanifah salah satunya di generasi setelah mereka.
Oleh karenanya, tepat apa yang dikatakan oleh Imam Yahya bin Ma’in tentang beliau:
كَانَ أَبُو حَنِيْفَةَ ثِقَةً، لاَ يُحَدِّثُ بِالحَدِيْثِ إِلاَّ بِمَا يَحْفَظُه، وَلاَ يُحَدِّثُ بِمَا لاَ يَحْفَظُ
Abu Hanifah adalah tsiqah, dia tidak akan berbicara dengan hadits kecuali dengan yang dihafalnya, dan tidak akan berbicara dengan yang tidak dihafalnya. (Tarjamah Al-Aimmah Al-Arba’ah, Hal. 9)
Imam Ibnu Khaldun Rahimahullah berkata:
والامام أبوحنيفة إنما قلت روايته لما شدد في شروط الرواية والتحمل، وضعف رواية الحديث اليقيني إذا عارضها الفعل النفسي. وقلت من أجلها روايته فقل حديثه. لا أنه ترك رواية الحديث متعمدا، فحاشاه من ذلك. ويدل على أنه من كبإر المجتهدين في علم الحديث اعتماد مذهبه بينهم، والتعويل عليه واعتباره رداً وقبولا. واما غيره من المحدثين وهم الجمهور، فتوسعوا في الشروط وكثر حديثهم، والكل عن اجتهاد. وقد توسع اصحابه من بعده في الشروط وكثرت روايتهم.
وروى الطحاوي فاكثر وكتب مسنده، وهو جليل القدر إلا أنه لا يعدل الصحيحين، لأن الشروط التي اعتمدها البخاري ومسلم في كتابيهما مجمع عليها بين الأمة كما قالوه. وشروط الطحاوي في غير متفق عليها، كالرواية عن المستور الحال وغيره
Imam Abu Hanifah sedikit riwayat haditsnya sebab Beliau sangat ketat dalam menetapkan syarat-syarat riwayat dan penakwilannya, Beliau mendhaifkan hadits jika hadits tersebut dinilai bertentangan dengan nalar secara meyakinkan. Maka dari itu Beliau telah mempersulit dirinya sendiri, dan sedikitnya riwayat hadits darinya adalah karena hal itu. Bukan karena Beliau sengaja meninggalkan hadits, sungguh Beliau jauh dari sikap itu.
Hal yang membuktikan bahwa Beliau seorang mujtahid besar dalam hadits adalah bahwa para ulama telah menyandarkan diri mereka kepada madzhabnya dan telah memberikan kepercayaan kepadanya.
Sedangkan para ahli hadits yang lain, yaitu jumhur (mayoritas), lebih longgar dalam menetapkan syarat-syaratnya. Sehingga hadits mereka banyak dan lapang dalam berijtihad. Namun demikian, para pengikut Abu Hanifah lebih longgar dalam menetapkan syarat-syarat periwayatan, sehingga hadits mereka juga banyak.
Ath-Thahawi meriwayatkan paling banyak dan menulis Musnadnya, yaitu kitab Jalilul Qadr. Tetapi belum sebanding dengan Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Sebab syarat-syarat yang ditetapkan oleh Al-Bukhari dan Muslim telah disepakati umat, sebagaimana yang mereka katakan, sedangkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Ath-Thahawi belum disepakati mereka. Seperti riwayat yang datangnya dari orang yang masih tersembunyi keadaaanya dan lain-lainnya. (Imam Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Hal. 255. Mawqi’ Al-Warraq)
5. Kesungguhannya memegang sunah nabi
Disebutkan dalam Siyar Alamin Nubala:
وعن أبي معاوية الضرير قال: حب أبي حنيفة من السنة
Dari Abu Mu’awiyah Adh-Dharir, katanya, “Abu Hanifah sangat berkomitmen dengan sunah nabi.” (Imam Adz-Dzahabi, Siyar Alamin Nubala, 3/401)
Imam Abu Hanifah berkata:
ما جاء عن الرسول صلى الله عليه وسلم، فعلى الرأس والعين، وما جاء عن الصحابة اخترنا، وما كان من غير ذلك، فهم رجال ونحن رجال.
Apa-apa yang datang dari Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wajib bagi mata dan kepala untuk mengikutinya, dan yang datang dari para sahabat maka kami akan memilihnya, dan yang datang dari selain mereka, maka mereka laki-laki kami pun laki-laki. (Ibid)
Maksudnya jika sebuah permasalahan terhenti pada pendapat tabi’in, tidak ada hadits, tidak pula perkataan sahabat, yang ada adalah perkataan setelah mereka yakni tabi’in, maka Beliau akan berijtihad sebab Beliau juga laki-laki yang memiliki kemampuan sebagaimana mereka.
6. Akhlak dan Ibadahnya
Asad bin Amru berkata:
أن أبا حنيفة، رحمه الله، صلى العشاء والصبح بوضوء أربعين سنة
Bahwa Abu Hanifah Rahimahullah melakukan shalat isya dan subuh dengan sekali wudhu selama 40 tahun. (Ibid, 6/399)
Al-Qadhi Abu Yusuf menceritakan:
بينما أنا أمشي مع أبي حنيفة، إذ سمعت رجلا يقول لآخر: هذا أبو حنيفة لا ينام الليل. فقال أبو حنيفة: والله لا يتحدث عني بما لم أفعل. فكان يحيى الليل صلاة وتضرعا ودعاء.
Ketika saya sedang berjalan bersama Abu Hanifah, saya mendengar seseorang berkata kepada yang lain, “Inilah Abu Hanifah, dia tidak pernah tidur malam.” Lalu Abu Hanifah berkata, “Demi Allah, Dia tidak membicarakan tentang aku dengan apa-apa yang aku tidak pernah lakukan.” Maka Beliau senantiasa menghidupkan malam dengan penuh kerendahan dan banyak berdoa. (Ibid)
Imam Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
ما رأيت رجلا أوقر في مجلسه، ولا أحسن سمتا وحلما من أبي حنيفة
Saya belum pernah melihat seorang laki-laki yang lebih berwibawa di majelisnya, dan tidak ada yang lebih bagus diam dan sabarnya dibanding Abu Hanifah. (Ibid, 6/400)
Al-Mutsanna bin Raja’ berkata:
جعل أبو حنيفة على نفسه، إن حلف بالله صادقا، أن يتصدق بدينار. وكان إذا أنفق على عياله نفقة تصدق بمثلها.
Abu Hanifah telah bersumpah kepada Allah dengan sebenar-benarnya bahwa dia akan bersedekah dengan dinar, yaitu jika dia telah membelanjakan sejumlah uangnya untuk keluarganya, maka dia akan menyedekahkan uang sebanyak itu pula. (Ibid)
Imam Adz-Dzahabi menyebutkan berbagai pujian ulama tentang akhlaq dan ibadahnya Imam Abu Hanifah:
وعن شريك قال: كان أبو حنيفة طويل الصمت، كثير العقل. وقال أبو عاصم النبيل: كان أبو حنيفة يسمى الوتد لكثرة صلاته. وروى بن إسحاق السمرقندي، عن القاضي أبي يوسف قال: كان أبو حنيفة يختم القرآن كل ليلة في ركعة. يحيى بن عبدالحميد الحماني، عن أبيه أنه صحب أبا حنيفة ستة أشهر، قال: فما رأيته صلى الغداة إلا بوضوء عشاء الآخرة، وكان يختم كل ليلة عند السحر.
Dari Syarik, dia berkata, “Imam Abu Hanifah lama diamnya dan banyak akalnya (cerdas).” Berkata Abu ‘Ashim An-Nail, “Abu Hanifah juga dinamakan Al-Watid karena banyak shalatnya.” Ibnu Ishaq As Samarqandi meriwayatkan dari Al-Qadhi Abu Yusuf, “Abu Hanifah mengkhatamkan Al-Quran setiap malam dalam satu rakaat.” Yahya bin Abdul Hamid Al-Himani, dari ayahnya bahwa Dia menemani Abu hanifah selama enam bulan, dia berkata, “Aku belum pernah melihatnya shalat subuh melainkan dengan wudhu shalat Isya, dan dia senantiasa mengkhatamkan Al-Quran setiap malam pada waktu sahur. (Ibid)
Diriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah telah mengkhatamkan Al-Quran 7000 kali. (Ibid)
Imam Adz-Dzahabi juga menceritakan:
عن القاسم بن معن، أن أبا حنيفة قام ليلة يردد قوله تعالى: (بل الساعة موعدهم والساعة أدهى وأمر) [ القمر: 46 ] ويبكي ويتضرع إلى الفجر.
Dari Al-Qasim bin Mu’in, bahwa Imam Abu Hanifah bangun untuk shalat malam dan mengulang-ulang firman Allah Taala: (sebenarnya hari kiamat Itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit. (Al-Qamar: 46), lalu Beliau menangis dan tertunduk hingga fajar. (Ibid, 6/401)
Yazid bin Harun berkata:
ما رأيت أحدا أحلم من أبي حنيفة.
Saya belum pernah melihat seorang pun yang lebih penyabar dibanding Abu Hanifah. (Ibid)
7. Sanjungan ulama terhadap ilmu dan kecerdasannya
Hayyan bin Musa Al-Marwadzi berkata:
سئل ابن المبارك: مالك أفقه، أو أبو حنيفة ؟ قال: أبو حنيفة.
Ibnul Mubarak ditanya, “Mana yang lebih paham tentang fiqih, Malik atau Abu Hanifah? Beliau berkata: Abu Hanifah.” (Ibid, 6/402)
Imam Yahya Al-Qaththan berkata:
لا نكذب الله، ما سمعنا أحسن من رأي أبي حنيفة، وقد أخذنا بأكثر أقواله
Kami tidak membohongi Allah, kami belum pernah mendengar pendapat yang lebih baik dibanding pendapat Abu Hanifah, dan kami telah mengambil lebih banyak dari pendapatnya. (Ibid)
Disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi:
وقال علي بن عاصم: لو وزن علم الامام أبي حنيفة بعلم أهل زمانه، لرجح عليهم.
وقال حفص بن غياث: كلام أبي حنيفة في الفقه، أدق من الشعر، لا يعيبه إلا جاهل.
وقال جرير: قال لي مغيرة: جالس أبا حنيفة تفقه، فإن إبراهيم النخعي لو كان حيا لجالسه.
وقال ابن المبارك: أبو حنيفة أفقه الناس. وقال الشافعي: الناس في الفقه عيال على أبي حنيفة
Berkata Ali bin ‘Ashim, “Seandainya ditimbang ilmu Imam Abu Hanifah dengan ilmu manusia yang hidup pada zamannya, niscaya ilmunya lebih berat dibanding mereka.”
Berkata Hafsh bin Ghiyats, “Perkataan Abu Hanifah dalam fiqih, lebih dalam dibanding syair, dan tidak ada yang meng-’aibkan dirinya melainkan orang bodoh.”
Jarir berkata: Mughirah berkata kepadaku, “Duduklah bersama Abu Hanifah niscaya kau akan mengerti, sungguh seandainya Ibrahim An-Nakha’i hidup niscaya dia (Ibrahim) akan duduk di hadapannya (untuk belajar).”
Ibnul Mubarak berkata, “Abu Hanifah adalah manusia paling paham tentang fiqih.”
Asy-Syafi’i berkata, “Dalam fiqih, manusia (para ulama) adalah satu keluarga dengan Abu Hanifah.” (Ibid, 6/403)
Imam Asy-Syafi’i berkata:
قيل لمالك: هل رأيت أبا حنيفة ؟ قال: نعم. رأيت رجلا لو كلمك في هذه السارية أن يجعلها ذهبا لقام بحجته.
Ditanyakan kepada Imam Malik, “Apakah engkau pernah melihat Imam Abu Hanifah? Beliau berkata, “Ya, aku melihat seorang laki-laki yang jika dia mengatakan kepadamu bahwa dia ingin menjadikan tiang ini emas, maka itu akan terjadi karena hujjah yang dimilikinya.” (Ibid, 6/399)
Imam Abdullah bin Al-Mubarak berkata:
لولا أن الله أعانني بأبي حنيفة وسفيان، كنت كسائر الناس.
Kalau bukan pertolongan Allah kepadaku melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri, niscaya aku sama saja dengan kebanyakan manusia (awam). (Ibid, 6/398)
Beliau juga berkata:
إن كان الأثر قد عرف واحتيج إلى الرأي فرأي مالك وسفيان وأبي حنيفة وأبو حنيفة أحسنهم وأدقهم فطنة وأغوصهم على الفقه وهو أفقه الثلاثة
Walau pun atsar sudah diketahui, berhujahlah dengan pendapat juga yaitu pendapat Malik, Sufyan, dan Abu Hanifah. Pendapat Abu Hanifah adalah terbaik diantara mereka, lebih detail kecerdasannya, lebih dalam fiqihnya, dan dia lebih faqih di antara bertiga itu. (Akhbar Abi Hanifah, hal. 84)
Muhammad bin Bisyr berkata: Aku pernah bergantian mengunjungi Sufyan Ats-Tsauri dan Abu Hanifah. Ketika aku mendatangi Abu Hanifah dia bertanya, “Dari mana kamu?” Aku jawab, “Aku datang dari sisi Sufyan Ats Tsauri.” Abu Hanifah menjawab, “Engkau datang dari sisi seorang laki-laki yang seandainya ‘Alqamah dan Al-Aswad melihat semisal orang itu (maksudnya Sufyan), maka mereka berdua akan berhujjah dengannya.” Lalu aku mendatangi Sufyan Ats-Tsauri, dia bertanya, “Dari mana kamu?” Aku jawab, “Aku datang dari sisi Abu Hanifah.” Sufyan menjawab, “Engkau datang dari sisi seorang yang paling faqih di antara penduduk bumi.” (Tarikh Baghdad, 15/459)
Syadad bin Hakim berkata:
ما رأيت أعلم من أبي حنيفة
Aku belum pernah melihat orang yang lebih berilmu dibanding Abu Hanifah. (Ath-Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 29)
Abdullah bin Daud pernah berkomentar tentang orang yang suka menggunjingkan Imam Abu Hanifah:
لايتكلم فِي أبي حنيفَة إِلَّا أحد رجلَيْنِ إِمَّا حَاسِد لعلمه وَإِمَّا جَاهِل بِالْعلمِ
Tidak ada yang menggunjingkan Abu Hanifah melainkan satu di antara dua laki-laki: orang yang dengki terhadap ilmunya, dan orang yang bodoh terhadap keilmuannya. (Imam Al-Husein bin Ali bin Muhammad Al-Hanafi, Akhbar Abi Hanifah, Hal. 64)
Bisyar bin Qirath menceritakan tentang kedudukan Imam Abu Hanifah dan Imam Sufyan Ats-Tsauri:
حججْت مَعَ أبي حنيفَة وسُفْيَان فَكَانَا إِذا نزلا منزلا أَو بَلْدَة اجْتمع عَلَيْهِمَا النَّاس وَقَالُوا فَقِيها الْعرَاق فَكَانَ سُفْيَان يقدم أَبَا حنيفَة وَيَمْشي خَلفه وَإِذا سُئِلَ عَن مَسْأَلَة وأبوحنيفة حَاضر لم يجب حَتَّى يكون أَبُو حنيفَة هُوَ الَّذِي يُجيب
Aku haji bersama Abu Hanifah dan Sufyan, jika mereka berdua berhenti di sebuah tempat atau negeri manusia berkumpul mengelilingi mereka, mereka bilang, “Ahli Fiqihnya Irak (maksudnya Abu Hanifah).” Sufyan lebih mendahulukan Abu Hanifah, dia berjalan di belakangnya dan jika dia ditanya sebuah masalah dan hadir di situ Abu Hanifah, dia tidak akan menjawabnya sampai Abu Hanifah-lah yang menjawabnya. (Ibid, Hal. 73)
8. Kata-kata hikmah dari Imam Abu Hanifah
Banyak kata-kata hikmah yang disandarkan sebagai ucapannya, di antaranya:
إذا ثبت الحديث فهو مذهبي واتركوا قولي بقول رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Jika ada hadits yang kuat, maka hadits itu adalah pendapatku, dan tinggalkanlah perkataanku dan gantilah dengan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Syaikh Abdul Hay bin Fakhruddin Al-Hasani Ath-Thaalibi, Nuz-hah Al-Khawaathir, 6/707)
Dalam keterangan lain, ada beberapa kata-kata hikmah yang juga disandarkan kepada beliau:
لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه. وقال: حرام على من لم يعرف دليلي أن يفتي بكلامي؛ فإننا بشر نقول القول اليوم ونرجع عنه غدا . وكذلك قال: إذا قلت قولا يخالف كتاب الله تعالى وخبر الرسول فاتركوا قولي
“Tidak halal bagi seorang pun yang mengambil pendapat kami selama dia belum tahu dari mana kami mengambil pendapat kami itu.”
Beliau juga berkata, “Haram atas siapa pun yang tidak mengetahui dalilku lalu dia berfatwa dengan fatwaku, karena kami juga manusia yang bisa berpendapat pada hari ini lalu kami meralatnya esok hari.”
Beliau juga berkata, “Jika pendapatku bertentangan dengan Kitabullah dan Sunah Rasulullah, maka tinggalkanlah pendapatku.” (Syaikh Mas’ud An-Nadwi, Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum wa Muftara ‘Alaih, Hal. 55. Cat kaki No. 2)
9. Kehebatan dalam berdebat
Ada peristiwa unik dan mengagumkan tentang Imam Abu Hanifah dalam hal ini, sebagaimana diceritakan Imam Adz-Dzahabi. Khalifah Al-Manshur hendak menjadikannya sebagai seorang pejabat tinggi, yaitu sebagai Qadhi (semacam hakim agung saat itu). Raja memaksanya, namun Imam Abu Hanifah menolaknya.
Mughits bin Budail bercerita, bahwa Al-Manshur memanggil Imam Abu Hanifah untuk dijadikan sebagai Qadhi (hakim agung), maka terjadilah dialog:
فَقَالَ: أَتَرغَبُ عَمَّا نَحْنُ فِيْهِ؟, فَقَالَ: لاَ أَصْلُحُ. قَالَ: كَذَبتَ.
Berkata Khalifah, “Maukah kamu menduduki jabatan yang sekarang dibebankan kepadaku?”
Imam Abu Hanifah menjawab, “Saya tidak layak.”
Khalifah menimpali, “Bohong kamu!”
Lalu di antara jawaban Abu Hanifah yang membuat Khalifah tidak bisa berkata-kata, dan menunjukkan kehebatan Abu Hanifah dalam berdebat dan ilmu logika, seperti yang diriwayatkan oleh Ar-Raabi’ Al-Haajib berikut ini:
قَالَ أَبُو حَنِيْفَةَ: وَاللهِ مَا أَنَا بِمَأْمُوْنِ الرِّضَى، فَكَيْفَ أَكُوْنُ مَأْمُوْنَ الغَضَبِ، فَلاَ أَصلُحُ لِذَلِكَ.
قَالَ المَنْصُوْرُ: كَذَبتَ، بَلْ تَصلُحُ.
فَقَالَ: كَيْفَ يَحِلُّ أَنْ تُوَلِّيَ مَنْ يَكْذِبُ
Abu Hanifah menjawab, “Demi Allah, jika dalam keadaan senang saja aku tidak amanah, maka bagaimana bisa amanah jika aku sedang marah? Pokoknya aku tidak layak!”
Al-Manshur berkata, “Kamu bohong!”
Abu Hanifah menjawab lagi, “Kalau begitu, bagaimana bisa Anda menjadikan seorang pembohong sebagai hakim?” (Siyar A’lamin Nubala, 6/402)
Ya, kalau memang sudah tahu aku ini pembohong kok masih diangkat juga sebagai hakim? Inilah jawaban Abu Hanifah untuk mengelak menjadi seorang pejabat negara.
10. Wafatnya
Beliau meninggal di Baghdad, pada usia 70 tahun ( bulan Rajab atau Sya’ban tahun 150H), meninggalkan seorang anak bernama Hammad. Wafatnya disebabkan diberikan minuman beracun secara paksa, dan peristiwa tersebut terjadi di hadapan Khalifah Al-Manshur. Bisyr bin Al-Waalid mengatakan, “Abu Hanifah wafat di penjara dan dikuburkan di pekuburan Al-Khaiziran. Ya’qub bin Syaibah mengatakan, “Aku dikabarkan bahwa Beliau wafat dalam keadaan sujud.”
Ketika dikuburkan masih banyak orang menshalatkan di kuburnya termasuk Khalifah Al-Manshur, hingga sampai 20 hari masih banyak yang menshalatkannya. Ini menunjukkan keagungan Imam Abu Hanifah di sisi manusia saat itu.
Pada malam ketiga setelah Beliau dikuburkan, ada sebuah suara yang bersyair:
ذهب الْفِقْه فَلَا فقه لكم … فَاتَّقُوا الله وَكُونُوا خلفا مَاتَ نعْمَان فَمن هَذَا الَّذِي … يحيى اللَّيْل إِذا مَا سجفا
Telah pergi fiqih maka tidak ada lagi fiqih bagi kalian …
Takutlah kalian kepada Allah dan jadilah pengikut di belakang Nu’man setelah wafatnya …
Lalu siapakah orangnya yang menghidupkan malam ketika tabir telah diturunkan? (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 94)
Sumber: Farid Nu'man Hasan
Sya’ban dan Konspirasi Yahudi
Sya’ban dikenal kalangan umat Islam sebagai bulan pendahulu untuk memasuki Ramadhan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memperbanyak puasa
sunnah di bulan ini. Disamping sebagai latihan berpuasa, bulan ini juga
waktu pelaporan tahunan amal manusia. Tapi, banyak yang belum
mengetahui bahwa pada bulan ini terjadi sebuah perubahan besar pada umat
Islam, yaitu perubahan kiblat dari masjid al-Aqsha ke masjid al-Haram.
Sejarah Kiblat
Ka’bah (masjid al-Haram) merupakan kiblat umat Islam seluruh dunia. Tidak ada pertentangan dengannya. Seluruh umat Islam beribadah menghadap ke arah Ka’bah. Ia merupakan bangunan ibadah pertama di atas muka bumi. Allah berfirman,
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِيْنَ
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia adalah baitullah yang berada di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96)
Ka’bah dibangun pertama kali oleh Nabi Adam dengan cara menunjuk batas-batas pondasinya. Hal ini terbukti, ketika Nabi Ibrahim dan keluarganya datang pertama kali ke Makkah, batas pondasi tersebut sudah ada. Makkah disebutkan dengan istilah ‘lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman’ oleh Ibrahim dalam doanya ketika ia hendak pergi meninggalkan keluarganya di sana. Kisah ini terjadi ketika Ismail, anak Ibrahim, masih dalam buaian. Allah berfiman,
رَبَّنَا إِنِّى أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِى بِوَادٍ غَيْرَ ذِى زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلَاةَ …
“Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat.” (QS. Ibrahim: 37).
Setelah sekian lama Ibrahim meninggalkan keluarganya, ia kembali ke Makkah. Kemudian Allah memerintahkan Ibrahim agar membangun dan meninggikan bangunan Ka’bah di atas pondasi yang telah ada sebelumnya. Dalam pembangunan Ka’bah ini, Ibrahim dibantu oleh Ismail yang sudah beranjak dewasa. Hal ini berdasarkan firman Allah,
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui’”. (QS. Al-Baqarah: 127)
Ka’bah mengalami berbagai perubahan bentuk bangunan dari sejak dulu hingga kini. Tercatat dalam sejarah, lima tahun sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul, Ka’bah mengalami kerusakan parah sehingga kaum Quraisy membangun kembali bangunan Ka’bah. Muhammad pun turut serta dalam pembangunan ini. Quraisy mengurangi panjang Ka’bah dan menggantinya dengan dinding pendek setengah lingkaran (Hijir sekarang) agar orang-orang tawaf di belakangnya, karena Hijir masih bagian dari Ka’bah. Tinggi Ka’bah ditambah dan mereka membuatkan atap di atasnya. Ketika Ibrahim membangun, Ka’bah tanpa atap.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Khulafa’ ar-Rasyidin wafat, kota Makkah dipimpin oleh sahabat Abdullah bin Zubair (tahun 64 H/683 M). Diantara peninggalannya adalah beliau menjalankan pendapat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana hadits ‘Aisyah tentang bangunan Ka’bah. Beliau menghancurkan Ka’bah dan membangunnya kembali sesuai dengan pondasi yang pernah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam dirikan.
Tapi, bangunan ini tidak berlangsung lama. Karena al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi kemudian membongkarnya dan mengembalikan ke bentuk semula seperti pada masa Quraisy. Peristiwa itu terjadi pada tahun 73 H/693 M.
Pada masa Sultan Murad Khan dari Daulah Utsmaniyah, Ka’bah roboh karena imbas dari hujan deras dan banjir di sekitar kota Makkah. Air masuk ke dalam Ka’bah dan membanjiri hingga batas setengah dinding Ka’bah (6 meter). Kemudian, Sultan memerintahkan kembali pembangunan Ka’bah pada tahun 1040 H/1630 M seperti sedia kala. Bangunan inilah yang sampai saat ini masih ada, tentunya dengan berbagai perbaikan.
Selain Ka’bah, umat Islam pernah beribadah menghadap ke masjid al-Aqsha dan menjadikannya sebagai kiblat. Shalat menghadap ke masjid al-Aqsha terjadi selama enam belas atau tujuh belas bulan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, sebagaimana hadits al-Barra’ bin ‘Azib dalam kitab Shahih Bukhari.
“Dari Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pertama kali datang ke Madinah tinggal di rumah kakek atau paman-paman beliau dari kalangan Anshar. Ketika itu, Rasulullah shalat menghadap baitu al-Maqdis antara 16 atau 17 bulan lamanya, tetapi Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka’bah) sebagai kiblatnya.” (HR. Bukhari)
Sebagaimana Ka’bah pertama kali dibangun oleh Nabi Adam, begitu pula masjid al-Aqsha dibangun olehnya. Selisih waktu pembangunannya adalah empat puluh tahun, sesuai hadits Abu Dzar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka. Allah menjadikan masjid al-Aqsha sebagai tempat ibadah kedua yang ada di atas muka bumi dan kelak menjadi kiblat dari Bani Israil. Dinamakan al-Aqsha, karena letaknya sangat jauh dari Ka’bah (masjid al-Haram).
Isyarat bahwa masjid al-Aqsha sudah ada pada masa lampau adalah ketika Ibrahim dan saudaranya Luth keluar dari kejaran kaumnya dan diselamatkan Allah ke negeri yang telah diberkahi. Rupanya Allah telah memberkahi negeri tersebut jauh sebelum keduanya datang. Karena di dalamnya terdapat tempat ibadah kedua di muka bumi yaitu masjid al-Aqsha. Firman Allah,
وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوْطًا اِلَى الْأَرْضِ الَّتِى بَارَكْنَا فِيْهَا لِلْعَالَمِيْنَ
“Dan Kami seIamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia.” (QS. al-Anbiya: 71)
Sebelum hijrah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam shalat menghadap ke dua kiblat sekaligus, Ka’bah dan masjid al-Aqsha. Beliau shalat dia ntara dua rukun (sudut) ka’bah yang dapat menghadapkan kepada dua kiblat tersebut. Tapi, setelah hijrah ke Madinah, beliau shalat menghadap ke masjid al-Aqsha saja karena tidak mungkin menggabung dua kiblat ini. Posisi ka’bah dari arah Madinah berada di sebelah selatan sedangkan posisi baitu al-Maqdis berada di utara.
Kalangan ulama berbeda pendapat tentang perintah shalat menghadap ke masjid al-Aqsha ini, apakah melalui wahyu al-Qur’an atau lainnya? Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan ada tiga pendapat.
Pertama, perintah menghadap ke masjid al-Aqsha adalah ijtihad dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Pendapat ini disampaikan oleh Ikrimah dan Abu ‘Aliyah.
Kedua, Rasulullah diminta untuk memilih antara Ka’bah dan masjid al-Aqsha. Beliau memilih masjid al-Aqsha, dengan harapan orang-orang Yahudi dapat mengikuti beliau. Pendapat ini dikatakan oleh Imam ath-Thabari.
Ketiga, menghadap ke masjid al-Aqsha adalah perintah Allah kemudian dinaskh (dihapus) dan diperintahkan menghadap ke Ka’bah. Pendapat ini dikuatkan oleh Jumhur Ulama.
Di Balik Perubahan Kiblat
Shalat menghadap ke masjid al-Aqsha mempunyai pelajaran tersendiri. Ka’bah ketika itu sudah beralih fungsi, banyak kesyirikan terjadi. Ratusan berhala berada di dalam ka’bah. Orang-orang quraisy menjadikannya sebagai lambang kebanggaan nasional mereka. Padahal Allah menjadikan ka’bah bukan untuk hal-hal materialistik. Islam ingin memurnikan hati hanya kepada Allah dan membersihkannya dari segala bentuk kebanggaan dan fanatisme kepada selain system Islam. Allah uji keimanan kaum muslimin dengan mengalihkan mereka dari menghadap ke ka’bah dan memilihkan masjid al-Aqsha sebagai kiblat mereka selama beberapa waktu.
Ketika masjid al-Aqsha menjadi kiblat kaum muslimin, membuat orang-orang Yahudi menjadi senang. Masjid al-Aqsha yang di dalamnya terdapat ash-Shakhrah al-Musyarrafah memang menjadi kiblat Bani Israil sejak dahulu. Yahudi menjadikan kondisi ini sebagai argumentasi mereka dan tidak ada alasan untuk mengikuti ajaran Muhammad karena kiblatnya sama. Mereka mengatakan bahwa sikap Muhammad dan para sahabatnya menghadap ke kiblat mereka ketika shalat merupakan bukti bahwa agama mereka adalah agama yang benar. Bahwa kiblat mereka adalah kiblat yang benar. Merekalah yang seharusnya menjadi panutan.
Sikap Yahudi inilah yang menjadikan Muhammad berharap agar kiblat dirubah ke Ka’bah, tapi Rasul malu untuk mengungkapkannya kepada Allah sebagai bentuk adab beliau kepada Dzat Pencipta dan menunggu pengarahan-Nya dengan sesuatu yang disukainya.
Allah mengabulkan harapan Rasul-Nya. Allah menurunkan firman-Nya dalam surat al-Baqarah: 144
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ ….
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.”
Peristiwa ini terjadi di bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriah, yaitu enam belas atau tujuh belas bulan setelah rasul hijrah. Rasul hijrah ke Madinah dilakukan pada bulan Rabiul Awwal. Ketika kaum muslimin mendengar perubahan kiblat tersebut, sebagiannya sedang melaksanakan shalat Ashar, lalu mereka mengalihkan wajahnya ke arah masjid al-Haram ketika shalat dan menyempurnakan shalat ke arah kiblat yang baru.
Pada saat itulah, orang-orang Yahudi merasa keberatan dan telah kehilangan alasan yang selama ini menjadi kebanggaan mereka. Para provokator Yahudi bersiap dengan aksi yang akan memasukkan benih-benih keraguan ke dalam barisan kaum muslimin, sebagaimana watak mereka. Mereka mengatakan, ‘Jika menghadap ke masjid al-Aqsha di masa lalu itu batal maka berarti shalat kalian selama ini sia-sia. Jika menghadap ke masjid al-Aqsha itu benar maka berarti arah kiblat yang baru ke masjid al-Haram itu batal dan shalat kalian ke arahnya pun sia-sia. Apapun yang terjadi, sesungguhnya perubahan arah kiblat ini tidak keluar dari Allah, sehingga menjadi bukti bahwa Muhammad itu tidak menerima wahyu dari Allah.’
Serangan provokasi Yahudi ini sangat berpengaruh dalam jiwa sebagian kaum muslimin. Oleh karenanya, Allah menjelaskan masalah kiblat ini sangat panjang, dimulai dari firman-Nya, “Mana saja ayat yang Kami hapuskan ataupun Kami jadikan –manusia- lupa terhadapnya…” (QS. Al-Baqarah: 106) dan menghabiskan seperempat juz terakhir dalam juz satu al-Qur’an.
Al-Qur’an mengingatkan kaum muslimin bahwa tujuan orang-orang Yahudi adalah ingin mengembalikan mereka menjadi kafir setelah beriman. Sebagai kedengkian karena Allah telah memilih kaum muslimin dan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dengan menurunkan kitab suci terakhir kepada mereka (QS. al-Baqarah: 109). Al-Qur’an juga membantah berbagai dakwaan dusta yang menyatakan bahwa surga termasuk hak khusus Yahudi dan Nasrani saja (QS. al-Baqarah: 111).
Al-Qur’an membongkar motivasi Yahudi yang disembunyikan tentang pengalihan kiblat, yaitu tindakan tersebut sebagai menghalangi kegiatan menyebut nama Allah di dalam masjid-masjid-Nya dan sebagai upaya untuk menghancurkannya (QS. al-Baqarah: 114). Al-Qur’an juga memosisiskan kaum muslimin berhadapan langsung dengan tujuan inti ahli kitab yaitu memindahkan kaum muslimin dari agama mereka kepada agama ahli kitab dan orang-orang Yahudi tidak akan ridha kepada Muhammad hingga ia mau mengikuti millah mereka (QS. al-Baqarah: 120). Jika tidak, maka akan dihadapi dengan perang, konspirasi dan intrik hingga titik akhir. Itulah hakikat pertarungan yang ada di balik berbagai kebatilan dan pengelabuan yang dibungkus dengan berbagai argumentasi dan alasan yang dibuat-buat.
Setelah al-Qur’an mengupas tuntas tentang provokasi Yahudi terhadap perpindahan kiblat, Allah menutup kebohongan mereka dengan membicarakan tentang Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub, dan pembangunan Ka’bah serta syiar-syiarnya. Allah tegaskan bahwa hakikat agama Ibrahim adalah tauhid yang murni, begitu pula keturunannya. Berbeda dengan keyakinan yang telah menyimpang dari ahli kitab dan kaum musyrikin.
Pembangunan Ka’bah juga didasari atas keimanan dan akidah. Sehingga orang yang berhak mewarisi amanat ini bukanlah orang yang telah menyimpang akidahnya. Tapi mereka adalah orang yang satu akidah dan iman hingga munculnya umat Islam sebagai jawaban doa Ibrahim dan Ismail ketika keduanya meninggikan pondasi ka’bah.
Oleh karena itu, gugurlah dakwaan orang-orang Yahudi dan Nasrani tentang keterpilihan mereka sebagai pewaris risalah dakwah hanya karena semata-mata mereka anak cucu keturunan Ibrahim. Gugur pula dakwaan Quraisy tentang hak istimewa mereka mengurus Ka’bah karena penyimpangannya terhadap akidah.
Ka’bah adalah kiblat kaum muslimin dan kiblat moyang mereka, Ibrahim. Perubahan kiblat dari masjid al-Aqsha ke Ka’bah di bulan Sya’ban merupakan arahan yang alamiah dan logis, sejalan dengan pewarisan kaum muslimin akan agama Ibrahim yang murni. Konspirasi Yahudi akan selalu ada hingga Hari Kiamat karena ketidakrelaan mereka terhadap agama akhir zaman, Islam. Wallahu A’lam.
Referensi bacaan:
Sumber:
Salman Alfarisi, Lc / dakwatuna
Sejarah Kiblat
Ka’bah (masjid al-Haram) merupakan kiblat umat Islam seluruh dunia. Tidak ada pertentangan dengannya. Seluruh umat Islam beribadah menghadap ke arah Ka’bah. Ia merupakan bangunan ibadah pertama di atas muka bumi. Allah berfirman,
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِيْنَ
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia adalah baitullah yang berada di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96)
Ka’bah dibangun pertama kali oleh Nabi Adam dengan cara menunjuk batas-batas pondasinya. Hal ini terbukti, ketika Nabi Ibrahim dan keluarganya datang pertama kali ke Makkah, batas pondasi tersebut sudah ada. Makkah disebutkan dengan istilah ‘lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman’ oleh Ibrahim dalam doanya ketika ia hendak pergi meninggalkan keluarganya di sana. Kisah ini terjadi ketika Ismail, anak Ibrahim, masih dalam buaian. Allah berfiman,
رَبَّنَا إِنِّى أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِى بِوَادٍ غَيْرَ ذِى زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلَاةَ …
“Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat.” (QS. Ibrahim: 37).
Setelah sekian lama Ibrahim meninggalkan keluarganya, ia kembali ke Makkah. Kemudian Allah memerintahkan Ibrahim agar membangun dan meninggikan bangunan Ka’bah di atas pondasi yang telah ada sebelumnya. Dalam pembangunan Ka’bah ini, Ibrahim dibantu oleh Ismail yang sudah beranjak dewasa. Hal ini berdasarkan firman Allah,
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui’”. (QS. Al-Baqarah: 127)
Ka’bah mengalami berbagai perubahan bentuk bangunan dari sejak dulu hingga kini. Tercatat dalam sejarah, lima tahun sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul, Ka’bah mengalami kerusakan parah sehingga kaum Quraisy membangun kembali bangunan Ka’bah. Muhammad pun turut serta dalam pembangunan ini. Quraisy mengurangi panjang Ka’bah dan menggantinya dengan dinding pendek setengah lingkaran (Hijir sekarang) agar orang-orang tawaf di belakangnya, karena Hijir masih bagian dari Ka’bah. Tinggi Ka’bah ditambah dan mereka membuatkan atap di atasnya. Ketika Ibrahim membangun, Ka’bah tanpa atap.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Khulafa’ ar-Rasyidin wafat, kota Makkah dipimpin oleh sahabat Abdullah bin Zubair (tahun 64 H/683 M). Diantara peninggalannya adalah beliau menjalankan pendapat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana hadits ‘Aisyah tentang bangunan Ka’bah. Beliau menghancurkan Ka’bah dan membangunnya kembali sesuai dengan pondasi yang pernah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam dirikan.
Tapi, bangunan ini tidak berlangsung lama. Karena al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi kemudian membongkarnya dan mengembalikan ke bentuk semula seperti pada masa Quraisy. Peristiwa itu terjadi pada tahun 73 H/693 M.
Pada masa Sultan Murad Khan dari Daulah Utsmaniyah, Ka’bah roboh karena imbas dari hujan deras dan banjir di sekitar kota Makkah. Air masuk ke dalam Ka’bah dan membanjiri hingga batas setengah dinding Ka’bah (6 meter). Kemudian, Sultan memerintahkan kembali pembangunan Ka’bah pada tahun 1040 H/1630 M seperti sedia kala. Bangunan inilah yang sampai saat ini masih ada, tentunya dengan berbagai perbaikan.
Selain Ka’bah, umat Islam pernah beribadah menghadap ke masjid al-Aqsha dan menjadikannya sebagai kiblat. Shalat menghadap ke masjid al-Aqsha terjadi selama enam belas atau tujuh belas bulan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, sebagaimana hadits al-Barra’ bin ‘Azib dalam kitab Shahih Bukhari.
“Dari Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pertama kali datang ke Madinah tinggal di rumah kakek atau paman-paman beliau dari kalangan Anshar. Ketika itu, Rasulullah shalat menghadap baitu al-Maqdis antara 16 atau 17 bulan lamanya, tetapi Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka’bah) sebagai kiblatnya.” (HR. Bukhari)
Sebagaimana Ka’bah pertama kali dibangun oleh Nabi Adam, begitu pula masjid al-Aqsha dibangun olehnya. Selisih waktu pembangunannya adalah empat puluh tahun, sesuai hadits Abu Dzar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka. Allah menjadikan masjid al-Aqsha sebagai tempat ibadah kedua yang ada di atas muka bumi dan kelak menjadi kiblat dari Bani Israil. Dinamakan al-Aqsha, karena letaknya sangat jauh dari Ka’bah (masjid al-Haram).
Isyarat bahwa masjid al-Aqsha sudah ada pada masa lampau adalah ketika Ibrahim dan saudaranya Luth keluar dari kejaran kaumnya dan diselamatkan Allah ke negeri yang telah diberkahi. Rupanya Allah telah memberkahi negeri tersebut jauh sebelum keduanya datang. Karena di dalamnya terdapat tempat ibadah kedua di muka bumi yaitu masjid al-Aqsha. Firman Allah,
وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوْطًا اِلَى الْأَرْضِ الَّتِى بَارَكْنَا فِيْهَا لِلْعَالَمِيْنَ
“Dan Kami seIamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia.” (QS. al-Anbiya: 71)
Sebelum hijrah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam shalat menghadap ke dua kiblat sekaligus, Ka’bah dan masjid al-Aqsha. Beliau shalat dia ntara dua rukun (sudut) ka’bah yang dapat menghadapkan kepada dua kiblat tersebut. Tapi, setelah hijrah ke Madinah, beliau shalat menghadap ke masjid al-Aqsha saja karena tidak mungkin menggabung dua kiblat ini. Posisi ka’bah dari arah Madinah berada di sebelah selatan sedangkan posisi baitu al-Maqdis berada di utara.
Kalangan ulama berbeda pendapat tentang perintah shalat menghadap ke masjid al-Aqsha ini, apakah melalui wahyu al-Qur’an atau lainnya? Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan ada tiga pendapat.
Pertama, perintah menghadap ke masjid al-Aqsha adalah ijtihad dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Pendapat ini disampaikan oleh Ikrimah dan Abu ‘Aliyah.
Kedua, Rasulullah diminta untuk memilih antara Ka’bah dan masjid al-Aqsha. Beliau memilih masjid al-Aqsha, dengan harapan orang-orang Yahudi dapat mengikuti beliau. Pendapat ini dikatakan oleh Imam ath-Thabari.
Ketiga, menghadap ke masjid al-Aqsha adalah perintah Allah kemudian dinaskh (dihapus) dan diperintahkan menghadap ke Ka’bah. Pendapat ini dikuatkan oleh Jumhur Ulama.
Di Balik Perubahan Kiblat
Shalat menghadap ke masjid al-Aqsha mempunyai pelajaran tersendiri. Ka’bah ketika itu sudah beralih fungsi, banyak kesyirikan terjadi. Ratusan berhala berada di dalam ka’bah. Orang-orang quraisy menjadikannya sebagai lambang kebanggaan nasional mereka. Padahal Allah menjadikan ka’bah bukan untuk hal-hal materialistik. Islam ingin memurnikan hati hanya kepada Allah dan membersihkannya dari segala bentuk kebanggaan dan fanatisme kepada selain system Islam. Allah uji keimanan kaum muslimin dengan mengalihkan mereka dari menghadap ke ka’bah dan memilihkan masjid al-Aqsha sebagai kiblat mereka selama beberapa waktu.
Ketika masjid al-Aqsha menjadi kiblat kaum muslimin, membuat orang-orang Yahudi menjadi senang. Masjid al-Aqsha yang di dalamnya terdapat ash-Shakhrah al-Musyarrafah memang menjadi kiblat Bani Israil sejak dahulu. Yahudi menjadikan kondisi ini sebagai argumentasi mereka dan tidak ada alasan untuk mengikuti ajaran Muhammad karena kiblatnya sama. Mereka mengatakan bahwa sikap Muhammad dan para sahabatnya menghadap ke kiblat mereka ketika shalat merupakan bukti bahwa agama mereka adalah agama yang benar. Bahwa kiblat mereka adalah kiblat yang benar. Merekalah yang seharusnya menjadi panutan.
Sikap Yahudi inilah yang menjadikan Muhammad berharap agar kiblat dirubah ke Ka’bah, tapi Rasul malu untuk mengungkapkannya kepada Allah sebagai bentuk adab beliau kepada Dzat Pencipta dan menunggu pengarahan-Nya dengan sesuatu yang disukainya.
Allah mengabulkan harapan Rasul-Nya. Allah menurunkan firman-Nya dalam surat al-Baqarah: 144
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ ….
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.”
Peristiwa ini terjadi di bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriah, yaitu enam belas atau tujuh belas bulan setelah rasul hijrah. Rasul hijrah ke Madinah dilakukan pada bulan Rabiul Awwal. Ketika kaum muslimin mendengar perubahan kiblat tersebut, sebagiannya sedang melaksanakan shalat Ashar, lalu mereka mengalihkan wajahnya ke arah masjid al-Haram ketika shalat dan menyempurnakan shalat ke arah kiblat yang baru.
Pada saat itulah, orang-orang Yahudi merasa keberatan dan telah kehilangan alasan yang selama ini menjadi kebanggaan mereka. Para provokator Yahudi bersiap dengan aksi yang akan memasukkan benih-benih keraguan ke dalam barisan kaum muslimin, sebagaimana watak mereka. Mereka mengatakan, ‘Jika menghadap ke masjid al-Aqsha di masa lalu itu batal maka berarti shalat kalian selama ini sia-sia. Jika menghadap ke masjid al-Aqsha itu benar maka berarti arah kiblat yang baru ke masjid al-Haram itu batal dan shalat kalian ke arahnya pun sia-sia. Apapun yang terjadi, sesungguhnya perubahan arah kiblat ini tidak keluar dari Allah, sehingga menjadi bukti bahwa Muhammad itu tidak menerima wahyu dari Allah.’
Serangan provokasi Yahudi ini sangat berpengaruh dalam jiwa sebagian kaum muslimin. Oleh karenanya, Allah menjelaskan masalah kiblat ini sangat panjang, dimulai dari firman-Nya, “Mana saja ayat yang Kami hapuskan ataupun Kami jadikan –manusia- lupa terhadapnya…” (QS. Al-Baqarah: 106) dan menghabiskan seperempat juz terakhir dalam juz satu al-Qur’an.
Al-Qur’an mengingatkan kaum muslimin bahwa tujuan orang-orang Yahudi adalah ingin mengembalikan mereka menjadi kafir setelah beriman. Sebagai kedengkian karena Allah telah memilih kaum muslimin dan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dengan menurunkan kitab suci terakhir kepada mereka (QS. al-Baqarah: 109). Al-Qur’an juga membantah berbagai dakwaan dusta yang menyatakan bahwa surga termasuk hak khusus Yahudi dan Nasrani saja (QS. al-Baqarah: 111).
Al-Qur’an membongkar motivasi Yahudi yang disembunyikan tentang pengalihan kiblat, yaitu tindakan tersebut sebagai menghalangi kegiatan menyebut nama Allah di dalam masjid-masjid-Nya dan sebagai upaya untuk menghancurkannya (QS. al-Baqarah: 114). Al-Qur’an juga memosisiskan kaum muslimin berhadapan langsung dengan tujuan inti ahli kitab yaitu memindahkan kaum muslimin dari agama mereka kepada agama ahli kitab dan orang-orang Yahudi tidak akan ridha kepada Muhammad hingga ia mau mengikuti millah mereka (QS. al-Baqarah: 120). Jika tidak, maka akan dihadapi dengan perang, konspirasi dan intrik hingga titik akhir. Itulah hakikat pertarungan yang ada di balik berbagai kebatilan dan pengelabuan yang dibungkus dengan berbagai argumentasi dan alasan yang dibuat-buat.
Setelah al-Qur’an mengupas tuntas tentang provokasi Yahudi terhadap perpindahan kiblat, Allah menutup kebohongan mereka dengan membicarakan tentang Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub, dan pembangunan Ka’bah serta syiar-syiarnya. Allah tegaskan bahwa hakikat agama Ibrahim adalah tauhid yang murni, begitu pula keturunannya. Berbeda dengan keyakinan yang telah menyimpang dari ahli kitab dan kaum musyrikin.
Pembangunan Ka’bah juga didasari atas keimanan dan akidah. Sehingga orang yang berhak mewarisi amanat ini bukanlah orang yang telah menyimpang akidahnya. Tapi mereka adalah orang yang satu akidah dan iman hingga munculnya umat Islam sebagai jawaban doa Ibrahim dan Ismail ketika keduanya meninggikan pondasi ka’bah.
Oleh karena itu, gugurlah dakwaan orang-orang Yahudi dan Nasrani tentang keterpilihan mereka sebagai pewaris risalah dakwah hanya karena semata-mata mereka anak cucu keturunan Ibrahim. Gugur pula dakwaan Quraisy tentang hak istimewa mereka mengurus Ka’bah karena penyimpangannya terhadap akidah.
Ka’bah adalah kiblat kaum muslimin dan kiblat moyang mereka, Ibrahim. Perubahan kiblat dari masjid al-Aqsha ke Ka’bah di bulan Sya’ban merupakan arahan yang alamiah dan logis, sejalan dengan pewarisan kaum muslimin akan agama Ibrahim yang murni. Konspirasi Yahudi akan selalu ada hingga Hari Kiamat karena ketidakrelaan mereka terhadap agama akhir zaman, Islam. Wallahu A’lam.
Referensi bacaan:
- Tafsir Fi Zilali al-Qur’an, Sayyid Quthb
- Ensiklopedia Mini Masjid al-Aqsha, Tim Kajian Asia Pacific Community for Palestine
Sumber: