Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Muslim
bin Jammaz, “Aku mendengar Abu Ja’far bercerita kepada kami tentang Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu, ketika beliau membaca ayat,
إِذَا الشَّمْسُ
كُوِّرَتْ
“Apabila matahari digulung.” (QS. At-Takwir: 1)
Hati beliau sangat tersayat-sayat
ketika membaca atau mendengar ayat tersebut, hingga beliau sampai larut dalam
tangisan yang mendalam.” (Siyaru A’lam an-Nubala,
Jilid 2, Hal: 628-629).
Ayat ini adalah bagian dari surat
At-Takwir yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
tentang surat tersebut,
“Barangsiapa yang ingin melihat (keadaan) hari kiamat
seolah-olah dia melihat (langsung dengan) matanya maka hendaknya dia membaca
(surat) at-Takwir, al-Infithar dan al-Insyiqaq” (HR at-Tirmidzi 5:433, Ahmad
2:27, dan al-Hakim 4:620)
Dan itulah kesan yang ditangkap Abu Hurairah ketika mendengar
atau membaca surat tersebut.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Muslim
bin Jammaz, “Aku mendengar Abu Ja’far bercerita kepada kami tentang Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu, ketika beliau membaca ayat,
إِذَا الشَّمْسُ
كُوِّرَتْ
“Apabila matahari digulung.” (QS. At-Takwir: 1)
Hati beliau sangat tersayat-sayat
ketika membaca atau mendengar ayat tersebut, hingga beliau sampai larut dalam
tangisan yang mendalam.” (Siyaru A’lam an-Nubala,
Jilid 2, Hal: 628-629).
Ayat ini adalah bagian dari surat
At-Takwir yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
tentang surat tersebut,
“Barangsiapa yang ingin melihat (keadaan) hari kiamat
seolah-olah dia melihat (langsung dengan) matanya maka hendaknya dia membaca
(surat) at-Takwir, al-Infithar dan al-Insyiqaq” (HR at-Tirmidzi 5:433, Ahmad
2:27, dan al-Hakim 4:620)
Dan itulah kesan yang ditangkap Abu Hurairah ketika mendengar
atau membaca surat tersebut.
Tamim ad-Dari radhiallahu ‘anhu
Diriwayatkan dari Masruq radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Seorang laki-laki dari
Mekah berkata kepadaku, ‘Ini adalah makam saudaramu, maksudnya makam Tamim
ad-Dari. Di suatu malam aku pernah melihat Tamim sedang membaca Alquran dengan
rukuk, sujud, dan menangis hingga menjelang datangnya subuh. Dia membaca ayat,
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ
اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَن نَّجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ سَوَآءً مَّحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَآءَ مَايَحْكُمُونَ
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa
Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa
yang mereka sangka itu.” (QS. Al-Jatsiyah: 21)
Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnul
Mubarak dalam kitab az-Zuhd: I: Hal:
164.
An-Najasyi
Namanya adalah Ash-Hamah, Raja
Habasyah. Inilah kesan pertamanya ketika mendengar ayat Alquran dilantunkan.
Kisah ini bermula pada saat para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah
ke Habasyah.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah, beliau berkisah:
Ketika kami tiba di tanah Habasyah,
an-Najasyi melindungi kami dengan perlindungan yang sangat baik. Kami merasa
aman menjalankan agama, dan kami beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tenang. Kami tidak
pernah mendengar sesuatu yang membuat kami sedih.
Suatu hari Raja Habasyah hendak berdialog dengan kaum muslimin.
Ummu Salamah melanjutkan, orang yang berbicara kepada raja adalah Ja’far bin
Abu Thalib, ‘Wahai Raja, dulu kami kaum jahiliyyah, menyembah berhala, memakan
bangkai, melakukan perzinahan, memutus silaturahim, buruk dalam bertetangga,
dan yang kuat memakan yang lemah. Kami tetap dalam kondisi seperti itu hingga
Allah mengutus seorang rasul dari golongan kami kepada kami’.
Lalu Najasyi berkata kepada Ja’far
bin Abu Thalib, “Apakah kamu membawa ajaran yang dibawanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Ia berkata, ‘Ya’. Najasyi
berkata, “Bacakan untukku.” Lalu Ja’far membacakan ayat, “Kaaf Haa Yaa ‘Ain
Shaad (surat Maryam).”
Ummu Salamah berkata, “Demi Allah, Najasyi menangis hingga
membasahi jenggotnya dan para uskupnya pun ikut menangis, hingga air mata
mereka menetes di kitab-kitab mereka ketika mendengar ayat yang dibacakan
Ja’far. Kemudian Najasyi berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ini sama dengan
yang dibawa Musa, yang benar-benar keluar dari sumber yang sama. Pergilah, aku
tidak akan menyerahkan kalian kepada mereka (kafir Quraisy) selama-lamanya
(al-Majma’ jilid VI, Hal: 27).
Berikut ini firman Allah yang diturunkan berkaitan dengan kisah
an-Najasyi ini
وَإِذَا سَمِعُوا
مَآأُنزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا
عَرِفُوا مِنَ الْحَقِّ يَقُولُونَ رَبَّنَآءَامَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ
الشَّاهِدِينَ
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul
(Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran
(Alquran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya
berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama
orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Alquran dan kenabian Muhammad).
(QS. Al-Maidah: 83)
Inilah kesan pertama an-Najasyi saat pertama kali mendengarkan
ayat Alquran.
Mari kita sama-sama koreksi diri kita, sejauh mana kedudukan
Alquran di hati kita?
Mari kita bersama perhitungkan diri kita yang mengatakan ingin
menjadi penghuni surga, bagaimana keadaan kita dibandingkan calon penghuni
surga seperti Abdurrahman bin Auf? Apakah kita mulai meniti ke arah sana
ataukah malah menjauh dari sifat-sifat penghuni surga tersebut?
Semoga Allah memberi taufik kepada kita mengamalkan apa yang Dia
cintai dan Dia ridhai. Allahumma amin..
Ditulis oleh : Nurfitri Hadi